25. Amukan Nuha

50 12 1
                                    

Mondar-mandir dalam ruang kerjanya, lelaki itu tak henti menggumamkan kalimat yang sama. Sudah sepuluh menit penuh ia mempertimbangkan, tak henti melirik kotak beludru kecil yang digenggam. Apa yang harus ia lakukan?

Menyapukan pandangan ke penjuru ruangan, tatapannya berhenti pada bingkai foto di atas meja. Kakinya melangkah mendekat, sebelum tangannya yang bebas meraih bingkai foto itu. Memperhatikan potret keluarga kecil yan tampak sangat bahagia, tiga orang dalam potret tampak tersenyum lebar.

“Sesuai janjiku, aku akan melanjutkan hidup dengan baik meski tanpa kalian.” Dipejamkannya mata erat, menarik napas panjang sekali sebelum mengembuskannya perlahan. Lelaki itu meletakkan kembali bingkai ke tempat semula, menyambar kunci mobil dan bergegas keluar dari sana. Tujuannya satu: merealisasikan niatnya yang tertunda.

Berkendara hampir delapan jam lamanya, akhirnya ia sampai di pelataran parkir sebuah pesantren. Hari sudah menjelang sore, pepohonan yang pucuknya masih disepuh mentari beberapa waktu lalu, mulai kembali hijau murni tanpa sorotnya.

Tak banyak pemandangan yang bisa ia lihat, tetapi itu menenangkan. Dari kejauhan, ia dapat melihat para santri juga santriwati di kompleks yang berbeda berlalu lalang, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Beberapa memeluk kitab atau buku, sedang yang lain tampak bersiap membersihkan diri. Ada juga yang masih berjibaku dengan sapu juga tong sampah, ia yakin mereka adalah yang mendapat jadwal piket sore ini.

Pada akhirnya, tanpa ragu ia melangkah. Tak peduli pada realita bahwa tempat itu teramat asing baginya. Sampai di dalam kompleks santri, beberapa anak berpeci melihatnya penasaran. Tubuh lelaki itu dibalut kaos putih polos, sedang luarannya dilapiri jas hitam. Sebagai bawahan, ia mengenakan celana beige dipadukan sepatu loafers.

“Maaf.” Ia menghentikan langkah seorang santri. “Kalau saya mau bertemu seseorang, saya harus ke mana, ya?”

“Oh, ke sekretariatan. Mari saya antar.”

Ia mengekor di belakang dua santri yang mengantarnya. Sampai di bangunan yang dimaksud, ia langsung disambut oleh seorang santri senior sepertinya, atau salah satu staff, ia tidak tahu pasti.

“Ada yang bisa dibantu, Mas?” tanya lelaki berpeci itu.

“Apa saya bisa menemui Inbihaaj?” tanya lelaki itu to the point.

“Maaf sebelumnya, Mas ini siapanya santriwati bernama Inbihaaj?”

Lelaki itu bingung harus menjawab apa, memang apa hubungan keduanya? Ia bukan keluarga Bii. Rasanya terlalu nekat juga ia pergi ke sana untuk menemui seorang perempuan. Perlahan, ia mengangkat tangan, menggaruk pelipis.

Lelaki di belakang meja jelas menatapnya penuh curiga, tak mau kecolongan. “Jadi, Mas ini siapanya Inbihaaj?” ulangnya.

Ingat satu nama lain, lelaki itu lantas menjawab cepat, “Hijir. Saya teman Hijir, kebetulan kemarin sempat ada urusan dengan Hijir dan Inbihaaj. Jadi, saya bisa bertemu mereka?”

Tak apalah, setidaknya alasan yang satu itu bisa memudahkannya bertemu Bii. Lagipula tak ada cara lain.

Seorang lelaki lantas masuk dengan tumpukan berkas di tangan. Bajunya koko putih, lengkap dengan sarung hitam juga peci hitam berpin burung garuda emasnya. Melihat tampang ragu salah satu santri yang tugas piket di sekretariat, ia bertanya, “Ada apa, Dib?”

“Ustadz Hikam,” balas santri tersebut, membuat lelaki di hadapannya ikut menoleh. “Ini, ada yang mau bertemu dengan Ustadz Hijir.”

Hikam mengangguk paham, rupanya begitu, pantas Adib sedikit kebingungan. Pasalnya, Hijir sedang tidak berada di tempat saat ini.

Gratia DeiWhere stories live. Discover now