2. Kebebasan

82 22 1
                                    

Tak ada yang mampu berbicara dalam ruangan tak seberapa itu. Suasana bisu mendominasi setelah makian terlontar tanpa jeda dari bibinya Bii. Perempuan itu baru saja selesai mengeluarkan sumpah serapah dan mengutuk Bii habis-habisan.

Siapa yang salah sebenarnya? Kenapa Bii yang harus menanggung hal sehina itu? Bukankah dia korban? Pamannya benar-benar licik hingga berhasil membalik keadaan ganti menyudutkannya. Salah bibi juga yang terlalu percaya pada sang suami yang bejat. Ditambah, dari dulu Bii memang sudah dimusuhi keluarga besar karena paling berbeda-sebab sang ayah yang hubungannya tak pernah disetujui dengan ibunya. Sekali lagi, kenapa Bii yang menanggung semuanya?

Bibi, paman, serta anggota keluarga lain yang tadi berkumpul memang sudah meninggalkan rumah kecil itu. Tentu saja, setelah satu per satu setidaknya memukul kepala Bii sekali. Tersisa ibu dan anak yang hubungannya bahkan tak akur di sana.

"Kamu sukses bikin malu keluarga, Bii. Harusnya kamu mikir, kalau mau main sama cowok, seenggaknya jangan sama pamanmu sendiri." Sudah berulang kali kalimat serupa terulang.

Bii sendiri hanya bisa menangis sambil mencoba meyakinkan ibunya, tetapi tak membuahkan hasil apa pun. Ia bahkan sudah menceritakan yang selama ini ia alamai, pelecehan, siksaan fisik, tetapi apa? Sang ibu hanya terus menyerang dan menyalahkannya.

"Malu sama jilbab kamu." Decihan lolos dari bibir ibunya. "Percuma kamu pakai jilbab kalau tingkah kamu bahkan lebih menjijikkan daripada pelacur. Mending sekalian saja kamu melacur, dapat uang. Ini?"

Sesak tak dapat ditahan perempuan itu. Apa serendah itu sang ibu memandang dirinya?

"Jilbab Bii tidak ada kaitannya dengan semua ini. tolong berhenti menyangkutpautkannya, Bu." Jemarinya memilin rok kuat, menyalurkan kekecewaann juga amarah yang hendak meledak. "Benar dugaan Bii, tidak akan ada yang akan percaya meski Bii benar, semuanya terlalu buta untuk melihat siapa yang brengsek sebenarnya."

Sudah berusaha untuk menekan keinginan mengeluarkan kata kasar, nyatanya Bii tak bisa. Rasa sakit hatinya terlalu besar untuk dipendam.

Tawa sumbang kini memenuhi ruangan, mengejek diri sendiri. "Ternyata Tuhan memang sangat adil, Bu. Bii ditakdirkan hidup seperti ini, tetapi setidaknya Bii mampu memanfaatkan otak dengan baik. Sementara, Tuhan menciptakan mereka dengan ekonomi lebih dari cukup, tapi tidak tahu cara memanfaatkan otak."

Sang ibu berdiri dari duduk seketika. Tangannya terangkat, dengan gigi bergemeletuk. Bii sendiri memejamkan mata, siap menerima pukulan atau tamparan untuk kesekian kali. Biar saja peningnya yang tadi belum hilang, biar saja rasa sakit itu semakin menyiksa. Biar saja. Namun, telapak tangan sang ibu tak jua mendarat pada pipi kemerahannya.

Dengan suara gemetar, ibu Bii melanjutkan, "Yang sopan kamu. Mereka itu keluarga kamu."

Kali ini, Bii berani menatap mata sang ibu tepat di maniknya, menyalurkan kesakitan lewat sorot netranya, tak peduli sang ibu akan paham atau tidak. "Tidak. Mereka hanya keluarga Ibu. Keluargaku hanya Ayah dan beliau sudah berpulang. Aku tidak punya keluarga yang lain. Tidak sama sekali."

Selesai sudah, kalimat yang sejak dulu ditahannya akhirnya bertemu dengan udara. Tak bisa lagi Bii memendam itu hanya agar tak menyakiti perasaan sang ibu. Sudah cukup siksa batin yang selama ini ia simpan sendiri.

Tanpa menunggu balasan apa pun, Bii bangkit dan tersenyum menatap sang ibu. "Selama ini Ibu hanya peduli pada keluarga ibu sendiri. Tidak, aku tidak termasuk di dalamnya."

Bii melangkah gontai, membiarkan khimar besarnya berkibar pelan, meninggalkan rumah. Ia hanya ingin berkunjung ke makam sang ayah, menumpahkan semua kesedihan yang tidak pernah kuasa ia ceritakan selama lelaki itu masih hidup.

Gratia DeiWhere stories live. Discover now