30. Gratia dei

50 13 1
                                    

Kehebohan di pesantren pasti akan bertahan setidaknya tiga hari lamanya, Nuha yakin itu. Sepanjang perjalanannya menuju masjid untuk jamaah Magrib saja, sudah terhitung sepuluh kali ada yang menghentikan Nuha sekadar untuk bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Nuha sampai pusing.

Tak berhenti di sana, usai salat pun, masih berada dalam shaf, ada saja santriwati di samping kanan dan kiri yang berbisik, mengajak bergosip dengan Nuha sebagai sumber utamanya. Untuk pertama kalinya, Nuha sangat berterima kasih pada bagian keamanan yang menyelamatkannya untuk tidak menjawab pertanyaan-pertanyaan menyebalkan itu.

Untung saja Bii tetap ditahan umi di rumahnya untuk sementara waktu, setidaknya sampai kondisi hati Bii membaik.

Semakin terkenal saja Nuha di sana. Tak ada yang tak mengenal Nuha sejak kejadian penendangannya terhadap Dani sore itu. Tambah lagi urusan dengan polisi siang tadi, Nuha sudah seperti artis yang dibicarakan sana-sini. Mau bagaimana lagi, ia pasrah.

“Nuha, udah selesai?” tanya Billa, teman muroja’ah-nya beberapa waktu lalu, sebelum Billa pamit keluar karena wudunya batal.

“Udah, kenapa?”

“Dipanggil Ustadz Hijir, ditunggu di serambi,” jawab Billa singkat, lalu duduk setelah mengambil al-Qur’annya yang dititipkan pada Nuha. Ia juga mengambil Qur’an milik Nuha. “Biar aku bawakan, kamu temuin Ustadz Hijir dulu.”

“Oke, makasih, Bill.” Nuha langsung bangkit dan berlalu setelah mendapati anggukan Billa.

Sampai di serambi, Nuha menyapukan pandangan, mencari keberadaan Hijir.  Di sana, di dekat pilar masjid.

“Assalamu’alaikum, Ustadz Hijir panggil saya?”

Bukannya langsung menjawab, Hijir justru dibuat kaget mendengar ucapan Nuha. “Tumben, biasanya panggil mas sama lo-gue.”

“Jawab salamnya dulu, dong,” protes Nuha.

Hijir terkekeh, kemudian melakukan sesuai ucapan Nuha.

“Katanya harus panggil Ustadz kalau depan umum?” Nuha mengingatkan, jelas Hijir tak lupa, hanya sedikit aneh mendengar Nuha memanggilnya begitu, tak biasa. “Ada apa panggil saya?”

“Hanya mengingatkan, besok Jauza ke sini.”

Ujung-ujung bibir Nuha langsung turun ke bawah. Ia membalas, sedikit memelankan suara, “Asli, Mas. Harus banget gue ketemu Laith besok?”

Hijir kembali terkekeh mendengar Nuha yang kembali memanggilnya seperti semula. “Mau tidak mau, aku rasa kamu perlu ketemu dia. Tadi Jauza menelepon, meminta aku menyampaikan ini pada kamu. Katanya, dia udah kayak orang gila setahun terakhir, Zaa kasihan melihat Laith.”

Nuha berdecak kecil. “Paling juga karena Mbak Zaa capek ditanyain Laith mulu di mana keberadaan gue.”

Hijir menggelengkan kepala tak habis pikir. “Ya sudah, intinya aku hanya ingin menyampaikan itu. Anggap saja dikunjungi calon suami,” ujarnya geli.

“Mas Hijir ngeselin.” Mata Nuha melotot lebar.

“Aku pergi dulu, assalamu’alaikum.”
Salam itu dijawab Nuha sekenanya.

“Siapa yang mau dikunjungi calon suami, Nu?” Billa tiba-tiba berada di belakang Nuha, bertanya.

“Nggak ada, Ustadz Hijir bercanda doang tadi. Udah yuk, balik. Mau tidur awal gue, capek.”

-o0o-

Subuh hari, setelah semalaman menguatkan hati, Inbihaaj menemui sang ibu di kamar tamu. Terlonjak wanita itu mendapati sang putri berdiri di balik pintu sambil membawa sebuah mukena berwarna putih.

Gratia DeiWhere stories live. Discover now