24. Hadiah

42 13 0
                                    

“Mbak Bii, lo dipanggil Umi, disuruh ke rumahnya.” Nuha baru masuk ke dalam kamar dengan wajah kucel. Ia baru usai melaksanakan piket memasak di dapur pondok.

“Umi?” Alis kiri Bii terangkat.

“Bu Nyai maksud gue. Buruan, kayaknya ada hal penting yang mau disampaiin.”

Ini pasti perihal mengajar itu. Setelah mengangguk, Bii beranjak meninggalkan kamar.

Sepanjang jalan, banyak santriwati yang masih saja mencuri pandang padanya, barangkali karena sosok Bii masih asing, apalagi ini bukan tahun ajaran baru di mana santriwati baru berdatangan. Meski berusaha abai, tetap saja Bii tak bisa serta merta berjalan tegak dengan pandangan lurus ke depan, memilih menunduk memperhatikan langkahnya sendiri.

Sampai di tujuan, ia langsung mengucap salam, dijawab salah seorang santriwati yang tampaknya memang membantu di rumah kiai.

“Mbak Inbihaaj, ya?” Setelah mendapati Bii mengangguk, santriwati itu melanjutkan, “Sebentar, aku panggilkan Umi.”

Tak lama, wanita paruh baya yang dipanggil Umi itu keluar sambil membawa … Bii rasa itu pakaian. Terbungkus plastik bening.

“Duduk, Inbihaaj,” pinta umi seraya duduk, disusul anggukan Bii.

Keduanya duduk di kursi teras dengan nyaman, tetapi belum ada yang membuka suara. Bii masih merasa segan, terlebih saat wanita itu menatapnya lekat, amat teduh. Bii hanya mampu menundukkan kepala semakin dalam.

“Bagaimana ziarah ke makam almarhum ayahmu kemarin? Tenang sudah ke makam beliau?” tanya umi.

Tanpa bisa mengelak, rasa hangat menyusup dalam hati Bii. Perlahan senyum terbit di bibir tipis perempuan itu sambil mengangguk. “Alhamdulillah, Bu.”

“Panggil saja Umi, seperti yang lain,” ralat umi, mendapat anggukan Bii. “Hijir sudah bercerita mengenai pertemuan kamu dengan keluarga kamu kemarin.”

Senyum Inbihaaj kembali pudar, rasa kosong kembali dirasakannya. Keluarga? Hah, Bii rasanya ingin tertawa mendengar kata yang satu itu.

"Allah sedang menyiapkan sesuatu yang indah untuk kamu, Bii. Percaya pada- Nya. Yang kemarin-kemarin, tidak usah terlalu dipikirkan, itu adalah salah satu cara Allah untuk mengangkat derajat kamu di hadapan-Nya."

Bii tersenyum dan mengangguk. Ia percaya ... semoga.

Umi lantas mengangsurkan sebungkus plastik yang tadi dibawanya ke atas meja. “Bukalah!”

Sejenak Bii ragu meraihnya, tetapi tak urung melakukan apa yang diminta jua. Bii merentangkan sepotong pakaian itu lebar-lebar, sebuah abaya hitam dengan list emas di setiap pinggirannya. Tidak terlalu ramai, cantik.

Bii menoleh ke arah umi. “Ini ….”

“Untuk kamu,” lanjut umi memperjelas.

“Tapi untuk apa, Umi? Bii merasa tidak enak, lagipula pakaian Bii masih lebih dari cukup meski sederhana.” Bii mengutarakan penolakannya lembut, saat netranya tak sengaja menangkap masih ada sepotong kain berukuran lebih kecil tertinggal di dalam plastik. Ia kembali mengeluarkannya, sebuah cadar berwarna senada.

“Jadi kamu tidak mau menerimanya?” tanya umi, Bii dapat menangkap nada kecewa dalam suaranya.

“Bukan maksud Bii demikian, Umi. Hanya … apa ini tidak berlebihan untuk saya? Diterima di sini saja, saya sudah sangat berterima kasih, tidak perlu sampai seperti ini.”

Umi mengulas senyum lebar. “Tidak ada yang terlalu berlebihan, Inbihaaj. Anggap saja itu hadiah.”

Pangkal alis Bii tertaut, kali ini menatap umi dengan bingung. “Hadiah atas apa, Umi? Bii tidak merasa melakukan sesuatu yang patut untuk diberi hadiah.”

Gratia DeiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang