34.

951 39 2
                                    



Bantu share cerita ini, nggh!




Mamah, Avin rindu Mamah,” ucap Galvin saat sambungan yang dirinya lakukan terhubung ke sebrang sana. 

Terdengar helaan nafas lelah disebrang sana. “Sayang, Mamah juga sama kek kamu. Mamah juga rindu sama Avin. Mamah baru berangkat satu minggu lho kurang lebihnya, masa udah kangen aja, biasanya juga nggak pernah kayak gini, kenapa” tanya Santi dengan sedikit bernada khawatir.

Andai saja Galvin boleh jujur, malam ini Galvin begitu kesepian. Setelah Andra pulang, tadi, Galvin tidak bisa tidur. Fikirannya terus tertuju pada seseorang yang bahkan kini teramat membencinya.

Andai saja Galvin berani, Galvin ingin sekali mengadu pada sang Mamah, kalau Galvin begitu rapuh saat ini. Selain fisik, mungkin mental Galvin juga sedang tidak baik-baik saja. Tapi Galvin tidak ingin kalau Santi khawatir dan tidak fokus dalam pekerjaannya. 

Galvin tersenyum meski yakin kalau Santi tidak bisa melihat senyuman yang kini dirinya paksakan. “Nggak papa kok, Mah. Avin cuman rindu aja. Malam ini rasanya sepi banget dirumah. Avin nggak takut, cuman kek nya Avin rindu berat ini sama Mamah,” ucap Galvin mencoba menahan isakannya. 

Galvin memang cengeng. Sering kali Galvin mencoba agar tegar dalam menghadapi setiap masalah yang menimpanya, namun tidak bisa jika tidak dibarengi air mata yang membasahi pipinya.

Kenapa? Galvin selalu bertanya pda dirinya sendiri, kenapa diri Galvin harus se lemah ini? Kenapa diri Galvin harus se rapuh ini? Bukankah Galvin dilahirkan dari rahim wanita yang kuat? Wanita yang bahkan sangat jarang menangis? Lantas, kenapa Galvin tidak bisa melakukan apa yang Santi lakukan?

Avin sayang, nanti Mamah usahain pulang lebih awal, iya. Nanti Mamah temenin kamu dirumah. Jangan sedih dong, Mamah jadi kefikiran, nih,”

Galvin menggeleng. “Nggak, Mah. Avin gak papa, kok. Bener. Avin cuman kangen doang, normal, kan?” ucap Galvin sedikit terkekeh.

Yaudah kalau gitu. Avin sayang maaf, Mamah masih banyak pekerjaan, nanti Mamah telepon lagi, ya. Besok.”

Tut...

Galvin menghela nafas kasar. Selalu begitu. Netranya menatap jam dinding yang tertempel rapih, disana. Jam menunjukan pukul 23:23. Sudah malam begini Mamah nya masih bekerja? Sebetulnya apa yang dicari? Uang? Jika memang benar uang yang Santi cari, maka apa artinya uang yang telah Mamahnya dapatkan selama ini? Uang Santi banyak, rumah pun bukan hanya satu, tabungan Santi pun demikian, lantas, apa yang sebetulnya Santi cari, lagi? Bahkan jika Santi tidak bekerja sekalipun, uang Santi masih terlalu banyak untuk biaya mereka hidup.

“Gak punya siapa-siapa lagi gue. Mati aja kali, ya? Siapa tau orang-orang pada nyamperin gue kalau gue mati. Untuk terakhir kalinya maksudnya.” ucap Galvin terkekeh perih. Iya, senyuman yang Galvin tampilkan akhir-akhir ini memang palsu. Tidak nyata, hanya untuk menipu mata yang melihatnya.

Galvin munafik! Iya, Galvin pun mengakuinya. Tapi apa yang bisa dia lakukan selain melakukan hal, itu?


“Tiga hari lagi,”

GALVINA (End)Where stories live. Discover now