7. Darah Iblis

93 22 1
                                    

Sungguh, air mata Hijir tak berhenti meleleh sejak memasuki ruang di belakang mimbar Masjid Husein, terisak tanpa suara. Tangannya bertumpu pada pagar setinggi dada yang melingkupi makam salah satu cucu Rasulullah tersebut, menunduk dengan sesak luar biasa. Meski makam tetap tertutup sekat cantik berwarna keperakan, Hijir tetap tak kuasa tatkala kisah Peristiwa Karbala hilir-mudik di kepala.

"Allah ...," lirih Hijir mengulang lafaz yang sama, tiap embusan napas, jeda sesekali saat sesak menyergap tanpa ampun. "Allah ... mereka dibutakan kekuasaan, sedang aku dibutakan oleh perasaan terhadap seorang wanita. Betapa lemahnya aku dalam mencintai-Mu."

Kelam, bagi Hijir, kisah Perang Karbala tak kalah kelam dari terbunuhnya Al-Hallaj yang pernah disinggung Jauza dulu. Pemotongan anggota tubuh, darah, darah, dan darah. Bagaimana mungkin Hijir tak menangis membayangkan semuanya? Sesama Islam, saudara seiman ... bermusuhan. Barangkali kegilaan itu berlangsung hingga detik ini.

Sekali lagi, bagaimana Hijir tak menangis, membayangkan orang-orang berkuda itu menginjak-injak tubuh tak bernyawa Sayyidina Husein sebelum dimakamkan tanpa kepala oleh kaum Asadian? Syamr bin Dziljausyan, pemenggal kepala beliau sungguh ingin Hijir kutuk.

Oleh seorang perawi hadits, Imam Bukhori, dari Anas bin Malik beliau mengatakan, "Kepala Husein dibawa dan didatangkan kepada 'Ubaidullah bin Ziyâd. Kepala itu ditaruh di bejana. Lalu 'Ubaidullah bin Ziyâd menusuk-nusuk (dengan pedangnya) seraya berkomentar sedikit tentang ketampanan Husein. Anas mengatakan, "Di antara Ahlul bait, Husein adalah orang yang paling mirip dengan Rasulullah SAW." Saat itu, Husein disemir rambutnya dengan wasmah (tumbuhan, sejenis pacar yang condong ke warna hitam)."

Hijir tak lagi mampu menahan isakan. Beberapa orang bahkan sampai menoleh ke arah pemuda itu. Namun, tak ada yang menyela, paham apa kiranya yang membuat seseorang menangis di depan makam--tempat akhir kepala Sayyidina Husein dikuburkan--tersebut.

"Allah ... Kau Maha Adil. Para pembunuh itu pada akhirnya berakhir musnah di tangan-Mu."

Jika Jauza pernah menyinggung masalah toleransi antarumat beragama, sesungguhnya Hijir lebih takut membahas perihal perbedaan aliran. Sebelum terpecah, Sunni dan Syiah bak sudah saling unjuk kebengisan lewat Peristiwa Karbala. Betapa kisah yang pelik tersimpan di balik terbunuhnya Husein yang sudah diketahui Rasulullah jauh sebelumnya, berkat Yang 'Ilmu wa 'Aliman.

Sebisa mungkin dihentikannya tangis, belum satu macam pun doa Hijir lantunkan sejak menapakkan kaki di sekitaran makam.

"Bibit-bibit keruntuhan Umayyah," lirihnya dengan kepala tertunduk dalam.

Benar, barangkali bibit keruntuhan Umayyah sudah dipupuk sejak saat itu, terbilang masa awal-awal berdiri. Pemerintahan Yazid bin Muawiyah terlalu haus kuasa, imbas keserakahan akan posisi khalifah selepas Sahabat Ali wafat. Segala macam cara dilakukan untuk menyingkirkan keturunan Ali--imbas kekecewaan atas lambat nya pengusutan kematian Khalifah Umar saat Ali menjabat. Gila, kaum pro pemerintahan Yazid memilih buta bahwa yang ingin mereka singkirkan adalah cucu Rasulullah. Jelas saja dari sana masyarakat semakin skeptis dan tak suka pada pemerintahan Yazid bin Muawiyah.

Meski demikian, Hijir tahu betul semua hal dalam sejarah memang akan tetap berkaitan hingga ratusan tahun setelahnya. Sebab akibat di dunia ini adalah bagian dari sistem semesta yang dirangkai seapik mungkin oleh Yang Esa. Hijir tak boleh asal mengutuk, sedang dari sana, dari kekejaman-kekejaman itu, dunianya orang-orang saat ini ada. Keagungan Islam yang detik ini bisa Hijir reguk barangkali adalah hasil dari kekejaman-kekejaman di masa lampau.

"Allah ...." Satu dua lafaz mulai Hijir lantunkan pelan, merangkainya menjadi doa magis untuk dilangitkan. Khusyuk lelaki itu bertawassul, tak muluk-muluk, Hijir hanya minta imannya dikukuhkan, bahunya dikuatkan tatkala menerima cobaan, juga ... cinta pada-Nya diistiqamahkan.

Gratia DeiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang