Jeonghan tidak pernah menyukai Belanda, tidak seperti dia menyukai Jerman yang dingin. Negara itu selalu menjadi rumah kedua yang memberikan kehangatan di dalam hidup carut-marut yang dibuat oleh dirinya sendiri. Seungcheol juga tidak menyukai Belanda.

Ah. Seungcheol.

Teringat sang suami yang dia tinggalkan seorang diri di negara asal membuat Jeonghan menutup mata dengan kedua telapak tangan. Tidak seperti dirinya sangat masih muda dahulu, Yoon Jeonghan yang sekarang menyesali keputusan impulsifnya kabur dari rumah dan membuatnya merindukan sang suami.

Dia merindukan Seungcheol yang semalam masih mencium dan memeluknya sebelum tidur. Dia merindukan laki-laki yang mengatakan kata-kata yang menyakitkan di depan konselor pernikahan mereka. Meskipun, di dalam lubuk hatinya yang jauh Jeonghan sadar bahwa laki-laki itu tidak sepenuhnya salah dan berbicara jujur tentang buruknya sikap Jeonghan adalah hak dia, tetapi Jeonghan tetaplah Jeonghan.

Menghembuskan napas berkali-kali, merasakan kejenuhan karena sudah berjam-jam duduk di tempat yang sama, namun tidak memiliki keinginan untuk keluar dari bandara dan menjelajah sekitar.

Dia adalah Yoon Jeonghan, orang yang menyukai tenggelam dalam pikiran buruk daripada mencari ketenangan. Jauh berbeda dengan Seungcheol, mungkin karena itu mereka bersama.

Dia mengakui bahwa Seungcheol adalah jangkar untuk dirinya, yang hidup bagai kapal di tengah laut yang tidak memiliki tujuan pasti, dan Jeonghan mencintai laki-laki itu.

"Jeonghan,"

Suara yang sudah tidak dia dengar selama hampir 24 jam kembali menyapa gendang telinganya, membuat lelaki yang bekerja sebagai desainer interior menolehkan kepala terlalu cepat ke arah belakang. Menatap sosok laki-laki yang sudah menikah dengan dirinya selama bertahun, laki-laki yang berdiri dengan wajah lelah dan kantung mata yang bertumpuk.

Sekejap kericuhan yang ada di dalam kepala menghilang, berubah menjadi kerinduan yang menggebu dan perasaan bersalah yang perlahan menyeruak ke permukaan.

Oh, Seungcheol.

Seungcheol, Seungcheol, Seungcheolku yang malang.

Yoon Jeonghan langsung berdiri dan menghampiri suami yang masih berdiri dengan keraguan yang terlihat jelas. Dia menjulurkan tangan merengkuh wajah suaminya, kemudian melingkarkan tangan ke leher dan memeluk lelaki yang perlahan-lahan membalas pelukannya.

"Kenapa kamu harus kabur, sih? Selalu kabur ketika kita sedang serius, Jeonghan," Lelaki itu berkata, dengan suara yang sangat lelah dan berat. "Bisa nggak sih kamu sehari aja untuk bersikap normal dan nggak melulu kabur? Kamu nggak cinta sama aku lagi atau gimana."

Jeonghan menggelengkan kepala kencang, berusaha mengatakan secara implisit bahwa dia masih mencintai Seungcheol dan kabur adalah bentuk sikap pengecut dirinya.

"Aku salah ya karena ngomong jujur ke kamu? Aku salah karena mengatakan bahwa aku terkadang kesal dengan sikap kamu yang selalu lari dari masalah, bahwa aku ingin sekali kamu berhenti egois dan belajar untuk dewasa?" Seungcheol berujar lagi, rentetan pertanyaan keluar dengan suara yang parau dan menyedihkan. "Aku udah berkali-kali mengalah sama kamu, aku udah bilang aku nggak akan ngikutin kemauan orang tuaku kalau kamu nggak mau. Aku kurang apa, sih?"

Semakin mendengar kalimat-kalimat tersebut keluar dari mulut sang lelaki, Jeonghan melepaskan pelukan, tidak mempedulikan Seungcheol yang menatapnya dengan mata membulat dan raut wajah terlihat bingung.

"Han?"

"A... aku... aku..." Jeonghan tergagap di tempat, suaranya menghilang, tubuhnya menjadi kaku dan isi kepalanya kembali dipenuhi oleh pikiran-pikiran buruk sempat menghilang. "Aku... aku..."

[✓] From 5317 MilesWhere stories live. Discover now