Hening, hanya ada suara papan tik yang memenuhi ruangan penuh buku juga komputer yang berjajar di sepanjang tepi dinding. Kebetulan, siang ini hanya ada mereka berdua di sana. Setelah menjalankan hukuman hari terakhirnya, Nuha memilih mendekam di sana, menyelesaikan deadline kerjaan yang ia dapat kemarin. Tentu selama ini Nuha masih menjalankan rutinitas yang satu itu, seperti katanya, ia tak mungkin lebih jauh menggantungkan hidup pada keluarga Laith.

“Keluarga,” lirih Bii, yang masih dapat didengar Nuha dengan jelas. “Punya keluarga yang hangat, bagaimana rasanya ya, Nu? Setidaknya, saya yakin keluarga Mbak Jauza adalah keluarga yang harmonis.”

Setelah menyimpan ikon save, Nuha memutar kursi agar bisa melihat Bii leluasa. Perempuan itu menerawang sejenak sebelum menjawab, “Bisa dibilang, iya, keluarga mereka emang harmonis, cukup sempet buat gue iri juga, sih. Terlepas dari itu, Mbak, karena gue nggak mau berandai-andai hal yang nggak mungkin, buat gue, saat gue menemukan tempat yang nyaman buat pulang, entah ke siapa atau di mana, gue bakal tetep ngerasa kalau itu keluarga gue. Semua itu cuma tentang mindset.”

Bii menunduk dalam, tertohok oleh apa yang baru saja didengar. Nuha jelas lebih muda daripada dirinya, tetapi perempuan itu bisa lebih bijaksana menyikapi banyak hal. Ia … malu.

“Nu, kamu tahu, saya merasa beruntung bertemu dengan kamu. Saya belajar banyak dari kamu.”

Senyum lebar tersungging di bibir Nuha. Ia ingat salah satu kalimat yang pernah diucapkan Hisyam padanya saat ia berusaha menolak tawaran dikuliahkan dulu. “Manusia adalah jalan rezeki bagi manusia yang lain, Nuha”. Tentu ia sadar betul bahwa ada banyak bentuk dari yang namanya rezeki, ia percaya itu.

“Oh iya Nu, masalah Mas Dani … Mas Hijir tidak tahu, kan?” Pandangan Bii berubah khawatir, sungguh, sejak Hijir pulang, itu yang sangat ia takutkan. Ia takut jika Hijir tahu, situasi akan kacau, meskipun sudah berakhir damai.

“Mustahil Mas Hijir nggak tahu, Mbak. Ustadz Hikam itu sohibnya dia. Udah cerita pasti, apalagi sempet lihat gue dita’zir. Lagian, lo tenang aja kali, Mas Hijir bukan remaja tanggung yang apa-apa pakai otot kalau ngerasa teritori atau orang-orang di sekelilingnya diganggu. Dia bukan gue yang gampang emosi ngadepin manusia macam Dani-Dani itu.” Diingatkan perkara Dani, Nuha jadi kesal sendiri. Rasanya masih sangat gondok. Mau bagaimana lagi, ia sadar bahwa memang harus ada manusia macam Dani sebagai pelengkap dunia.

“Lo mau nunggu gue kelar di sini apa balik ke kamar dulu? Gue masih harus ngirim kerjaan yang tadi sama ngecek email yang lain,” tanya Nuha.

“Saya kembali ke kamar saja, persiapan jamaah Zuhur.”

Nuha mengangguk. “Boleh sekalian minta tolong, nggak?”

“Tentu.”

“Pertama, please stop pake saya-saya, formal banget, Mbak. Aku-kamu aja, oke?”

Tawa kecil Bii lolos.

Nuha lantas melanjutkan, “Sip. Yang kedua, tolong sekalian bawain mukena sama Qur’an saku aku ke masjid, ya? Biar aku bisa langsung ke sana abis ini.”

“Iya, nanti aku bawakan. Kamu jangan sampai telat ke sana nanti.” Bii tersenyum hingga matanya menyipit.

“Siap, makasih sebelumnya, Mbak Bii. Gue ngebut nyelesaiin ini dulu.”

Bii mengangguk, lalu bangkit dan meninggalkan perpustakaan sambil menenteng buku pemberian Nuha.

-o0o-

Belum juga bubar sepenuhnya jamaah Zuhur siang ini, pesantren dibuat heboh karena kedatangan tiga orang didampingi dua polisi. Andai mereka yang berada di masjid tidak memiliki tanggungan setor hafalan, pasti mereka sudah menghambur untuk menyaksikan apa yang terjadi.

Total lima orang itu berdiri tegak di depan rumah kiai setelah diantar oleh staff sekretariat ke sana. Akan lebih baik para polisi itu bertemu langsung dengan pengasuh pondok untuk menjelaskan duduk perkara hingga mereka bertandang ke sana.

Kiai yang baru saja sampai setelah mengimami salat, mempersilakan mereka masuk dan duduk, berbicara lebih nyaman.

“Jadi, ada apa kiranya bapak-bapak dan ibu-ibu sekalian ini datang berkunjung ramai-ramai kemari?” tanya kiai. Tak ditemani sang istri, beliau ditemani putranya—Gus Maqil—di sana.

“Maaf jika kami tidak sopan, Pak Kiai. Kami hanya menjalankan tugas,” sahut salah seorang polisi.

“Kami mendapat laporan bahwa ada salah seorang dari pesantren ini telah melarikan dan menyembunyikan putri dari pelapor,” imbuh polisi lain, “terhitung sudah lima hari sejak putri pelapor tidak pulang ke rumah.”

“Siapa nama orang yang dimaksud, Pak? Agar kita bisa sama-sama mencari tahu kebenarannya.” Gus Maqil yang kali ini membalas.

“Hijir, lelaki itu berani-beraninya membawa pergi Inbihaaj, putri saya. Dengan perempuan tidak punya sopan santun itu, siapa namanya? Nuha, iya, namanya Nuha,” sambar salah seorang perempuan.

Gus Maqil dan kiai saling pandang, sama-sama menautkan alis.

“Kami mohon kerja samanya, Pak Kiai.” Seorang polisi berujar tegas.

Le, kamu panggil mereka bertiga kemari, ya?” Kiai bertitah, membuat Gus Maqil mengangguk.

“Saya permisi memanggil mereka dulu, Pak, Bu.”

Lima menit setelahnya, Gus Maqil kembali bersama Hijir dan Bii serta Nuha yang mengekor di belakang. Untung saja ketiganya tak sulit ditemukan, masih i’tikaf dalam masjid.

Wajah-wajah mereka bingung dipanggil di waktu yang tak biasa seperti ini. Namun, rasa penasaran mereka langsung terjawab begitu melihat siapa yang berkumpul di ruang tamu pak kiai.

“Ibu,” lirih Inbihaaj.

-To Be Continued-

Gratia Dei udah tamat di draf + epilognya juga. Seneng, deh. Bisa fokus lanjut ke yang lain. Aku lagi proses namatin Ebulisi saat ini, sebelum ke Ehipassiko, lalu mikir buat cerita baru.

Niatnya ini mau ku-up sampai tamat sekaligus hari ini, beda waktu aja. Ditunggu aja.

Wish you enjoy

Amaranteya

20th of July 2023

Gratia DeiWhere stories live. Discover now