29. Keberanian dan Tangis

46 13 0
                                    

Suasana yang sudah kaku semakin kaku. Terlebih, aura permusuhan langsung dilayangkan Nuha.

“Wah, paman dan bibi super duper baik Mbak Bii juga ada di sini rupanya,” celetuk Nuha tanpa takut.

“Nu,” peringat Hijir.

Nuha langsung memutar bola mata malas. Terkesan tak sopan memang, tetapi ia betul-betul muak menyaksikan tiga orang itu.

Ibu Bii langsung bangkit, berderap dan menubrukkan diri pada Bii, memeluk perempuan itu erat meski sempat ragu karena perubahan penampilan putrinya. “Ya Allah Bii, kamu tidak apa-apa, Nak? Ibu khawatir sama kamu.”

Bii bergeming, tak menampilkan ekspresi apa pun, juga tak membalas pelukan sang ibu. Pandangannya tetap datar ke depan.

“Mulai deh, dramanya,” cibir Nuha pelan, tetapi masih bisa didengar Hijir juga si target cibiran tentu saja.

Setelah melepas pelukan, mata ibu Bii melotot, mengacungkan jari telunjuk, menunjuk Hijir dan Nuha bergantian. “Kalian! Kalian yang telah membawa Bii kabur dari rumah. Tangkap mereka, Pak Polisi!”

Baik Hijir maupun Nuha tetap tenang. Jika Hijir sempat menghela napas panjang, Nuha justru tak menaruh minat sedikit pun, tak peduli pada fakta bahwa ia terancam.

“Benar, Pak. Mereka berdua itu komplotan. Karena mereka, keponakan saya jadi kurang ajar pada ibunya sendiri,” timpal sang bibi mengompori.

Dua polisi yang juga sudah bangkit dari posisi duduk itu maju ke arah Hijir dan Nuha, hendak mengambil sikap, tetapi dihentikan oleh pak kiai.

“Kita bisa membicarakannya secara baik-baik, Pak.”

“Mana mungkin, mereka saja membawa keponakan saya seenaknya,” protes paman Bii tak terima.

Sungguh, tangan Bii sudah terkepal sepenuhnya di samping tubuh.

“Tidak adil rasanya jika hanya mendengarkan satu pihak berbicara, sedang yang lain dibungkam hak berbicaranya. Juga, Pak Polisi, Anda tidak membawa surat penangkapan, jadi Saudara Hijir dan Saudari Nuha masih menjadi wewenang penuh pesantren,” tukas Gus Maqil, tatapan matanya menajam. Jelas ia tahu kisah yang sebenarnya. “Penangkapan tidak sesuai prosedur … saya yakin Pak Polisi sekalian lebih tahu apa risiko jika melakukannya.”

“Silakan duduk kembali. Kita bicarakan secara kekeluargaan,” lanjut beliau.

“Saya tidak setuju. Pokoknya saya mau mereka ditangkap,” tekan ibu Bii, membuat sang putri mengeraskan rahang. Keterlaluan.

“Saya pernah berurusan dengan polisi hanya karena ketidakbecusannya menemukan bukti dari tangan pelaku. Dengan segala hormat, jangan sampai kalian jadi polisi selanjutnya yang saya labeli tidak becus karena hal yang sama.” Suara Nuha begitu menusuk, nadanya begitu dingin. Tanpa gentar tatapan elangnya dihunuskan pada dua polisi itu, yang jelas membuat semua yang ada di sana diam.

“Baiklah, karena kami menghargai pesantren juga Pak Kiai, kita berikan pengecualian untuk mendengar kesaksian di sini,” ujar satu polisi, “tenangkan diri Ibu, mari kita dengarkan langsung dari putri Ibu kejadian yang sebetulnya.”

Keluarga Bii kesal setengah mati, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Terlebih, agaknya atmosfer yang diciptakan Nuha sukses membuat mereka sedikit ciut. Apalagi paman perempuan itu. Tatapan nyalang Nuha tak beralih sedikit pun darinya.

Setelah semuanya mendapat tempat duduk masing-masing, sang polisi bertanya, “Saudari Inbihaaj, apa benar bahwa Saudara Hijir dan Saudari Nuha sudah melakukan tindakan yang dituduhkan keluarga Saudari?”

Tak ada lagi kompromi, kali ini Bii tak akan takut. Diteguhkan hati untuk melawan keluarganya sendiri. Jika Hijir, Nuha, dan orang lain bersedia membantunya, kenapa ia tidak bersedia membantu dirinya sendiri? Tidak lagi ada alasan untuk takut, ia bersama orang-orang baik saat ini.

Gratia DeiWhere stories live. Discover now