Perihal Jakarta

207 18 1
                                    

Perihal Jakarta

oleh: Nabila Istiqomah

Jakarta memang tempatnya gedung-gedung tinggi nan menyesakkan

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jakarta memang tempatnya gedung-gedung tinggi nan menyesakkan. Kota sebesar ini ramai dengan orang-orang berdasi yang masih sepagi ini sudah rela kendaraannya berdesakan dengan kendaraan lain di lampu merah, pedagang asongan yang memenuhi lintas zebra cross, juga beberapa anak berseragam yang tampak memenuhi angkot kota. Jakarta sudah sesesak ini walau jam belum genap menyentuh angka tujuh.

Rea menyaksikan orang-orang beraktivitas dari ruangannya yang terletak di lantai tiga. Sudah hampir dua tahun ia berada di rumah susun milik pemerintah kota ini. Bukan kemauannya untuk tinggal di hunian yang dinilai orang sangat kumuh ini, namun juga tidak jarang Rea bersyukur masih bisa hidup di bawah atap yang melindunginya dari tetesan air. Suara mesin kereta api, bau dari limbah sungai, dan teriakan-teriakan preman yang suka meminta paksa uang dari orang-orang yang kebetulan tinggal di rumah susun ini adalah bunyi-bunyian yang sudah Rea hapal di luar kepala. 

Ayahnya dipecat sebagai pegawai negeri sebab kesalahan fatal yang diperbuat, Ibunya sakit-sakitan, kakaknya acuh terhadap keadaan, dan keluarganya yang terlilit hutang. Jakarta memang benar-benar membuat Rea sesak. Bukan hanya kotanya, namun juga hal-hal yang terjadi di dalamnya.

"Mbak, anak-anak les sudah pada datang."

Suara Ibu membuyarkan lamunan Rea, bersamaan dengan bunyi dari mesin kerta api yang kelewat kuat, juga bunyi dari decit kursi roda yang dinaiki Ibu.

"Iya, Bu."

Rea berjalan ke arah ruang tamu, bertemu dengan paling tidak lima orang anak yang siap ia ajari, sementara sisanya hanya mengekor. Total dua belas anak. Ibu tidak masalah, karena sejujurnya sisa dari anak yang tidak mengikuti les bisa menemani Ibu. Ibu suka keramaian di tengah-tengah keadannya yang sepi.

"Mbak Rea, Mas Tio kemarin dipukuli preman di dekat gardu." Seorang anak mengadu kepada Rea. Wajahnya sedikit was-was ketika mengatakan hal tersebut. Wajar untuk ukuran anak seusianya, menceritakan suatu kejadian berarti juga dipaksa untuk mengingatnya. Siapa yang tidak takut atas kejadian mengerikan itu?

"Kalah judi, Mbak. Katanya Mas Tio nggak bisa bayar," timpal anak lainnya.

Rea merasa tubuhnya menegang. Jelas ia terkejut mendapat berita menyedihkan yang pagi-pagi sudah menggerogoti pikirannya. Walaupun begitu, Rea tetap melaksanakan les ini, tetap membagi senyuman tulusnya kepada anak-anak. Pikirannya jelas terbagi-bagi. Alam bawah sadarnya mengamuk, ingin sekali rasanya meninju kakaknya. Di tengah-tengah rasa amarah yang hanya bisa ia pendam, pintu ruangan tiba-tiba seperti tertabrak sesuatu. Semua yang berada di ruangan ini terkejut. Mereka semua mendapati Ayah Rea berada di sana, dengan muka teler yang membuat Rea langsung paham apa bagian yang paling tidak ia suka di Jakarta yang seluas ini. Semuanya benar-benar kejutan. Bau alkohol tiba-tiba saja menyeruak di indra penciuman Rea ketika Ayahnya berjalan melewatinya.

Jakarta benar-benar menyesakkan, itu nyata.

***

"Kasih kami waktu, Pak. Uang saya belum cukup untuk melunasi sisa hutang keluarga." Rea bersimpuh di hadapan dua rentenir yang mukanya tidak lagi asing bagi Rea. Hampir setiap dua minggu sekali Rea harus memohon, menerima cacian, dan ancaman yang berulang kali tertuju padanya.

"Sampai kapan? Sampai si bajingan Retyo itu mati dilahap belatung?" 

.

.

.


DIHAPUS UNTUK KEPENTINGAN PENERBITAN


~Tim Himasakta Wattpad~

Warna-Warni Imaji HimasaktaWhere stories live. Discover now