“Maaf sebelumnya, Mas. Tapi Hijir sedang tidak di sini sekarang, pulang ke rumah orang tuanya,” jawab Hikam, “kalau boleh tahu, Mas ini temannya Hijir?”

Lelaki itu sontak mengulurkan tangan, langsung disambut Hikam. Keduanya berjabat tangan singkat. “Saya Dani. Sebetulnya, saya teman Inbihaaj, kebetulan baru kenal Mas Hijir beberapa waktu lalu. Saya ada perlu dengan Inbihaaj.”

Hikam menautkan pangkal alis. Ia menoleh ke arah Adib, menyerahkan berkas yang masih berada di tangannya dan kembali beralih pada Dani. “Mari duduk dulu, Mas.”

Keduanya duduk di ruang tamu dengan nyaman.

“Sebelumnya saya minta maaf,” ucap Hikam, “tapi dalam aturan pesantren, tidak bol—”

“Saya tahu betul itu, tidak boleh mengunjungi lawan jenis jika bukan keluarganya, bukan?” potong Dani cepat, “lalu, apa yang bisa saya lakukan agar dapat menemui Inbihaaj? Saya betul-betul perlu menemuinya, Mas.”

Untuk sejenak Hikam tampak berpikir, tak langsung menjawab. Sejujurnya, ia penasaran atas dasar apa lelaki tersebut ingin menemui Inbihaaj. Ia bukan tidak tahu kisah sang kawan, Hijir, dengan perempuan itu. Hijir sudah sempat bercerita padanya. Jadi, mendapati seorang lelaki ingin menemui Bii, rasanya agak janggal.

“Saya mungkin bisa mengizinkan, tapi dengan syarat,” tutur Hikam pada akhirnya.

“Apa itu?”

“Ada yang mendampingi kalian.”

-o0o-

Tidak beralih, baik Hikam maupun Dani tetap di ruangan yang sama, ruang tamu sekretariatan. Bedanya, ada Bii di antara mereka, juga Nuha yang menunggu di teras. Gadis itu tak diizinkan Hikam ikut masuk, mengingat tahu bagaimana track record Nuha di pesantren.

“Mas Dani boleh bicara dengan Bii, tapi biarkan saya di sini. Jangan hiraukan saya, saya tidak akan menginterupsi.”

Dani hanya mengangguk, lalu fokus pada Inbihaaj yang menunduk di kursi seberang meja.

“Saya tidak akan bertele-tele, Bii. Kamu ingat penawaran saya sebelum berangkat ke Mesir?” tembak Dani.

Dalam tundukan kepalanya, Bii mengerjap, membuka mata sedikit lebih lebar. Apa ia tak salah dengar? Jika … apa maksud Dani adalah penawaran itu?

“Maaf, maksud Mas Dani, penawaran yang mana, ya?” Bii ingin memastikan, tetap menundukkan kepala.

Meski berusaha tak peduli, tetap saja Hikam penasaran. Mencuri dengar.
Tak ubahnya Hikam, di luar Nuha malah lebih parah. Ia sengaja menguping dengan mendekatkan kepala serapat mungkin dengan dinding di samping kaca jendela, sesekali mengintip.

“Kamu lupa?” Satu ujung bibir Dani tertarik ke atas. Merasa tak mendapat tanggapan dari Bii, Dani merogoh saku jas, lantas mengangsurkan kotak beludru merah ke hadapan Bii. “Menikah dengan saya, Inbihaaj.”

Suara batuk Nuha mengejutkan ketiganya, langsung menoleh bersamaan ke arah jendela. Di sana, Nuha meringis canggung setelah tertangkap basah tengah menguping.

Bii tak mau ambil pusing kali ini, mengembuskan napas panjang dan kembali mengambil alih atensi yang lain, “Mas Dani, maaf sebelumnya. Saya … saya rasa saya tidak bisa menerima tawaran itu.”

Rasa kecewa langsung menyusup, tetapi Dani masih berusaha tersenyum. Secepat itu Bii menolaknya, bahkan tampak tanpa berpikir dan mempertimbangkan sedikit pun.

“Apa alasannya, Bii? Setidaknya saya harus tahu kenapa … kelihatannya kamu sangat mudah melontarkan penolakan untuk saya.” Kembali Dani menyunggingkan senyum getir. “Karena Hijir?”

Gratia DeiWhere stories live. Discover now