28. Mindset

44 13 0
                                    

Bii pernah berada titik percaya bahwa roda kehidupannya tak pernah berputar, stagnan di bawah. Berkutat dengan resah, gelisah, payah, dan pada akhirnya ingin menyerah. Ia tak pernah bermimpi akan berada pada titik ini, berani pun tidak. Yang tak pernah lupa ia syukuri, ia mampu tetap menengadahkan tangan untuk berdoa, sebuah bentuk penggantungan hidup serta percaya, bahwa Tuhan masih satu-satunya Dzat yang bisa ia andalkan, meski separah apa pun keadaan. Terdengar paradoks, tetapi bukankah hidup memang tentang berbagai macam paradoks?

Percaya lalu ragu, berani lalu cemas, menghamba lalu mengutuk tempat menghamba, mengimani takdir lalu khawatir bahwa rezeki punya akhir. Manusia memang makhluk yang serba kebingungan, mencari tenang, lalu sendirinya senang berkubang dalam pikir gamang. Mencari lengang, tetapi sibuk hingga lupa pulang. Manusia memang semembingungkan itu.

Rasanya mengucap syukur saja tak cukup untuk menggambarkan rasa terima kasih Bii atas kebaikan Tuhan yang telah memutar roda hidupnya sedramatis ini. Mempertemukannya dengan Hijir dan teman-temannya di Mesir, mengantarnya ke pesantren dan bertemu Nuha, dan terakhir … masih memberinya hadiah luar biasa dalam bentuk hati Hijir, meski Bii belum berani berharap sebanyak itu. Ia takut semua ini adalah bentuk istidraj Tuhan terhadapnya.

“Buat lo, Mbak.”

Sebuah buku tebal bersampul dominan hitam-oranye diberikan ke pangkuan Bii, sedang si tersangka dengan santai di kursi samping, langsung fokus pada layar komputer di hadapan.

Jemari perempuan iu langsung lincah menari di atas papan keyboard begitu berhasil mengakses aplikasi microsoft word.

“Kenapa kamu memberikan ini untuk saya, Nu?” tanyanya.

“Pengen, baca aja.” Nuha mengatakannya tanpa menoleh sedikit pun, masih fokus pada layar komputer. “Mbak Zaa ngasih itu waktu gue mulai mondok di sini. Tamat baca, sedikit banyak gue makin paham sama divine love, cinta platonik ke Tuhan. Bukan semata yang lo ibadah buat menggugurkan kewajiban. Ya, dibantu sama buku-buku yang sebelumnya gue baca, sih.”

Bii memandang lekat buku tersebut, lantas meletakkannya di atas meja komputer. Dibukanya buku berjudul The Secret of Divine Love itu, membacanya sekilas pada sembarang halaman yang terbuka. Tak mungkin ia bisa fokus membaca sedang suara papan tik Nuha terus menggema. Ia memutuskan menutup buku itu lagi.

“Terima kasih, Nu. Nanti saya baca.” Dari balik cadar, Bii tersenyum. Mendapati anggukan Nuha, Bii sedikit melongok ke layar komputer yang digunakan perempuan di sampingnya. “Kamu sering mendatangi perpustakaan ini?”

Sekali lagi Nuha mengangguk. “Tiap hari. Soalnya gue bisa akses internet di sini doang, sebebas-bebasnya. Asal nggak mangkir jadwal aja.”

“Kamu … buat apa? Maksud saya, kamu butuh internet buat akses apa? Medsos? Kelihatannya kamu bukan tipikal perempuan yang suka main medsos.”

Nuha menghentikan kegiatannya, menoleh dan menatap Bii. “Gue kerja, lo belum tahu, Mbak?”

“Kerja?” Bii lebih memfokuskan pandangan ke layar komputer, membaca sederet kalimat di sana. “Kamu ….”

Content writer. Dari sebelum mondok, ini kerjaan gue buat bertahan hidup. Meskipun sekarang biaya gue di sini ditanggung sama Om Hisyam, ayahnya Mbak Zaa sama Laith, tetep aja gue butuh duit buat nunjang kebutuhan gue yang lain. Nggak tahu diri namanya kalau gue gantungin hidup sepenuhnya sama mereka.”

Mata Bii sukses membulat mengetahui fakta yang satu itu. “Mereka yang membiayai kamu?”

Nuha tersenyum lebar, lalu mengangguk sebelum kembali sibuk mengetik. “Salah satu alasan kenapa gue merasa terikat sama mereka. Tapi itu nggak jadi beban sama sekali buat gue, Mbak. Justru buat gue ngerasa bener-bener punya keluarga.”

Gratia DeiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang