19. Pulang

40 10 0
                                    

Aku saranin baca ulang part sebelumnya. Karena udah lama banget aku nggak update. Peace!✌

-o0o-

“Mas Hijir ikut pulang ke Indonesia?” Mendapati Hijir dengan koper hitam berukuran sedang di pintu keberangkatan bandara, mau tak mau membuat Bii mengerjapkan mata berulang kali.


Seminggu penuh lelaki itu mondar-mandir, sibuk mengurus masalah Bii ke KBRI sebelum hari ini tiba, Hijir tak pernah sekali pun mengutarakan niatnya ikut pulang pada Inbihaaj. Tentu saja perempuan berkhimar beige itu terkejut.

“Aku juga rindu pesantren dan keluargaku, tidak boleh?” tanya Hijir balik. Melihat Bii yang tersenyum kecil seraya menundukkan kepala, Hijir mengambil inisiatif melangkah lebih dulu, mendahului Bii. “Ayo! Kamu mau tertinggal pesawat?”

Bii menggeleng lemah sebelum ikut menyeret langkah.

Yakin perempuan itu tak akan berani menyejajarkan langkah dengannya, Hijir sengaja memelan, mengurangi langkah lebarnya menjadi setengah. Sengaja menunggu Bii sampai di sampingnya agar bisa berjalan bersisian.

“Apa yang kamu pikirkan? Bukannya seharusnya kamu senang bisa meninggalkan Mesir dan pulang ke Indonesia?” Suara Hijir yang terdengar amat dekat baru bisa membuat Bii mendongak dan terkejut. Sejak kapan lelaki itu berada di sampingnya dan sedekat ini?

“Sa-saya … tidak ada.” Sekali lagi perempuan itu menggeleng, kembali menundukkan kepala. Lebih tepatnya, ia menghindari bertatap mata dengan Hijir. “Hanya berpikir mungkin ini pertama dan terakhir kalinya saya bisa ke sini. Meskipun begitu, saya rasa saya tidak sepenuhnya menyesal, karena di sini, saya bertemu dengan orang-orang baik seperti Mas Hijir dan teman-teman Mas. Saya bersyukur pada Allah Yang Maha Memberi Rezeki dalam berbagai bentuk.”

Hijir terkekeh. “Andai kamu bisa lebih lama di sini, aku pasti ajak kamu ziarah ke lebih banyak tempat. Bukan cuma ke makam Sayyidina Husein yang dekat Pasar El Khan Khalili kemarin.”

Sungguh, diajak Hijir bersama teman-temannya ke sana kemarin saja, sudah membuat Bii tak henti mengucap syukur hingga menjelang tidur malam harinya. Ia tidak mau terlalu muluk-muluk ingin ke tempat lain. Dapat berziarah ke makam Sayyidina Husein sudah merupakan hal luar biasa yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Menjejakkan kaki di sekitar makam salah satu cucu Rasulullah itu … Bii semakin rindu.

Kemarin, menatap pagar keperakan dari jarak jauh, sudah membuat hatinya serasa ingin meledak, lelehan air mata bahkan tak bisa ia kendalikan. Lantas bagaimana? Bagaimana jika ia hidup pada masa Rasulullah hidup? Atau bagaimana jika ia ikut menyaksikan Peristiwa Karbala saat Sayyidina Husein syahid? Bii tak mampu membayangkannya.

“Bisa berziarah ke makam Sayyid Husein saja, saya sudah sangat-sangat senang, terima kasih sudah mengajak saya ke sana.” Bii mengulas senyum lebar dalam tunduk kepalanya.

“Kamu terlalu banyak mengucapkan terima kasih, tapi … sama-sama, Inbihaaj.”

-o0o-

Sudah genap empat jam setelah pesawat take off, baik Bii maupun Hijir sama-sama tak memejamkan mata sekali pun. Hijir sibuk dengan laptop, membaca buku digital yang baru dibelinya dua hari lalu dari platform Gramedia. Sedang, Bii sesekali mengintip, ikut mencuri baca apa yang ditampilkan laptop lelaki itu.

“Kamu suka sejarah?”

Pertanyaan itu sontak membuat Bii menoleh cepat. Membuatnya menunjukkan tampang bak pencuri yang tertangkap basah.

“Mau baca ini?” Hijir kembali bertanya meskipun pertanyaan sebelumnya belum mendapat jawab. Ia sengaja mencondongkan layar laptop agar Bii lebih leluasa melihat yang tertulis di sana.

“Mas Hijir saja.” Bii sungguh merasa tak enak sebab sudah mengganggu konsentrasi baca lelaki itu. Ia memejamkan mata sejenak seraya menggigit kecil bibir bawahnya.

Namun, malah gelengan Hijir yang Bii dapati saat kembali menatap lelaki itu.

“Nggak apa-apa, serius.” Tanpa persetujuan, Hijir mengangsurkan laptop miliknya, meletakkannya tanpa ragu di pangkuan perempuan itu. Jika tidak begitu, pasti Bii akan kukuh menolak. “Lagipula, sejujurnya aku sudah pernah membaca itu sebelumnya. Hanya membacanya ulang.”

Mendengar penjelasan singkat Hijir, Bii mengerjapkan mata. Untuk apa membaca buku yang sama dua kali? Bukankah kisahnya akan sama? Kecuali jika ada bagian-bagian penting dalam buku yang dilupakan.

Paham maksud tatapan Bii, Hijir menjelaskan tanpa diminta, pandangannya menerawang ke jendela pesawat, “Aku suka sejarah dari dulu, terkhusus peradaban Islam, tapi hanya sebatas itu. Sampai ada seseorang yang datang dan dengan fasih memaparkan kocar-kacirnya Andalusia sejak Umayyah runtuh, aku dibuat makin jatuh cinta dengan sejarah.”

Hijir tertawa hambar. “Aku jadi kenal dengan sosok luar biasa Ratu Isabella dari sudut pandang Kristen, bukan hanya dari sudut pandang Islam di mana beliau adalah perempuan antagonis yang tak kenal ampun. Aku bahkan jadi bisa menyaksikan langsung praktik anti-tabayyun sebagaimana yang menimpa Al Hallaj di zaman ini, meski dalam porsi yang lebih ringan. Dia … membuatku tak pernah bosan membaca kisah sejarah yang sama berulang kali.”

Sudut kecil hati Bii tercubit mendengar kedalaman lelaki itu berbicara. Bukannya ingin ikut campur atau termakan terkaan pribadinya, hanya saja ….

“Mbak Jauza?”

Satu nama yang terpikir di kepala Bii dan disuarakan, sukses membuat Hijir berjengit. Pandangannya berubah nanar, napasnya pun memburu. Apa dia … baru saja menceritakan tentang Jauza? Berusaha menenangkan diri, lelaki itu memejamkan mata untuk beberapa saat.

Melihat respons yang diberikan Hijir, Bii yakin dugaannya tepat. Benar! Mana mungkin Hijir tak memiliki perempuan pujaan? Bii menertawai diri sendiri dalam hati, membatin, “Kamu tidak berhak merasa kecewa, Inbihaaj. Dia sudah menolongmu, jangan melewati batas dengan berharap lebih pada manusia sesempurna Mas Hijir, ia pantas mendapatkan yang sekufu’ dengannya.”

Ingin mengurai kecanggungan, Bii memilih fokus ke layar laptop Hijir. “Saya baca dulu kalau begitu. Maaf sudah lancang.”

Semenit penuh tak ada suara di antara mereka, hingga suara Hijir kembali memecah atensi Bii, membuat perempuan itu menoleh.
“Jauza Lafatunnisa, iya, dia orangnya.” Pandangan Hijir lurus ke depan, kosong. “Perempuan yang membuatku sejauh ini—maksudku, benar-benar jauh dari Indonesia.”

Hati Bii mencelos, ia dapat melihat luka dalam sorot mata Hijir kali ini, amat dalam.

“Tidak tahu diri memang kedengarannya, tapi tujuan awalku ke Mesir adalah melarikan diri dari patah hati sebab Jauza, Inbihaaj. Sama seperti sejarah, aku juga jatuh terlalu dalam pada wanita yang mengidolakan tokoh-tokoh sufi itu.” Hijir terkekeh. “Entah kenapa aku malah memberitahumu hal ini. Tidak penting, bukan?”

Bii balas tersenyum maklum pada lelaki yang sudah menatapnya itu, sebelum kembali menunduk.

“Aku juga harus berterima kasih padamu. Karena berkat kamu, aku bisa kembali menebalkan keberanian untuk berbicara dengannya, tanpa perantara Laith, adiknya Zaa.”

Bii tak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya diam dan terus menunduk. Namun entah dorongan dari mana, setelah tiga puluh detik membisu, ia bertanya spontan, “Kenapa Mas Hijir tidak kembali saja pada Mbak Jauza? Sepertinya kalian amat cocok meski saya belum pernah melihatnya langsung.”

Hijir terkekeh geli mendengar pertanyaan polos itu, membuat Bii justru kebingungan. Apa yang salah?

“Inbihaaj, sudah kubilang aku patah hati. Tandanya ada hal yang tidak bisa kupaksakan untuk bersama dia. Jika aku bisa, untuk apa aku sampai melarikan diri ke Negara Elang Salahuddin?” Masih dengan sisa tawa, Hijir menyandarkan punggung dengan nyaman, melipat tangan di depan dada dan memejamkan mata. Paham Bii masih menuntut jawab tanpa kata, ia melanjutkan santai, “Zaa sudah berkeluarga. Dia punya keluarga kecil yang insyaallah bahagia dan demi Allah, aku tidak berniat menghancurkan itu.”

Mata Bii membola, ia lantas meringis. Tentu saja, Zaa sempat memberitahunya secara tak langsung lewat panggilan hari itu. Pelan Bii bergumam, “Inbihaaj bodoh.”

Maaf, tadi adik dan putraku.”

-o0o-

Sampai di Indonesia, mereka sudah ditunggu oleh perwakilan dari pihak pemerintah yang mengurus proses kepulangan Bii. Juga, perempuan itu menemukan sosok Dani di sana.

Suara lelaki itu bergetar saat menyapanya, “Apa kabar, Inbihaaj? Tidak—saya yakin kamu tidak baik-baik saja. Maafkan saya sudah gagal mengirim kamu ke tempat yang aman di sana.”

Bii tersenyum. “Saya baik, Pak Dani. Terima kasih dan jangan minta maaf, ini bukan kesalahan Pak Dani. Barangkali ini memang sudah takdir yang digariskan Allah untuk saya. Saya sudah tidak apa-apa, sungguh.”

“Sekali lagi saya minta maaf,” ulang lelaki itu.

Menatap lamat lelaki yang masih terus menunduk tersebut, Bii jadi ingat penawaran yang diajukan padanya sebelum meninggalkan Indonesia hari itu. Menjadi calon suaminya. Namun, banyak hal lain yang mesti Bii prioritaskan untuk saat ini: menyembuhkan diri sendiri.

“Mari, Mbak Bii!” Suara perempuan tengah baya berpakaian formal mengambil atensi, membuat Bii mengangguk sebelum mengikuti langkahnya.

Sedang, Dani dan Hijir mengekor dalam diam, saling bertanya dalam hati masing-masing, siapa kiranya satu sama lain untuk sosok Inbihaaj.

-o0o-

2 bulan nggak update, gila🤣 Maapkeun, aku sempet mandek nulis ini, kehilangan feel. Jadi, baru bisa lanjut sekarang.

Wish you enjoy dan happy midnight.

Amaranteya

7th of July 2023

Gratia DeiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang