26. Inbihaaj Kyoya Haidee

45 13 1
                                    

Berdiri di tengah lapangan pesantren dengan tag tulisan memalukan tergantung besar-besar di leher, tak membuat Nuha jengah. Ia justru amat santai menjalani hukumannya sejak dua jam lalu itu. Menjadi bahan tontonan tak hanya santriwati tetapi juga santri, sama sekali tak membuatnya kehilangan muka. Toh tak ada yang memalukan dari tindakannya yang membela Inbihaaj kemarin.

Juga, benar saja. Usai jamaah Magrib semalam, namanya sudah berada di mana-mana, dibicarakan tak karuan. Nuha si santriwati bar-bar lah, tak tahu malu, kelewat berani, beberapa yang tahu kisah sejak awal mengatakan bahwa Nuha adalah perempuan heroik. Ia tak peduli sama sekali, terlalu kebal dengan omongan orang lain terhadap dirinya.

Sedang ia santai-santai saja berdiri di tengah panas, dari pinggir lapangan, Bii menatapnya penuh rasa bersalah. Ini gara-gara dirinya, setidaknya itu yang berada dalam pikiran Inbihaaj. Namun, ia tak bisa bertindak apa-apa. Tak mungkin ia melawan kebijakan pesantren. Sedang baginya, ucapan Dani kemarin memang amat menyakitkan.

“Allah, kenapa kedatanganku ke sini malah mengacau?” gumamnya terhadap diri sendiri.

Malam kemarin juga, ketiganya—bersama Hikam pula—langsung disidang di rumah Pak Kiai. Diminta menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya terjadi. Tak ada yang mereka tutup-tutupi, Nuha bahkan mengulangi dengan gamblang apa yang dikatakan Dani pada Bii tanpa ditambah atau dikurangi sedikit pun, berapi-api. Perempuan itu juga jujur apa saja tindakannya pada Dani yang sebetulnya, memang bernilai kriminal.

Bii tak mendapat hukuman, Hikam hanya mendapat poin indisipliner karena gagal mengendalikan situasi, sedang Nuha, perempuan itu yang terparah. Ia mendapat skorsing tiga hari, dan selama itu pula, ia harus berdiri di lapangan seperti saat ini dari jam enam pagi sampai jam sepuluh nanti. Ditambah, Nuha harus menambah hafalannya yang mandek minggu ini sebanyak 2 juz. Tentu ia tak bisa berbuat apa-apa selain menjalankannya. Sudah risiko. Untung saja Dani mau diajak berdamai. Kalau tidak, Nuha tidak takut polisi sungguh. Ia lebih takut pada omelan Jauza selaku walinya.

“Inbihaaj.”

Panggilan lembut itu mengalihkan atensi Bii. Saat menoleh ke sumber suara, Bii menemukan umi di sana. Segera perempuan itu menghampiri umi, sedikit membungkuk dan mencium punggung tangan wanita itu.

“Apa yang kamu perhatikan?” tanya umi, lantas menoleh ke arah Bii memaku pandang sejak tadi. “Nuha? Kamu kasihan padanya?”

Bii jelas langsung mengangguk tentu saja. “Saya merasa bersalah, Umi. Nuha begini karena membela saya.”

Umi tersenyum. “Ini bukan salah kamu. Itu memang risiko yang harus Nuha terima. Sudah, jangan terlalu dipikirkan, lebih baik kamu ikut Umi, kamu bilang ingin belajar dulu sebelum mengajar. Betul?”

Sekali lagi Bii mengangguk. “Baik, Umi.”

Ia menoleh ke arah Nuha sekilas, lantas mengembuskan napas panjang sebelum mengekor di belakang umi.

-o0o-

Senja yang menakjubkan, tak pernah ada dalam pikiran Inbihaaj bahwa dirinya bisa menikmati senja setenang itu. Pantulan sinar mentari di permukaan telaga sungguh memanjakan matanya, membuat Bii tak henti melafalkan kalimah thayyibah untuk memuji keagungan Tuhan yang menciptakan itu semua.

Sebelum ini, Bii hanya menyambut datangnya petang dengan embusan napas panjang, melepas lelah juga resah dalam dada setelah menjalani hari yang berat. Pun malamnya tak pernah ia dapati tanpa kegelisahan. Bii hanya berada pada titik bertahan selama ini, itu pun sering hampir menyerah.

“Masyaallah …,” gumamnya terus-menerus.

Kakinya yang dilingkupi rok hitam lebar bergoyang pelan, menyapu satu dua rumput di bawahnya. Kedua tangan perempuan itu bertumpu di sisi tubuh, di atas bangku panjang yang diduduki. Sedang, matanya tak beralih seinci pun dari pemandangan telaga di depan sana. Tempat yang cantik.

“Allah … Allah ….”

Bukan tak memikirkan apa pun, kepala Bii bahkan masih dipenuhi oleh kilas balik perlakuan dan ucapan menyakitkan yang pernah diterima. Seperti kata Nuha, ia berusaha berdamai dengan dirinya, menerima segala sesuatu yang menimpa dengan ikhlas, percaya bahwa apa yang datang adalah bagian dari betapa besar rasa sayang dan cinta Tuhan pada dirinya. Tak peduli itu baik atau buruk. Meski jika ia ingat respons Nuha terhadap Dani kemarin, Bii ingin tersenyum sendiri. Ia ingin bisa seberani itu.

Bii menunduk, mengulum senyum. Rasa hangat menjalar dalam dada, desiran itu terasa menggembirakan, tatkala dirasanya lafaz Allah mengalir dalam pembuluh darah juga tiap kali jantungnya terpompa. Sejenak ia menutup mata, memeras liquid bening yang entah sejak kapan menggenang di sudutnya, sebelum mengusap dengan punggung tangan. Sebuah tangis bahagia.

Ditariknya napas panjang dan dalam, mengisi paru-paru hingga penuh dengan udara sebisanya. Bii tenggelam dalam rasa cintanya pada Yang Maha Cinta, meleburkan diri pada kekosongan yang amat terasa penuh ini. Bii tergugu, menyelami dirinya yang amat bahagia tanpa interupsi manusia dan nafsu-nafsu binatangnya.

“Aku masih seawam ini, lantas bagaimana mabuknya Rabiah Adawiyah sebab cintanya pada-Mu, Allah?”

Jika aku menyembah-Mu
Karena takut api neraka-Mu
Bakarlah aku di dalamnya

Dan jika aku menyembah-Mu
Karena mengharap surga-Mu
Haramkanlah aku daripadanya

Namun jika aku menyembah-Mu
Karena kecintaanku kepada-Mu
Jangan palingkan wajah-Mu dariku

“Aku mungkin tidak akan bisa seikhlas itu menyembah-Mu karena cinta, seperti yang beliau lakukan, Allah. Tapi kumohon, jangan sekali pun memalingkan cinta-Mu dari manusia serba lemah ini. Aku tidak tahu bagaimana bisa hidup tanpa cinta-Mu, Allah. Menjadi manusia tanpa arah, kebingungan. Astaghfirullah ….”

Dibukanya kembali mata, sekali lagi memandangi telaga dengan binar cerah juga sungging lebar senyum di bibirnya.

“Izinkan aku untuk terakhir kalinya menceritakan tentang dia di hadapanmu, Bii.” Suara berat itu sontak membuat Bii menoleh.

Perempuan tersebut terlonjak, menoleh pada pemilik suara berat nan dalam yang menginterupsinya. Dengan senyum manis, Hijir berdiri tak jauh di belakangnya dengan dua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Juga, jangan lupakan Nuha yang mengekor dengan tampang geli.

“Mas Hijir kapan datang?” tanya Bii, melupakan ucapan Hijir sebelumnya.

“Sekitar dua jam lalu.” Hijir mendekat, memilih duduk selonjor kaki di rerumputan dengan tangan bertumpu ke belakang. Ia menghadap telaga.

Gerakannya itu lantas diikuti Nuha. Ia duduk 1 meter dari Hijir, menyamping agar bisa tetap melihat Hijir juga telaga. Bii menyusul Nuha setelahnya.

“Boleh?” tanya Hijir, senyum belum pudar sama sekali.

Ingat ucapan Hijir saat datang, Bii mengangguk. Lagipula ia penasaran cerita apa lagi yang dimiliki lelaki itu tentang—Bii yakin—Jauza.

“Ceritain, Mas. Gue juga pengen tahu,” sahut Nuha.

Kali ini Hijir fokus pada Nuha. “Jangan sampai kamu memanggilku dengan sebutan Mas di depan umum jika tidak mau ditegur Pak Kiai seperti tadi lagi, Nuha.”

Nuha tersenyum kecut. “Iya, Ustadz Hijir.”

Hijir meloloskan tawa, sedang Bii hanya tersenyum tipis.

“Dulu ini tempat favorit Jauza.” Hijir memulai ceritanya.

Dugaan Bii benar, bukan?

“Dia selalu melakukan seperti yang kamu lakukan tadi, Bii. Mengagumi, memuja keagungan Allah lewat hal-hal kecil juga yang lumayan ekstrem dan tak masuk akal menurutku.”

Baik Bii maupun Nuha memicingkan mata mendengar frasa ‘ekstrem dan tak masuk akal’ dari bibir Hijir.

“Dia sering tersenyum sendiri. Saat kutanya, jawabannya selalu sama, sedang berkomunikasi dengan Tuhan. Dia pernah menari di bawah hujan petir tanpa takut, katanya sedang bermesraan dengan Tuhan. Yang paling aku tidak habis pikir ….” Hijir menunjuk jembatan bambu yang ada di tepi telaga. “Di sana, malam-malam, dia pernah menari dengan amat riang sebelum menceburkan diri ke telaga, padahal dia tidak bisa berenang. Saat kutanya, dia bilang karena aku diam-diam melihatnya, tak ada kekhawatiran baginya untuk tenggelam karena yakin aku akan menolongnya. Padahal aku juga tidak bisa berenang.”

Bii tertegun mendapati senyum Hijjir sore ini. Terasa sangat ringan, ia tak lagi mendapati beban di wajah lelaki itu saat menceritakan sosok Jauza.

“Mbak Zaa senekat itu?” tanya Nuha.

Hijir mengangguk sekilas sebelum melanjutkan, “Bukan karena ada aku, Zaa melakukan itu karena saat melakukannya, dia tidak sadar. Beberapa kali dia mengatakan itu sebelumnya. Juga, ada seorang teman kami yang mengatakan hal yang sama saat mendapati Zaa bertingkah demikian. Zaa terlihat seperti orang yang kehilangan waras.”

Bii tercenung. Apa … bukankah Jauza semengagumkan itu? Lantas, kenapa dirinya? Kenapa dia berpikir bisa menggantikan sosok Jauza dalam hati Hijir? Barangkali Dani benar, ia memang tidak tahu diri.

“Tapi Mas, gue penasaran, deh. Kenapa lo dulu suka sama Mbak Zaa?” Nuha sedikit melirik ke arah Bii yang menunduk, ingin tahu respons perempuan itu. Namun, Bii tidak memperlihatkan perubahan apa pun. Padahal niat Nuha menanyakannya untuk sedikit mengompori Bii agar perempuan itu tak datar-datar amat.

Hijir terkekeh singkat, mengedikkan bahu tak acuh. “Bermula dari rasa penasaran. Manusiawi, bukan? Kutipan Weda, dia mengangkat satu kutipan dari Kitab Weda untuk mendebat seorang ibu-ibu yang memaki pengemis. Itu awal aku bertemu dia. Saat mengajar di pesantren, Zaa dengan leluasa tanpa takut membawa Weda ke mana-mana, membacanya tanpa terganggu. Dia pernah mengajakku mengikuti liturgi ke gereja dekat taman kota. Katanya, dia sudah sering melakukan hal yang sama.”

Nuha dan Bii sudah sukses menjatuhkan rahang. Nuha … tetap saja terkejut.

“Bagaimana aku tidak penasaran saat itu? Seorang perempuan berjilbab, membaca Kitab Weda, mendatangi gereja, tak pernah terlihat salat. Bagimana menurut kalian, rasa penasaranku sangat beralasan, bukan?”

Tanpa sadar Nuha mengangguk, sedang Bii kini semakin tenggelam dalam rasa tak karuan.

Hijir menyadari sikap Inbihaaj, langsung tersenyum, lebih lebar. “Aku bercerita bukan untuk membuatmu rendah diri, Inbihaaj.”

Bii langsung mendongak, mendapati tatapan teduh Hijir.

“Kamu pikir aku akan bisa cocok dengan Zaa? Yang ada aku akan kesulitan menghadapi isi pikirannya, Inbihaaj. Kami memang tidak berjodoh dan aku sudah bisa menerima itu. Aku membutuhkan perempuan yang lebih sederhana dalam berpikir, yang bisa kujangkau, yang membuatku tidak merasa lebih tinggi atau lebih rendah daripadanya. Aku menemukan itu pada kamu, Inbihaaj Kyoya Haidee.”

Diam-diam Nuha mengulum senyum, sedang air mata sudah kembali menggenang di kelopak mata Bii.

“Itu sebabnya aku bilang bahwa ini terakhir kalinya aku akan menceritakan tentang Jauza. Melepas sisa-sisa kisah yang ada, membebaskan hatiku sepenuhnya dari Jauza sebelum memintamu secara resmi, untuk menulis kisah yang baru denganku.”

Ingin rasanya Nuha memekik kali ini, tetapi mati-matian ditahan. Kenapa bisa semanis ini jika Hijir yang mengatakan, akan beda lagi jika Laith yang mengatakan, sangat bertolak belakang, Nuha yakin itu.

Bii kelimpungan sendiri, tidak memiliki antisipasi apa pun untuk menghadapi lontaran kalimat semacam ini dari Hijir. Namun tak ayal, semburat merah menjalari pipinya.

“Tapi kenapa saya, Mas? Saya merasa tidak pantas. Mas Hijir sempurna sebagai laki-laki, sementara saya sudah rus—”

“Siapa yang boleh melabeli manusia, perempuan khususnya dengan kata rusak?” potong Hijir, matanya berkilat tajam. “Manusia bukan barang, Bii. Perempuan bukan barang. Berhenti memperlakukan diri kamu sendiri seperti itu. Nuha pasti juga sangat setuju denganku.”

Nuha mengangguk mantap. “Bener, gue setuju. Gue manusia, gue berharga, gue perempuan hebat, gue perempuan berdaya. Nggak boleh ada yang rendahin gue apalagi sampai injek-injek gue, terlepas gimana masa lalu gue. Sampai ada yang berani, gue injek-injek balik.” Nuha tersenyum bangga, amat puas, membuat Bii ikut tertegun sebelum ikut mengulas senyum lebar.

Hijir bangkit, membuat dua perempuan itu mendongak. “Sudah hampir magrib, sebaiknya kita kembali. Dan … Bii, kamu ditunggu ayah dan ibuku di rumah Pak Kiai ba’da Isya nanti. Pakai abaya yang kuberikan, ya?”

Semburat merah makin menjadi di pipi Bii.

Sebelum benar-benar pergi, Hijir menengok ke arah Nuha. “Nanti temani Bii ya, Nu?”

Nuha mengangguk.

Hijir berujar lagi, “Dua hari lagi Jauza ke sini, dengan Laith. Sebaiknya kamu juga bersiap menghadapi adikku yang satu itu.”

Saat Hijir sudah menjauh, Nuha berteriak kesal, “Ah, Mas Hijir nggak asik! Suruh pending ke sininya, Mas! Hafalanku terancam kalau ketemu Laith!”

-To Be Continued-

Hello, I am back. Akhirnya bisa agak bernapas setelah kecekik deadline. Oh iya, bagian akhir yang Hijir bilang "adikku" itu maksudnya Laith, yak. Karena tuh bocah satu udah dianggap kayak adiknya Hijir sendiri.

Btw, selamat tahun baru 1 Muharram buat yang memperingati.

Wish you enjoy

Amaranteya

18th of July 2023

Gratia DeiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang