11. Minoritas dan Tertindas

71 20 1
                                    

Konten (agak) sensitif, be careful!

-o0o-

Pupil matanya langsung menyesuaikan cahaya yang masuk lewat celah ventilasi udara di atas sana. Mengerjap beberapa kali, Bii berusaha meredakan pening yang masih amat sangat terasa. Sadar pakaiannya teronggok beberapa meter di depan, ia terkekeh miris. Kembali dipejamkan mata erat sebelum berujar lirih, "Aku melewatkan Subuh."

Tak ada lagi sang majikan di sana, hanya dirinya juga beberapa tumpukan barang tak terpakai di sudut gudang.

Perlahan, tangan perempuan berdarah Jepang itu terangkat, mencengkeram rambut kuat. Rasa sakit semacam itu tak akan ada apa-apanya dibanding luka batin yang Bii rasakan. Bii ... hanya ingin mati.

Sepuluh menit bertahan dalam posisi yang sama, tanpa tangis sedikit pun, Bii akhirnya bangkit dan memungut pakaian, mengenakannya lemah.

Keluar dari gudang, hal pertama yang Bii lihat adalah tampang tanpa rasa bersalah majikannya. Lelaki itu duduk manis di salah satu kursi makan, menatapnya dengan senyum miring yang bagi Bii sangat menjijikkan. Perempuan itu tak memberikan respons berarti, hanya menatap datar. Tak ada lagi air mata yang bisa ia tumpahkan.

Tanpa kata, Bii melenggang begitu saja, berniat kembali ke kamar. Namun, langkahnya dihentikan oleh suara berat sang majikan.

"Rupanya kau sudah tidak perawan."

Tangan Bii mengepal kuat di sisi tubuh, sedang rahangnya mengetat.

"Tahu begitu, harusnya kau tak jual mahal, Sayang. Ibarat dijual, hargamu sudah jatuh, kau sudah bekas. Rusak."

Semakin mengetat rahang Bii dibuat, kepalan tangannya pun sama. Dipejamkannya mata kuat-kuat seraya kembali mendengarkan lelaki itu melanjutkan celotehnya.

"Apa itu ulah suamimu? Ah, benar juga, kau belum menikah. Lalu, siapa?" Lelaki itu terkekeh keras.

Seluruh tubuh Bii gemetar.

"Aku tahu, pasti kau menjajakan diri di negara asalmu. Lalu, apa masalahnya jika aku ikut menikmati tubuhmu?"

Cukup, Bii tak sanggup mendengar penghinaan lebih jauh lagi. Dengan kemarahan juga kekecewaan luar biasa, ia melanjutkan langkah menuju kamar, mengunci pintu rapat-rapat. Segera luruh tubuhnya di balik pintu, menangis tanpa suara. Bii hancur untuk kesekian kalinya.

"Dia benar, Bii. Kamu sudah rusak." Digigitnya lidah kuat hingga rasa besi bercampur dengan saliva. Namun tak lama, gigitannya melemah, berganti gemetar rahang bawah perempuan itu. Giginya bergemeletuk bak orang menggigil. Perkataan lelaki itu bak palu godam yang menghantamnya tanpa aba, meluluhlantakkan sisa keinginannya untuk bertahan.

Tangan Bii yang terkulai di sisi tubuh mulai mengepal, membiarkan kukunya yang mulai panjang menancap pada telapak tangan. Satu .... pelan kepala belakangnya mulai diantukkan pada daun pintu. Dua ... Bii mulai bisa mendengar bunyi tabrakan dengan pintu kayu di belakannya. Tiga ... matanya refleks memejam bersamaan efek kejut rasa sakit yang datang. Empat ... dengung menguasai pendengarannya. Lima ....

"Mati, Bii, mati!" Menambah intenitas benturan, Bii meraung putus asa. Dibiarkan suara kesakitannya memenuhi ruangan, hingga serak, lalu redam dalam isak.

-o0o-

"Kaum mayoritas itu biasanya egois, Suf. Minta dihargai setiap saat oleh minoritas, kan kebalik, kesannya jadi menindas. Tidak muluk-muluk, contoh saja Indonesia. Sejujurnya ini uneg-uneg sejak dulu, tapi aku sungkan membahasnya, takut serba salah."

Di teras belakang ma'had, pemandangan tak biasa terlihat. Tadi, Hijir yang lepas kajian malam selalu belajar dalam kamar, tiba-tiba mengetuk pintu kamar Yusuf sambil membawa dua cangkir kopi. Lelaki itu mengajak sang kawan mengobrol sambil ngopi santai. Ingin berbagi pikiran katanya.

Gratia DeiWhere stories live. Discover now