Situ Patenggang

60 16 4
                                    

Situ Patenggang

Oleh: Dela Anggraini

Malam itu lewat pukul delapan malam, kita berbincang membahas banyak cemas lalu larut menuntun kita berbicara perihal masa lampau tentang kelak yang telah menjadi kini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Malam itu lewat pukul delapan malam, kita berbincang membahas banyak cemas lalu larut menuntun kita berbicara perihal masa lampau tentang kelak yang telah menjadi kini. Kamu tersenyum melihatku dengan iris penuh arti, lalu dengan lembut menggenggam tangan ini, katamu, "Diantara 86.400 detik dikali hari hingga dimana kita bisa menatap bulan dengan saling menggenggam tangan, tak sekalipun terselip detik dimana aku tidak mengagumimu."

***

Sore itu Bandung terasa sangat sejuk, hingga tanpa sadar seorang gadis berambut panjang yang dikucir kuda larut menikmati indahnya senja samar di balkon kamarnya.

Tok tok tok

"Fiooooooo." Ketukan yang terdengar dari pintu kamarnya seketika mengalihkan atensinya, dengan cepat ia melangkah untuk membuka pintu dan melihat siapa yang datang memanggilnya.

"Karin? Iiiiihhhh kok dateng nggak ngasih kabar, kan aku bisa jemput di Bandara." Pelukan itu kian erat, sebagai perantara untuk menyalurkan rasa rindu dua insan yang sudah bersahabat sejak lama.

Pelukan itu terlepas, Fio lantas mengajak sang sahabat masuk kedalam kamarnya untuk menuntutaskan rasa rindu dengan sekedar berbincang di atas kasur ditemani cemilan yang di berikan bunda untuk melengkapi sore yang indah, seperti dulu.

"Jadi kamu sama Kak Mahen beneran mau nikah bulan depan?"

Karin mengangguk. "Iya Fio, karena setelah pertemuan keluarga kita di Jakarta kemarin ku rasa orang tua kami benar. Hubungan kami sudah berjalan selama kurang lebih lima tahun dan kami juga sudah bertunangan alangkah baiknya kita melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, dan yah akhirnya diputuskan kami akan menikah bulan depan. Aku datang kesini juga adalah salah satu alasan aku mengundangmu sekaligus ingin menanyakan satu hal?"

Seketika kunyahan pada biskuit itu terhenti, Fio menoleh dengan kernyitan di dahi. "Mengenai hal?"

Karin menghembuskan nafas pelan kemudia di raihnya kedua tangan sahabatnya itu untuk ia genggam, sekarang posisinya mereka saling berhadapan. "Kamu sudah bahagia bukan?"

Wajah yang semula terlihat segar itu kini mulai menyendu, dengan tatapan yang kini mulai terlihat kosong.

"Fio ini sudah lima tahun sejak kepergian Kava, lantas apalagi yang membuatmu menunggu terlalu lama?"

Fio melepas genggaman tangan sahabatnya beranjak dan mulai melangkah ke arah balkon kamarnya. Karin lantas dengan sigap mengikuti langkah Fio menuju balkon kamar dan berakhir mereka berdiri menatap langit yang mulai petang dengan samar bulan dan bintang yang kian tampak dari kejauhan.

"Bukankah aku terlalu egois jika aku menganggap semestaku telah di renggut oleh Tuhan?" tanya Fio dengan pandangan yang lurus menatap langit.

Karin seketika menoleh melihat betapa dalamnya tatapan Fio pada langit petang.

Warna-Warni Imaji HimasaktaWhere stories live. Discover now