Tawa kecil umi lolos. Rupanya perempuan ini cukup keras kepala. Tangan wanita itu lantas terulur, meraih tangan kanan Bii yang berada di atas meja dan menggenggamnya, memberinya usapan lembut.
Hal itu jelas membuat Bii terkejut.
“Kalau kamu memang sangat ingin tahu, coba tanyakan pada Hijir, kenapa dia menghadiahkan ini kepadamu.”

“Mas Hijir?” Alis kanan Bii terangkat.

Umi mengangguk. “Itu dari Hijir, dia menitipkan pada Umi untuk disampaikan padamu.”

Tatapan Bii fokus sepenuhnya pada abaya itu.

Umi melepaskan genggaman tangannya pada tangan Bii, bersamaan dengan Pak Kiai yang baru tiba dari masjid.

“Assalamu’alaikum. Inbihaaj sudah di sini?”

Seketika Bii bangkit dan menundukkan kepala makin dalam, membalas salam penuh takzim.
Setelah umi mencium punggung tangan sang suami, ketiganya duduk.

“Biar Abah saja yang menyampaikan,” ucap umi, semakin membuat Bii bertanya-tanya.

“Kamu tahu kalau hari ini Hijir pulang menemui orang tuanya bukan, Inbihaaj?” tanya kiai.

Sekali lagi Bii mengangguk. “Iya, Pak Kiai. Nuha memberitahu saya.”

Kiai tersenyum. “Kamu tahu apa alasannya selain melepas rindu?”

Gelengan diberikan Bii sebagai respons. Ia sama sekali tak bisa memikirkan apa pun.

“Meminta mereka datang ke sini menemui kamu,” imbuh pak kiai, membuat Bii sontak melotot.

Apa Bii salah dengar? Namun, untuk apa?

“Maaf, Pak Kiai, tapi untuk apa?” Bii mulai gelisah, sejak beberapa detik lalu, jantungnya berdegup lebih cepat. Hatinya berdesir. Tidak! Dia tidak ingin berpikir lebih jauh, itu hanya akan menyakitinya.

“Hijir sudah mengutarakan niatnya pada kami, meminta pertimbangan baik buruknya tindakan yang akan dia ambil. Kami jelas akan mendukung jika memang niat itu baik, Inbihaaj. Tidak ada alasan bagi kami untuk melarangnya.”

Takut-takut Bii bertanya, “Lalu, apa niat itu, Pak Kiai?”

“Mengkhitbah kamu.”

Dunia Bii serasa berhenti. Napasnya tercekat, tak bisa lagi ia menyembunyikan keterkejutannya. Ia seperti orang linglung untuk sesaat, lelucon macam apa?

Seketika, obrolannya dengan Nuha subuh tadi memenuhi isi kepala. Tak akan ada yang mau menerimanya. Bii terlalu menggeneralisasi semua laki-laki. Tidak semua laki-laki begitu, ia hanya perlu menemukan salah satunya. Mas Hijir.

-o0o-

Bii memasuki kamarnya dan Nuha dengan lemas, berulang kali masih menghela napas panjang dan mengembuskannya berat. Apa ia baru saja bermimpi?

Bii duduk di kursi dan menjatuhkan bungkusan abayanya begitu saja di atas meja, memandanginya nanar.

“Makin kusut aja lo Mbak, kenapa?” Nuha yang sejak tadi sibuk menata isi lemari mendekat, berdiri tepat di samping meja Inbihaaj. “Wah, baju baru nih, dikasih Umi?”

Tanpa menoleh sedikit pun Bii menggeleng lemah. “Mas Hijir, Nu. Itu dari Mas Hijir, dititipin lewat Umi.”

“Gue mencium bau-bau nggak beres di sini.” Nuha sengaja menggoda perempuan itu, sukses membuatnya mendongak, menatap Nuha penuh harap.

“Pak Kiai bilang, kalau Mas Hijir pulang untuk membawa orang tuanya ke sini menemuiku. Untuk mengkhitbah.”

Nuha langsung heboh, bersorak senang dan bertepuk tangan beberapa kali. “Beneran ini? Serius lo, Mbak?”

“Aku justru ingin ini hanya mimpi, Nu.” Bii menjatuhkan kepala ke lipatan tangan, menelungkup di atas meja. “Apa yang harus aku lakukan, Nuha?”

Nuha sengaja menarik kursi miliknya mendekat dan duduk di sana. “Mau dilamar kok bingung, sih? Apa coba kurangnya Mas Hijir? Pinter, awardee beasiswa di Al Azhar, baik, ya meskipun secara finansial gue nggak paham, tapi kan sebelum ke sana dia udah ngajar. Kalau pengen tahu Mas Hijir lebih, ntar gue tanyain Laith atau Mbak Zaa, deh.”

Bii kembali mengangkat wajah. “Bukan begitu, Nu. Kamu tahu sendiri bagaimana kondisiku, sudah kubilang, Mas Hijir terlalu sempurna untuk aku, aku merasa tidak pantas.”

“Itu kan perasaan lo aja, Mbak. Kalau Mas Hijir udah bertindak sejauh ini, berarti dia tahu kalau lo itu pantes buat dia. Setop ngerasa rendah diri, ah.”

Tetap saja Bii tak merasa tenang, memang semudah itu? Rasanya seperti ada benang kusut di kepalanya.

“Jalan paling bener, mending lo Istikharah aja. Iya, kan?” lanjut Nuha.

Perlahan senyum Bii terbit, ia mengangguk. “Terima kasih, Nu.”

“Semoga lo beneran mau nerima dia, sih.” Nuha terkikik.

Bii sedikit memiringkan kepala. “Kenapa begitu?”

“Kelihatan cocok aja. Lagian biar happy ending semuanya. Mbak Zaa udah bahagia sama Mas Ikhtar, Mas Hijir juga berhak atas bahagianya sendiri, kan? Dan mungkin dalam hal ini emang lo orangnya.” Nuha terkekeh singkat. “Semoga juga gue sama Laith one day, siapa yang tahu?”

Bii tak bisa menyembunyikan tawa. “Mas Hijir pernah bilang, kalau kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan pada orang lain. Yang bisa menentukan bahagia versi kita adalah kita sendiri, Nuha.”

“Ya udah, buat aja versi bahagia lo adalah nikah sama Mas Hijir. Gampang, kan?” balas Nuha tanpa berpikir.

Lagi-lagi Bii tertawa sanpai terbatuk. Sungguh, Nuha bisa jadi pengalih rasa gelisah yang cepat.

-o0o-

Santai dulu nggak, sih?🤣🤣

Amaranteya

15th of July 2023

Gratia DeiWhere stories live. Discover now