20. Untuk Selalu Bahagia

46 15 9
                                    

Empat jam mereka bertiga habiskan sebelum bisa keluar dari gedung berwarna putih tulang itu. Saat ini, Hijir dan Bii tengah duduk di dalam mobil Dani, sedang si empu berada di balik kemudi. Di bangku belakang, Bii sibuk memandang keluar jendela, sesekali menghela napas panjang.

“Jadi, Mas ini pemilik agen penyaluran tenaga kerja Indonesia tempat Bii bergabung?” Hijir memecah keheningan seraya menoleh ke arah Dani yang menyetir.

Senyum tersungging di bibir lelaki itu. “Benar, Mas.”

Tak berhenti di sana, Hijir kembali bertanya, “Sudah berapa lama? Maksud saya, berdirinya.”

“Kurang lebih baru enam tahun sejak awal rintis.” Dani melirik Hijir sekilas. “Mas sendiri, sudah lama di Mesir? Kerja atau nerusin pendidikan?”

Meski tak yakin Dani dapat melihatnya karena fokus ke jalanan, Hijir menggeleng singkat. “Kurang lebih dua tahun, Mas. Iya, di sana saya lanjut pendidikan,  alhamdulillah diberi kesempatan.”

Anggukan mafhum Dani berikan sebagai tanggapan. Menginjak tuas rem di perempatan saat lampu apil berubah merah, Dani memilih menoleh pada lelaki di sampingnya. “Kalau boleh tahu, bagaimana Mas Hijir bisa bertemu dengan Bii dan berakhir membantunya?”

Mendengar namanya disebut, Bii baru menatap depan, melihat dua orang di bangku depan bergiliran meski tak sepenuhnya dapat menelisik wajah mereka. Namun, ia tak mau menginterupsi, memilih bungkam dan menunggu keduanya melanjutkan konversasi.

“Kebetulan hari itu saya dan teman-teman saya berada di sekitar sana setelah mengunjunjungi beberapa tempat, istirahat sejenak sebelum kembali ke ma’had. Lalu, saya bertemu Bii begitu saja dan dia minta tolong pada saya. Begitulah.”

Bii menunduk, menyembunyikan ulasan senyum tipis yang tiba-tiba terbit di bibirnya. Pertemuannya dengan Hijir adalah bentuk pertolongan Allah padanya. Di tepi Laut Mediterania, ia seolah mendapatkan kembali harapan yang sudah lama pupus sebab ketakberdayaan.

Kembali senyum terbit di bibir Dani. Tepat sebelum melajukan mobil, ia berujar, “Terima kasih sudah mau membantu Inbihaaj ya, Mas Hijir. Saya merasa berhutang pada Mas.”

Secara impulsif Hijir menengok ke belakang, memperhatikan Bii yang juga menatap ke arahnya. Mata mereka bersibobok untuk beberapa saat, saling melemparkan sorot bingung masing-masing. Hijir lagi-lagi melihat Dani dengan kening berkerut. “Berhutang? Kenapa Mas Dani sampai merasa berhutang pada saya?”

Dani sedikit berjengit, menyadari ucapannya memantik tanya yang ambigu. Bukan hanya Hijir, tetapi juga Bii yang saat ini menunggu jawab, tampak dari kaca mobil.
Setenang mungkin Dani berusaha menjawab, “Sudah menjadi tanggung jawab saya atas keselamatan para pekerja yang percaya dengan agen, memastikan mereka mendapat majikan yang memperlakukan mereka dengan baik. Kasus Bii membuat saya merasa bersalah, saya merasa kecolongan. Makanya saya merasa berhutang pada Mas karena sudah mau menjadi perpanjangan tangan Allah juga secara tidak langsung mewakili saya melindungi Inbihaaj.”

Hijir mengangguk beberapa kali, tak mau ambil pusing. Toh menyelamatkan sesama adalah kewajiban semua umat manusia. Tak perlu ada yang diperdebatkan.

“Kalian yakin tidak mau sekalian saya antar ke tujuan?” Kembali Dani memastikan.

Usai urusan tadi, Hijir meminta tolong diantar ke salah satu alamat tak jauh dari sana, yang Dani tahu bukan tujuan akhir mereka. Bangunan milik salah seorang saudara Faiz.

Sebelum meninggalkan Mesir, Faiz sempat menawarkan bantuan. Ada saudaranya di Serang yang bisa membantu Hijir meminjamkan kendaraan, kebaikan yang tak mungkin lelaki itu tolak. Di sanalah mereka berhenti sekarang, di depan bangunan yang tak lain adalah sebuah studio foto yang lumayan besar. Seorang lelaki bersarung dan berpeci hitam menyambut mereka di depan pintu kaca, tersenyum lebar. Terlihat baru sampai setelah jamaah Isya’ di masjid sebelah.

Gratia DeiWhere stories live. Discover now