27. Keputusan

41 13 2
                                    

Hangat perbincangan orang tua Hijir dengan pasangan pemilik pesantren itu terinterupsi oleh ucapan salam dari arah pintu. Dua orang perempuan muncul dari sana. Dengan salah satunya sukses membuat semua yang ada terpana.

Nuha berpenampilan seperti biasa. Sebuah rok hitam dipadukan dengan baju muslim panjang hingga ke lutut. Jilbab segi empat lebar berwarna peach-nya menjuntai hingga ke paha.

Pemeran utama malam ini, Inbihaaj, yang berhasil menarik perhatian mereka semua malam ini menunduk dalam. Ia sungguh mengenakan abaya pemberian Hijir, memadukannya dengan khimar berwarna senada. Yang membuat Hijir bahkan tak mengerjap sedikit pun adalah, ia tak menyangka bahwa Bii akan ikut mengenakan cadar itu. Hanya mata cerah dengan bulu mata lentik milik Bii yang kini dapat dijangkau pandangan Hijir.

Mendapat senggolan dari ibunya, Hijir baru menunduk sambil melafalkan istigfar berulang, membuat pak kiai dan sang istri tersenyum sambil menggelengkan kepala.

“Duduk, Inbihaaj,” ucap umi, “Nuha, kamu tolong bantu Lastri di belakang menyiapkan makanan, ya.”

“Siap, Umi.” Nuha beralih pada Bii, berbisik tepat di telinganya, “Gue tunggu tanggal baiknya, Mbak.”

Bii lantas dipersilakan duduk di samping umi.

“Baiklah, karena Inbihaaj sudah di sini sekarang, kita langsung saja,” ujar ayah Hijir. Lelaki berpakaian batik berwarna perpaduan hitam-cokelat itu tersenyum lebar. “Sebetulnya kami sedikit terkejut saat Hijir tiba-tiba pulang ke Indonesia dan meminta kami mengkhitbahkan seorang perempuan di pesantren. Padahal, kuliahnya belum selesai. Tapi setelah melihat Inbihaaj secara langsung, saya tahu alasannya. Ternyata Inbihaaj secantik ini, pantas saja Hijir sampai bersikap begini.”

Inbihaaj hanya bisa terus menundukkan kepala.

“Seperti yang Nak Inbihaaj dengar, kami orang tua Hijir berniat meminangkan Nak Inbihaaj untuk putra kami Hijir. Apakah Nak Inbihaaj bersedia?” lanjut ayah Hijir.

Inbihaaj masih diam. Untuk semenit penuh ia hanya memperhatikan tangannya yang saling memilin di pangkuan. Ia tengah bertarung dengan pikirannya sendiri, Bii berusaha menekan rasa takutnya. Sampai, sebuah elusan di punggung dirasakannya, dari umi.

“Barangkali ada yang ingin kamu sampaikan, Bii? Katakan saja, Nak. Penolakan pun tidak apa jika kamu memang keberatan, jangan ragu. Kami akan menerima apa pun keputusan kamu,” ujar ibu Hijir menenangkan.

Setelah menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, Bii mulai berkata, “Maaf sebelumnya. Saya merasa perlu mengatakan ini sebelum niat baik Mas Hijir dan keluarga dilanjutkan, agar tidak ada siapa pun yang merasa kecewa dan dirugikan nantinya.

“Saya bukan lagi seorang gadis, Pak, Bu. Saya penyintas, pernah dilecehkan paman dan majikan saya sendiri saat bekerja di Mesir. Bukan bermaksud menolak, saya bahkan merasa sangat berterima kasih atas semua ini. Namun saya merasa, Mas Hijir berhak mendapat pendamping hidup yang lebih baik dari saya, lebih sepadan, lebih terjaga kehormatannya.

“Saya benar-benar merasa tidak pantas untuk Mas Hijir. Terlebih, Mas Hijir sudah banyak membantu saya selama di Mesir, mengusahakan saya bisa kembali ke Indonesia, hingga saya bisa memiliki kehidupan yang lebih baik di pesantren ini. Bapak dan Ibu bisa menjadikan penjelasan saya sebagai bahan berpikir ulang atas khitbahan ini.”

Bukannya marah atau kecewa, Bii justru dibuat terkejut saat mendapati senyum tersungging di bibir orang tua Hijir.

“Inbihaaj, kami sudah tahu semua itu, Hijir sudah menjelaskannya. Dan kami, tidak pernah sekali pun mengajarkan kepada Hijir untuk melihat seseorang dari masa lalunya.”

Bii mencelos mendengar penjelasan ayah Hijir, lebih-lebih melihat senyum lebar Hijir, ia sungguh ingin menangis sekarang.

“Bii, kami sama sekali tidak masalah dengan masa lalu kamu, Nak,” timpal ibu Hijir.

“Sejujurnya, kami tidak akan masalah dengan siapa pun pilihan Hijir, asal berjilbab.” Perempuan itu tertawa kecil. “Dan kami yakin, tidak ada yang lebih pantas mendampingi Hijir, selain pilihannya sendiri. Di sini, kamulah orangnya. Kami yakin pilihan Hijir tidak akan salah.”

Sebulir air mata Bii sukses jatuh saat ini. tak menyangka akan mendapat ucapan demikian dari orang tua Hijir.

“Kalau sampai kamu mendapati Hijir merendahkan kamu, katakan pada kami. Kami sendiri yang akan memberinya pelajaran,” ucap ayah Hijir.

Kembali Bii melihat ke arah Hijir, lelaki itu tengah tersenyum geli, seolah menertawai pemikiran Bii yang terlalu merendahkan dirinya sendiri.

Sedikit memberengut dari balik cadar, Bii akhirnya mengusap matanya yang basah.

“Jadi bagaimana, Inbihaaj? Apa kamu menerima lamaran Hijir?” tanya pak kiai.

Sekali lagi Bii menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. “Bismillah, semoga ini keputusan ini adalah keputusan terbaik, baik untuk Bii, baik untuk Mas Hijir dan keluarga, baik untuk semuanya. Insyaallah, Bii menerima khitbahan Mas Hijir.”

Serempak semua orang mengucapkan hamdalah. Senyum lebar tersungging di bibir Hijir, pun Inbihaaj. Mata perempuan itu sudah menyipit, pertanda ujung-ujung bibirnya juga tertarik ke atas.

Acara malam itu berakhir khidmat. Keluarga Hijir menyerahkan pemilihan tanggal untuk pernikahan keduanya kepada pak kiai, sedangkan Inbihaaj juga sendiko dawuh, manut saja.

Usai pertemuan itu, orang tua Hijir kembali ke kamar yang memang disediakan untuk tamu, tentu setelah makan malam bersama dengan keluarga kiai. Nuha juga ikut kecipratan rezeki, ikut makan makanan enak. Padahal, kata Desi teman sebelah kamar, menu makan para santriwati malam ini tahu goreng dengan sayur kangkung. Nuha bosan kalau boleh jujur.

Saat ini, Bii dan Nuha tengah berjalan berdampingan dengan Hijir menuju asrama, sebelum nanti berpisah tentu saja.

“Kamu sengaja mengenakan cadar untuk acara malam ini?” Hijir bertanya. Sudah sejak tadi ia menahan diri untuk tak menyuarakan rasa penasarannya, tetapi tak bisa lagi.

“Kenapa Mas, Mbak Bii tambah cantik ya kalau pakai cadar?” sahut Nuha, membuat Hijir terkekeh dan Bii mengulum senyum.

Pada akhirnya, Bii menggeleng pelan. “Mendengar cerita Mas Hijir tentang Mbak Jauza sore tadi, sedikit banyak membuka pikiran saya. Tentang Mbak Jauza yang membaca Weda, pergi ke gereja, tetapi tetap taat luar biasa pada Allah, membuat saya tertampar. Begitu jauh Mbak Jauza melintasi banyak hal, tetapi tidak mengurangi ketaatannya sedikit pun, lalu kenapa saya tidak bisa seperti itu? Jelas saya tidak bisa meniru cara Mbak Jauza, tetapi saya memiliki cara saya sendiri, barangkali ini salah satunya.”

Penjelasan panjang Bii membuat Hijir tertegun. “Jadi maksud kamu, ini ….”

Kali ini Bii mengangguk mantap. “Saya memutuskan untuk selalu mengenakannya, Mas Hijir. Bukan karena Mbak Jauza, bukan karena Mas, bukan juga karena masa lalu saya, tapi karena Allah, karena diri saya sendiri. Terima kasih, ini cadar pertama saya dan Mas Hijir yang memberikannya.”

Allah, Hijir hampir tak bisa menahannya. Mata lelaki itu memanas, hampir menjatuhkan sebulir air mata.

“Bii, saat sudah siap nanti, kita ke rumah ibu kamu, ya? Bagaimanapun, aku harus meminta restu beliau, berterima kasih karena telah melahirkan perempuan seluar biasa kamu.”

Please deh Mas, jangan jadiin gue obat nyamuk gini, dong,” protes Nuha.

Hijir terkekeh, Bii hanya tertawa kecil.

“Ya gimana ya Nu, kalau kamu kan tanpa sowan juga langsung direstuin sama orang tuanya Laith. Sudah kenal dekat malah, kan?” goda Hijir.

“Mas Hijir rese’ banget ternyata. Dari cerita-cerita Laith gue kira lo orangnya kalem, Mas.”

Hijir terbahak sambil memasukkan tangan ke saku celana.

“Mas Hijir.” Panggilan Bii membuat fokus lelaki itu kembali. “Boleh saya tanya sesuatu?”

“Silakan.”

Nuha ikut fokus mendengarkan.

“Mengenai keadaanku … orang tua Mas, saya hanya masih tidak percaya bahwa mereka akan seterbuka itu kepada saya.”

“Memang kamu pikir akan bagaimana respons mereka, Bii? Menentang keras, memintamu untuk berkaca atau semacamnya? Bii, ini bukan drama, orang tuaku tentu tidak akan sedramatis itu. Lagipula seperti kata ibuku, mereka tidak pernah memiliki kriteria tertentu untuk calon menantu. Kamu dengar sendiri tadi, yang penting berjilbab.”

Mereka berhenti di perbatasan wilayah santri putra dan putri, saling berhadapan dalam jarak 1,5 meter. Agaknya keberadaan Nuha sangat-sangat membantu untuk menghindari fitnah.

“Ditambah, memang tidak ada yang salah dengan keadaan kamu, alasan apa kira-kira yang membuat orang tuaku tidak menerimamu? Tidak ada, mereka tidak punya alasan untuk melakukan itu, Inbihaaj.” Hijir tersenyum lebar, lantas melanjutkan, “Kalau begitu aku pamit dulu, kalian juga segera kembali ke kamar. Selamat istirahat, assalamu’alaikum.”

Bii dan Nuha menjawab salam bersamaan, setelahnya melihat Hijir berbalik dan menjauh.

“Apa gue bilang, Mbak. Nggak semua cowok brengsek, Mas Hijir contohnya. Gue nemuin Laith, lo nemuin Mas Hijir.”

Bii hanya mampu tersenyum dari balik cadarnya.

-o0o-

“Jadi, kapan hari baiknya, Mbak? Gue nggak bisa nguping loh, tadi,” tanya Nuha begitu sampai ke kamar mereka. Ia sengaja duduk di ranjang Bii, sedang si empu memilih duduk di kursi belajar miliknya.

“Mas Hijir harus kembali dulu ke Mesir, Nu. Menyelesaikan tesis. Pak Kiai bilang, setelah itu beliau baru akan menentukan hari dan tanggal. Lagipula, seperti kata Mas Hijir, aku harus menemui ibuku lagi saat siap dan untuk sekarang ini, aku sama sekali belum siap,” jelas Bii.

Nuha mengangguk paham. “Bener, sih. Jangan nikah cepet-cepet kalau gitu, ntar gue nggak punya temen sekamar lagi. Sepi.”

Sejenak, Nuha tampak berpikir. “Oh iya Mbak, maaf sebelumnya. Kalau misal lo nikah nanti, siapa yang bakal jadi wali lo?”

Bii langsung menggeleng pelan. “Kemungkinan wali hakim. Aku tidak memiliki saudara dari pihak Ayah. Sedangkan dari pihak Ibu, kamu tahu sendiri bahwa itu tidak mungkin.”

“Gila, bisa sama gini nasib kita ya, Mbak. gue ntar juga pasti pakai wali hakim.” Nuha terkekeh.

-To Be Continued-

Mendekati ending dan aku belum kepikiran sama sekali bakal gimana endingnya.🤣

Selamat menikmati tanggal merah.

Amaranteya

19th of July 2023

Gratia DeiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang