9. Terulang

73 21 2
                                    

Demi Allah, jambakan yang diterimanya kini tak kalah menyakitkan dari yang Bii terima dari keluarganya di Indonesia. Tak sekali pun ia membayangkan akan dipertemukan dengan orang bertempramen sama di negeri Elang Salahuddin ini. Rasanya ingin menjerit alih-alih merintih memohon ampun seperti saat ini.

Memejamkan mata erat, berharap mengurai sedikit sakit rasanya percuma. Rambutnya seakan hendak tercabut dari kulit kepala jika Charlotte menambah kuat jambakan sekali lagi.

"Maafkan saya, maafkan saya. Saya berjanji tidak akan mengulangi kesalahan yang sama." Genap dua puluh kali Bii mengucap kalimat yang sama. Dengan tangis juga rembesan air mata di pipi, ia berusaha meraih tangan Charlotte di pangkal rambutnya. Nihil, tak bisa.

Allah ... hanya karena Bii tak langsung datang saat Charlotte memanggil, kenapa harus begini? Ia tengah menunaikan dua rakaat Subuh tadi. Berusaha menepuk punggung tangan sekenanya untuk menjawab Charlotte, jelas wanita itu tak mendengar, tak mau menoleransi.

Dalam langkah tegas juga tergesa, Charlotte langsung membuka pintu kamar Bii keras. Tak peduli pada kenyataan bahwa Bii masih duduk tahiyat akhir, wanita itu menyambar mukena yang Bii kenakan, melepasnya paksa.

"Ampun, Bu. Saya berjanji akan segera datang. Saya mohon, lepaskan, ini menyakitkan." Rintihannya lagi-lagi tak digubris. Bahkan posisi bersimpuhnya mulai tergeser perlahan saat Charlotte menariknya keras.

"Kau kubayar untuk selalu ada saat kupanggil." Semburat kebiruan di pergelangan tangan Charlotte yang cukup kurus semakin menonjol, urat-urat otot itu bak ikut ambil bagian dalam menyaksikan penderitaan Bii. "Kau harus diberi pelajaran!"

Sebisa mungkin Bii berusaha bangkit. Meminimalkan kesakitan itu bertumpu pada satu titik di kepala. Ia harus membuat tubuhnya tak terseret--setidaknya Bii harus mengimbangi langkah Charlotte yang semakin bringas.

Tak memiliki petunjuk apa pun, Bii hanya mendesah lega saat jambakan Charlotte mengendur tatkala sampai di depan bak kamar mandi. Hampir saja Bii berkata terima kasih andai wanita itu tak kembali menjambak dan mendorong kepalanya ke dalam bak penuh air. Menenggelamkan kepala Bii tanpa persiapan apa pun. Satu dua kali gelagapan masih bisa ditahan, ketiga, keempat, Bii siap kehilangan napas saat Charlotte kembali menariknya ke permukaan.

Tangan perempuan bergamis abu itu langsung bertumpu pada pinggiran bak, menahan andaikata Charlotte melakukan hal yang sama. Benar saja, belum sampai wajah Bii kembali dari warna kebiruan, air langsung masuk memenuhi rongga hidung serta mulutnya, tertelan beberapa kali.

Setengah menit lamanya Bii memberontak, tak ada tanda-tanda Charlotte akan melepas. Di detik ke-45, Bii sudah kehabisan napas juga tenaga, pasrah. Pandangan yang semula masih bisa menjangkau sudut bawah bak mengabur, gerak tangan yang berusaha melepas tangan Charlotte pun melemah, jatuh terkulai di pinggir bak.

"Allah, sebegitu kejamkah takdir-Mu atasku?" batinnya, "Allah ...."

Satu, dua, gelap.

Air langsung berjatuhan dari rambut Bii yang seutuhnya basah. Meraup udara sebanyak-banyaknya di sela terbatuk hebat, Bii berusaha mengendalikan diri yang masih diberi kesempatan hidup itu.

"Tenanglah, Charlotte. Ini hanya masalah kecil." Lelaki berpiyama navy muncul dari balik pintu kamar mandi. Berdiri menyandar pada kusen pintu seraya melipat tangan di depan dada. Ia teramat santai untuk ukuran seseorang yang baru melihat aksi penyiksaan.

Charlotte melepaskan jambakan pada Bii seketika, menghempasnya kasar.

"Kau membelanya?!" Satu tangan Charlotte terangkat, telunjuknya teracung tepat di depan wajah Bii yang hampir luruh ke lantai, masih terbatuk.

Gratia DeiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang