17 - Rumah Bara

155 12 10
                                    

Donat yang Anindya buat bersama Bintang dan Jihan, kacau. Bu Lastri selaku Guru Prakarya tidak menerimanya. Bentuk donatnya terlalu aneh dan menjijikkan. Tetapi itu unik dan menggemaskan bagi Anindya. Mereka hanya bisa pasrah saat Bu Lastri hanya memberikan nilai yang pas-pasan sesuai dengan kkm. Kecuali yang donatnya bagus dan enak, akan di berikan nilai di atas kkm atau bahkan sempurna. Mau mengulang pun mereka malas. Bu Lastri pun hanya menerima tugas itu untuk sekali saja, tidak untuk kedua kali nya. Bu Lastri itu sebenarnya tipe yang sama dengan Bu Ratna, guru Geografi. Jarang masuk, dan tiba-tiba memberikan tugas yang di luar nayla.

Jihan yang duduk di sebelah Anindya mendecih pelan. "Liat tuh, Guru yang jarang masuk. Sekali masuk langsung kenyang dia!"

Bintang yang duduk di depan hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aturnya semua donatnya kita kasih racun, biar dia enak tidur. Nggak usah masuk kelas."

Bu Lastri menatap tajam keduanya."Ibu denger apa yang kalian omongin. Jangan sampai donat-donat ini masuk ke dalam mulut kalian, ya!"

"Nggak apa-apa, Bu! Saya ikhlas kalo kayak gitu!" Bintang membuka mulutnya lebar, memancing Bu Lastri untuk segera memasukkan donat.

Bu Lastri membuang nafas lelah. Anindya dan kawan-kawan memang sangat susah untuk di atur. Untungnya mereka akan segera tamat, jadi ia tidak akan menemukan murid seperti Anindya, Bintang dan Jihan lagi.

***

"Hai, India!" Bara merangkul bahu Anindya yang sedang makan dengan tenang. Cewek itu mendengkus pelan. "Donat nya enak, gue boleh minta di buatin lagi nggak? Tapi bentuknya request."

"Bikin sendiri aja, males gue." Anindya menyingkirkan tangan Bara yang berada di pundaknya. Cewek itu pun kembali melanjutkan makan mie ayam nya.

"Seorang Anindya Septiana buatin donat buat Bara Erlangga?" Aksa bertepuk tangan, membuat siswa-siswi yang ada di kantin menatap kepo ke arah mereka. "Gue ketinggalan apa? Ini bulan berapa rupanya? Tanggal berapa, tahun berapa?"

Bara berganti merangkul Aksa, dan membisikkan sesuatu di telinga cowok itu. "Lo alay banget, anjing!"

"Anjing, lo!" Aksa segera menjauh dari Bara.

Marvel yang menyimak mengangguk-anggukkan kepalanya, setuju dengan apa yang di bilang oleh Aksa. "Lo kesambet apaan, Nin?"

"Nih cowok dua alay banget!" seru Jihan.

"Kok lo yang sewot sih?" ujar Marvel.

"Biarin, kan Anin temen gue."

Anindya membuang nafas pelan. "Gue buat donat untuk tugas prakarya. Ada sisa banyak, ya udah gue kasih Bara."

"Ooo gitu, sengaja buat untuk Bara juga nggak papa kok, Nin. Bara pasti ikhlas." kata Aksa.

"Mending gue makan sendiri daripada buat Bara." ujar Anindya yang membuat Aksa dan Marvel tertawa. Tetapi kedua cowok itu menepuk bahu Bara, seperti menguatkan cowok atas jawaban dari Anindya.

***

Anindya pulang ke rumah, berjalan pelan dan melihat dengan jelas apa yang ada di depan teras rumahnya. Begitu banyak barang-barang, seperti tas, dan koper. Setahu Anindya, para saudaranya sedang tidak berada di Indonesia. Atau bisa jadi mereka sudah pulang saat ini dan singgah ke rumah Anindya. Anindya berjalan dengan cepat, kalau begitu oleh-oleh pasti sudah menantinya!

Langkah cewek itu terhenti saat melihat Tata yang berpakaian rapi, sambil mengeluarkan koper dari dalam rumah. Di susul oleh Reina yang sudah berpakaiannya rapi dan menenteng tas.

"Mau kemana?" Anindya berjalan cepat, saat ini sudah berada di depan keduanya.

"Oh, iya. Mama lupa ngasih tau kamu, ya."

"Mau kemana sih? Mau minggat? Udah nggak tahan ya sama sikap Anin? Atau mau ninggalin Anin karena bener Anin anak pungut dan saat ini Anin udah nggak di butuhkan lagi?" Cewek itu menatap Reina dengan dalam. Reina bisa melihat bahwa Anindya serius dengan ucapannya.

"Nggak mungkin lah, sayang. Masa Mama setega itu sama kamu." Reina menarik Anindya ke dalam pelukannya. "Mama sama Tata mau pergi nyusul Opa sama Oma kamu di Belanda."

"Berapa hari? Terus kenapa Anin nggak di ajak?"

"Satu bulan. Kan kamu udah kelas dua belas, nggak bisa di tinggal lagi." jelas Reina.

"Terus Anin sama siapa?"

Reina melepas pelukannya, dan menatap seseorang yang ada di pagar rumah mereka. Anindya langsung mengikuti arah pandang Reina. Bara berdiri di sana sambil menggenggam tangan Jeya.

"Anin tinggal sama Bara?" tanya nya memastikan.

"Iya, Mama nggak ngizinin kamu tinggal sendiri, ya. Awas aja kalo kamu tinggal sendiri. Uang jajan mu Mama potong." Reina memperingati Anindya yang hendak menolak.

Anindya membuang nafas pelan. "Oke, kalo itu mau Mama."

"Kemasi barang dan baju yang perlu kamu pake sekarang."

***

Anindya berjalan pelan masuk ke dalam rumah Bara, sepertinya ia sudah lama sekali tidak main ke sini. Tidak banyak yang berubah, hanya foto keluarga yang bertambah. Anindya memegang pelan foto yang terpajang di dinding, ada dirinya dengan Bara. Ternyata ia dulu sedekat itu dengan cowok itu. Tetapi sekarang sudah seperti orang yang sedang musuhan. Itu terjadi karena Anindya yang mencoba membatasi dirinya dengan Bara. Ia tidak mau perasaan cowok itu semakin dalam kepadanya. Anindya berpikir bahwa mereka tidak akan bisa lebih dari teman.

"Anin," Dinar menepuk bahu cewek itu, membuat Anindya yang sedang melamun terkejut.

"Eh, iya, Ma. Kenapa? Mama butuh bantuan Anin?"

Dinar menggeleng. "Itu barang-barang kamu taruh di kamar tamu, ya. Udah Mama bersihin kok tadi kamarnya."

Anindya tersenyum. "Oke, Ma, siap!"

"Mama tinggal dulu, ya. Inget anggap rumah kamu sendiri. Jangan sungkan-sungkan, kayak sama siapa aja." kata Dinar membuat Anindya mengangguk.

Dinar pergi, Anindya segera berjalan ke arah tangga untuk meletakkan barang-barang bawaannya. Tidak terlalu banyak memang, karena ia bisa kembali lagi ke rumahnya nanti.

Cewek itu membanting tubuhnya di atas kasur, ia harus tinggal di sini selama sebulan. Itu artinya ia harus tinggal bersama Bara.

***

☁️ : Yang mau gabung grup chat bisa hubungi nomor di bawah ini ya.

+62 895 0870 2315 (Arin)
+62 857-3818-9154 (Apri)

Freak RelationshipWhere stories live. Discover now