20. Untuk Selalu Bahagia

Start from the beginning
                                    

“Cak Hijir? Temannya Faiz di Mesir, kan?”

Hijir mengangguk sebelum menyalami lelaki berkumis tipis di depannya. “Betul, saya Hijir yang tadi kirim pesan, Mas.”

Dani ikut menyalami, lalu Bii yang menangkupkan dua telapak tangannya di depan tubuh.

“Mari masuk dulu!” Ajakan lelaki itu langsung dibalas anggukan oleh ketiganya.

Sejam lebih mereka berbincang, hitung-hitung istirahat dan numpang salat Isya’. Tepat saat waktu menunjukkan pukul 20.30 WIB, Hijir dan dua yang lain beranjak.

“Ini benar tidak apa-apa kalau mobilnya saya pinjam dulu?” tanya Hijir memastikan. Pasalnya, segan rasanya membawa mobil orang lain, takut sewaktu-waktu si empu butuh.

“Santai Cak, aman. Saya percaya sama Cak Hijir, lagipula Faiz sudah memberikan jaminan dirinya sendiri pada saya kalau Cak Hijir ini orang jujur.” Lelaki itu terkekeh, tetapi belum membuat Hijir sepenuhnya lega.

“Tapi kalau nanti Mas perlu mobilnya bagaimana? Empat hari lumayan lama loh, Mas.”

“Mobil ini jarang sekali saya pakai karena terlalu kecil, nggak efisien digunakan untuk membawa alat-alat fotografi dan propertinya kalau kebetulan ada job di luar. Saya lebih sering pakai mobil yang satu Cak, lebih lega. Feel free pokonya, mau Cak Hijir kembalikan seminggu lagi juga saya nggak apa-apa, asli.”

Hijir ikut terkekeh ringan sebelum mengucapkan terima kasih dan benar-benar pamit.

-o0o-

Sepanjang perjalanan, tak ada yang berniat membuka suara. Ditambah hanya ada Hijir dan Bii dalam kendaraan beroda empat itu, sedang Dani berpisah dengan mereka di studio tadi. Toh, Bii pasti lelah, Hijir sengaja memberikan ruang pada perempuan itu sedang dirinya fokus menyetir.

Baru setengah perjalanan, gerimis mulai turun, membuat kaca mobil mengembun. Tak ada yang berkomentar, bahkan sebab itu, Hijir jadi memiliki hiburan tersendiri. Lihat saja tingkah polos Inbihaaj. Perempuan itu sibuk mempertemukan telunjuknya dengan kaca samping, menyeretnya perlahan ke segala arah. Gambar-gambar terbentuk dari sana, lalu Bii menghapusnya, menunggu kaca kembali mengembun, lantas mengulangi hal yang sama. Persis seperti anak kecil.

Sesekali Hijir melirik, memperhatikan tingkah Bii sebelum kembali diam-diam mengulum senyum. Tak ada menginterupsi sama sekali, biarkan saja perempuan tersebut menikmati kegiatan sederhananya.

“Kita … masih lama sampai, Mas?” Bii bertanya lirih, tetapi tak mengalihkan pandangan sedikit pun. Ia masih mengamati keluar jendela, ke jajaran pertokoan juga orang-orang yang tampak berteduh di emperan. Kali ini ditariknya tangan, menggosok telapak beberapa kali untuk menghalau dingin yang menelusup.

“Tidak terlalu.” Sadar apa yang dilakukan Bii saat kembali melirik, Hijir melanjutkan, “Kamu kedinginan?”

Kepala Bii sontak tertoleh, menatap Hijir dengan mata disipitkan. Perempuan itu sedikit meringis, lolos pula kekehan kecil. “Sedikit.”

Tanpa kata, tangan kiri Hijir beralih dari kemudi, sibuk mematikan AC. “Lebih baik?” tanyanya kemudian.

Bii mengangguk. “Terima kasih.”

Perempuan itu tak berbohong, terlihat dari jemarinya yang kembali bermain di atas kaca. Menyaksikan itu, Hijir dibuat menggelengkan kepala tak habis pikir. 

Berhenti di lampu merah, Hijir jadi lebih leluasa memperhatikan Bii dari samping. Perempuan itu sama sekali tak terganggu, tetap membuat gambar kecil-kecil meski tak terlalu jelas sebab AC dimatikan. Sebab gerakannya, Hijir dapat melihat bekas luka yang mengintip dari balik lengan abaya yang Bii kenakan.

Terlalu fokus ke sana, lelaki itu sampai tak sadar bahwa lampu sudah berubah hijau, membuatnya mendapat beberapa kali klakson dari pengendara di belakang. Hal tersebut jelas mengejutkan Hijir, membuatnya bergumam, “Astaghfirullah.”

Karena hal itu pula Bii jadi menatapnya cemas. “Mas Hijir tidak fokus karena kelelahan. Kita menepi saja dulu.”

Hijir menggeleng. Meski tak membantah bahwa ia lelah, tetapi alasannya tak fokus jelas bukan itu. Ia masih sanggup menyetir dengan aman sampai Tsabitul Asdaq. Ia begitu karena perempuan di sampingnya. “Tidak, ada yang tiba-tiba kupikirkan tadi.”

Tak ingin mendebat, Bii kembali diam, fokus ke jalanan depan kali ini.
Untuk tiga puluh menit penuh, keheningan membungkam keduanya. Dibiarkan suara-suara dari luar mobil memasuki rungu. Meski begitu, ini bukan sebuah kecanggungan, hanya … kedamaian barangkali? Setidaknya begitu yang masing-masing perlihatkan, sekalipun isi kepala mereka sama-sama riuh, sangat berisik.

“Inbihaaj,” panggil Hijir saat mobil baru saja berbelok, memasuki sebuah gapura bertuliskan “Pondok Pesantren Tsabitul Asdaq”, membuat si empu nama menoleh.

“Iya?” jawabnya.

Hijir tak langsung menjawab. Baru saat mobil berhenti di depan pelataran sebuah rumah yang berada di dalam pesantren, tepat sebelum membuka pintu mobil dan turun, Hijir menatap perempuan itu lekat. “Jangan menyakiti diri sendiri lagi, aku mohon. Berjanjilah untuk selalu bahagia mulai sekarang dan seterusnya.”

Senyum tulus Hijir yang terakhir kali Bii lihat sebelum lelaki itu turun dari mobil. Tangannya seketika terangkat, mengusap pipi yang entah sejak kapan sudah basah sebab air mata, lalu beralih pada dada sebelah kirinya. Merasakan degup jantung yang bertalu lebih cepat, juga rasa hangat yang datang bertandang. “Allah … Allah, Engkau Yang Maha Membolak-balikkan Hati. Lindungi aku dari hal-hal yang bisa menjauhkanku dari-Mu: jatuh pada makhluk-Mu.”

Lambaian tangan Hijir di depan sana segera membuat Bii beranjak. Turun dari mobil sesuai ajakan lelaki tersebut. Ia sempat memastikan sekali lagi bahwa wajahnya tak lagi basah karena air mata.

-To Be Continued-

Akan kuselesaikan cerita ini sambil sambat🤣 Aku ngebut nerusin cerita ini beberapa hari terakhir biar bisa cepet kelar dan fokus ke cerita lain. Doain minggu ini bisa tamat, temen-temen🙏

Wish you enjoy

Amaranteya

11th of July 2023

Gratia DeiWhere stories live. Discover now