5 - Cinta

342 90 40
                                    

Anindya menyalakan televisi di ruang keluarga. Ponselnya sedang di cas, kalau tidak Anindya tidak menonton televisi. Menekan-nekan tombol di remote berharap mendapatkan siaran yang bagus. Tolong, Anindya ingin menonton kartun. Kartun dua anak kecil yang botak.

Sambil menekan-nekan tombol remote, tangan Anindya yang satunya lagi membuka toples yang berisi keripik kentang. Setelah mendapatkan kartun dua anak kecil yang botak, barulah Anindya bisa tenang.

Tetapi ketenangan Anindya tak berlangsung lama, karena Reina datang dan duduk di sebelahnya sambil menyomot keripik yang ada di dalamnya. Bahkan, toples itu sudah berpindah tempat.

"Mama!" katakanlah jika Anindya memang durhaka. Anindya mengakui itu.

Reina menatap sinis. "Apasih, orang Mama yang beli, kok. Sewot banget kamu."

Anindya diam tak berani melawan, soalnya itu kenyataan.

"Ma, udah tau belom? Tata tadi nangis di kamar Anin." sambil berbicara, Anindya juga ikut menyomot keripik yang ada di pangkuan Reina.

Reina menatap Anindya sekilas, ia sedang fokus menonton kartun di depannya. "Udah, katanya dia dapet nilai nol."

"Nol apanya, orang di tolak cintanya." kata Anindya yang langsung membuat Reina menoleh. Wanita itu memasang wajah serius.

"Bohong kamu, gak mungkin Tata nembak orang."

"Ya emang gak mungkin, Ma. Mati dong nanti."

"Iya juga, ya." Reina berpikir sesaat. "Jadi apa namanya?"

"Confess namanya."

Reina bergerak lebih dekat kepada Anindya. "Apa? Ponpes? MasyaAllah banget kalo gitu, Nin. Berarti Tata suka sama anak pesantren, ya?"

Anindya hanya bisa mengangguk-angguk. Cewek itu sudah malas menjelaskan kepada Reina. Jadi, terserah Reina saja, mau ponpes, kompres, atau kompor sekalian tidak apa-apa. "Makanya Mama bilang sama Tata, gak usah sedih. Masih banyak anak ponpes di luar sana."

Reina mengangguk-angguk. "Ya udah, nanti Mama bilangin deh. Sekalian Mama juga mau."

Anindya menaikkan satu alisnya. "Mau apa?"

Reina menyilang kan tangannya di depan dada. "Ya mau anak pesantren lah, Nin. Mama kan capek menjanda terus."

"Emang ada anak pesantren yang mau sama Mama?"

Raut wajah Reina langsung sebal. "Kamu gak lihat wajah Mama? Dibilang anak SMP atau SMA juga masih pantes, Nin."

Anindya memukul keningnya. Astaga, Anindya tak habis pikir dengan Reina. Baiklah, apa ada yang berminat dengan Reina? Silahkan hubungi nomor telepon di bawah ini.

Pulsa di tanggung masing-masing.

***

Anindya keluar bersama Tata. Tata katanya ingin mencari angin sekaligus membeli makanan. Dari yang Anindya lihat, sepertinya cewek itu habis menangis. Entah kenapa, Anindya juga tidak tahu. Anindya belum menanyakannya, karena biasanya Tata yang akan berbicara lebih dahulu kepadanya.

Angin malam yang dingin menerpa wajah Anindya dan Tata, untungnya mereka memakai hoodie. Selain itu, Anindya dan Tata memakai dalaman baju tidur.

"Mau beli jajan di indesember, Ta?" Anindya menatap Tata yang berjalan menunduk.

Tata langsung mengangkat kepalanya. "Iya, tapi Tata mau beli sate Mang Ijok di depan dulu, Kak."

Anindya mengangguk-angguk. "Ya udah kalo gitu, Kakak aja yang beli satenya. Sate padang, kan?"

Tata mengangguk, cewek itu pergi ke arah kanan. Anindya pergi ke arah kiri, karena memang letak sate dan indesember berlainan arah.

Anindya berjalan pelan, sate Mang Ijok terlihat ramai, selalu ramai sepertinya. Sate buatan Mang Ijok memang enak, selain harganya yang murah meriah muntah, Mang Ijok juga ramah.

Langkah Anindya berhenti melihat sosok seseorang yang sangat sangat ia kenali. Beruntung Anindya belum sampai, ia akan bilang kepada Tata bahwa sate nya sudah habis.  Nah kan, benar saja. Ponsel Anindya langsung bergetar, ada pesan masuk.

Batu Bara
Nin, lagi di mana?

Anindya
Di rumah, kenapa kangen?

Batu Bara
Iya nih, sampe-sampe gue ngeliat bayangan lo dari sini

Batu Bara
Lo beneran di rumah?

Anindya
Iya njink

Batu Bara
Kasar, tapi gue makin cinta

Anindya bergedik ngeri, tak berniat membalas pesan dari Bara. Namun di detik berikutnya, Bara meneleponnya. Sialnya, pada saat itu volume nada dering telepon nya kuat. Keadaan komplek yang hening membuat suaranya menggema.

Dan Bara pun melihat ke arah Anindya.

Batu Bara
O ckp tw

Anindya
Iya iya, gue di luar

Anindya
Mau beli sate

Batu Bara
Ya udah sini, gue beliin

Anindya menyimpan kembali ponselnya ke dalam kantong hoodie nya. Kembali memutar ke arah sate Mang Ijok. Semakin dekat, semakin terlihat bahwa Bara tersenyum melihat Anindya.

"Tumben." Bara menepuk-nepuk kursi di sebelahnya, bermaksud agar Anindya duduk di sampingnya.

"Gak papa, pengen aja. Karena Tata juga."

Bara menaikkan satu alisnya. "Tata? Kenapa sama Tata?"

"Kayaknya di tolak 'lagi' sama orang." Anindya menatap langit-langit. Malam yang cerah dengan bulan dan di penuhi dengan bintang-bintang.

"Di tolak? Udah berapa kali rupanya?"

"Baru dua sih sama ini. Itupun yang gue tau."

Bara mengikuti Anindya, menatap langit malam yang cerah. "Bilang sama Tata. Gak boleh nyerah, dia harus perjuangin cintanya. Walaupun resiko ke terimanya dikit."

Anindya diam.

Bara menatap Anindya dalam."Kayak gue, Nin. Gue selalu perjuangin cinta gue. Walaupun gue selalu di tolak sebelum bertindak."

***
☁️: #BaraSadBoy2023

Freak RelationshipWhere stories live. Discover now