Inside Out 6 1/3

537 61 1
                                    

•••

"Semangat belajarnya, Khao."

Kalimat yang baru saja First katakan tidak di sadari Khao. Pikirannya terlalu terlalu fokus memikirkan alasan apa yang harus dia berikan atas perubahannya Khai yang tiba-tiba ini.

Khao masih setia duduk di meja belajar dengan memandangi catatan kosong dan kemudian menyadari jika First sudah memeluknya dari belakang. Dia harus tetap tenang menerima perlakuan First padanya, dia harus tetap meyakinkan First jika dia adalah Khai. Jantung Khao tidak bisa diajak kompromi, detak jantungnya bekerja dua kali lebih cepat, semoga First tak menyadarinya.

Sialnya First malah memposisikan wajahnya setara dengan wajah Khao, itu membuatnya semakin gelisah tak karuan. Khao hendak beranjak dari sana tapi sekali lagi dia tidak ingin membuat First mencurigainya.

"First, tolong jangan kaya gini!" Cegah Khao sebelum First bertindak terlalu jauh.

Belaian yang First berikan membuat Khao bergidik ngeri. "Kenapa hmm? Lo takut, Khao?" Bisikan itu membuat Khao langsung beranjak dari tempatnya kemudian mendorong tubuh First ke belakang.

Tunggu, First memanggilnya apa tadi, Khao?

"Khao? Siapa?" Tanya Khao berpura-pura kikuk di depan First. Dia yakin jika First hanya bermain-main sekarang.

First menyeringai kemudian melangkahkan kakinya menuju kearah Khao dan membuat Khao harus melangkah mundur menjauhinya. Kamar Khai tidak seluas ruang tamu, tubuhnya sudah menyentuh dinding. "Gue bilang diem di sana! Lo jalan selangkah lagi gue pukul!"

Seakan menulikan pendengarannya, First semakin melangkahkan kakinya menghapus jarak antara keduanya. "Pukul aja."

"First mundur!"

First menggeleng, akibat tubuhnya yang lebih tinggi, dia mengukung tubuh Khao supaya pria itu tidak bisa kabur darinya. "Kasih tau gue dimana Khai?"

"Lo gila nanya sama orangnya?" Khao sudah tidak bisa berpikir apa yang harus dia katakan, dia terlalu gelisah karena aroma parfum First langsung tercium oleh hidungnya, itu menyengat jika dari dekat.

First memajukan wajahnya membuat hidung keduanya bersentuhan, itu membuat Khao semakin gelisah. Keringat di wajahnya mulai bercucuran, dia memejamkan matanya takut-takut First melakukan apa yang sedang dia pikirkan. Dia sedikit ketakutan.

Dan benar saja, First memberi satu kecupan pada bibir Khao yang membuat mata Khao terbuka dengan sempurna. "Jujur atau gue bisa lakuin lebih dari ini."

"Kalo ngomong yang masuk akal dikit bisa?" Tegas Khao yang semakin mengecilkan tubuhnya, dia berusaha meloloskan diri dari First.

"Yakin? Kalo lo Khai, gue boleh dong lakuin lebih sama lo?"

Takut dengan ancaman yang First berikan, Khao tidak punya pilihan selain mengakui identitas aslinya pada First. "Iya gue bukan Khai, mundur sekarang juga!"

•••

First memperlihatkan sebuah foto pada Khao. Kini mereka tengah duduk di tepi tempat tidur dengan First yang terus mengintrogasi Khao, rasanya dia sedang di wawancarai, pertanyaan yang First berikan terlalu banyak.

"Lo dapet foto ini darimana?" Tanya Khao.

"Dari tas lo. Maaf kalo lancang, gue nyari pulpen buat tanda tangan izin pulang dari guru piket kemaren," jelas First.

Khao tidak boleh marah, ini murni kesalahannya. Dia ceroboh dengan menyimpan foto Khai dan dirinya di dalam tas. Seharusnya dia berterima kasih karena First menolongnya. Yang jadi pertanyaannya sekarang adalah, mengapa First tidak mempermasalahkan ini saat dia menemukan foto itu di dalam tas Khao. Jika alasannya karena Khao tak sadarkan diri, bisa saja setelah Khao sadar dia langsung menginterogasinya.

"Jadi dari kemaren lo tau siapa gue?" Tanya Khao lagi kemudian First menganggukkan kepalanya.

"Khai kemana? Dia berobat? Atau pindah sekolah?" First penasaran.

Khao semakin yakin jika First tidak ada hubungannya dengan kematian Khai, dilihat dari gelagatnya dia tidak mengetahui sama sekali tentang Khai. Semoga dugaannya benar, dia tidak berharap First lah yang membuat Khai tiada.

"Khai..."

"Kenapa? Dia gak papa kan?"

Khao menggeleng, "Khai, dia udah gak ada."

"Hah?" First terdiam sejenak mencerna kalimat yang baru saja Khao katakan.

"Iya, pacar lo udah gak ada, dia bunuh diri."

Ekspresi yang di tunjukkan First tidak membuktikan jika dia pelakunya. First malah syok mendengarnya seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Lo becanda, gue yakin lo lagi becanda."

"Jangankan lo, gue aja gak percaya kalo dia bunuh diri."

Tubuh First sedikit bergeser, air matanya meluruh begitu saja. "Gue belum sempet minta maaf sama dia. Gue baru aja mulai sayang sama dia, apa gue harus kehilangan dia secepet ini?"

Melihat First seperti ini Khao jadi tidak tega. Pasti sakit rasanya kehilangan orang yang dia sayang. Khao bisa merasakan bagaimana sesaknya perasaan First sekarang, dengan air mata yang terus mengalir, dia tahu jika First sedang menyesali perbuatannya.

"First," panggil Khao lirih.

Tapi yang di panggil tidak berniat untuk menghentikan tangisannya. "Gue banyak salah sama dia, gue.."

Khao menggeser tubuhnya mendekat kearah First. Perlahan Khao membawa tubuh First ke pelukannya membiarkan First menangis di bahunya. Tangis First seketika langsung pecah, dia membalas pelukan Khao dengan erat sambil berkata, "Khai masih hidup, lo bohong."

Khao mengelus punggung First mencoba menenangkannya hingga tak terasa air matanya juga ikut keluar. Dia menyesal telah menilai First dengan buruk, buktinya First satu-satunya orang yang sepertinya sangat kehilangan Khai sekarang.

•••

"Joong," panggil kekasihnya yang kini sedang tertidur di pangkuannya. Joong salah satu teman Khai yang berada di pihak netral.

Sepulang sekolah Joong memang sering mampir terlebih dahulu ke rumah kekasihnya, orang tua Dunk, kekasihnya, tidak mempermasalahkan kunjungan Joong yang terbilang sering itu. Orang tua Dunk malah sudah merestui hubungan Joong dan Dunk.

Dunk melupakan sesuatu, "Lo kenal sama Khai, kan?" Tanyanya.

"Kenapa emang?" Joong bertanya balik padanya.

"Nih," Dunk memberikan sebuah amplop berwarna pink degan sebuah surat di dalamnya, ada cokelat juga.

"Lo mau selingkuh di depan gue? Lo suka sama Khai?" Joong terlalu cepat menyimpulkan sesuatu.

"Ini dari Satang. Khai nolong dia pas dia dibully sama temen lo," kata Dunk.

"Pond?"

"Siapa lagi?"

Joong mengambil surat dan cokelat itu kemudian meletakkannya di sembarang tempat, dia akan memberikannya nanti jika Khai masuk sekolah. "Gue minta maaf atas nama Pond."

"Adik gue ngerasa bersalah karena Khai di pukulin sama Pond sampai pingsan gara gara nolongin dia."

Joong mengangguk, dia juga mendengar kabar bahwa Khai tidak masuk sekolah karena sakit setelah Pond memukulinya. "Tapi sekarang Satang baik-baik aja?"

Dunk mengangguk, "dia cuman takut aja kalo ketemu Pond."

Joong mencubit pipi kekasihnya dengan gemas, dia tak serius mendengarkannya ketika sedang bercerita tadi. Dia terlalu fokus pada wajah Dunk yang menggemaskan. "Lo tuh kenapa lucu banget sih?"

"Lagi serius juga," Dunk memasang wajah kesalnya karena Joong mengalihkan pembicaraan dengan cepat.

Satang, siswa kelas dua yang di tolong Khao tempo hari adalah adik dari Dunk. Dia selalu merasa jika dirinya bertanggungjawab atas apa yang Pond lakukan pada Khao, tapi dia tidak berani untuk mengatakan langsung pada Khao, bisa di bilang dia grogi. Satang kemudian berinisiatif membuat surat dan membelikan cokelat sebagai permintaan maafnya lagi dan menitipkan itu pada kakaknya.

•••

Maapin typonya

INSIDE OUT | KHAOFIRSTWhere stories live. Discover now