30.

1.1K 47 1
                                    







Huek... Huek...

Santi yang semula hendak turun ke lantai bawah pun diam kala mendengar suara yang berasal dari kamar sang anak. Santi lebih memperkuat pendengarannya. Apakah benar yang dirinya dengar kalau saat ini Galvin tengah muntah? 

Suara itu semakin jelas, Santi masuk dan berjalan ke arah kamar mandi Galvin yang tertutup. 

“Vin, Avin kenapa?” tanya Santi sembari mengetuk pintu kamar mandi, itu.

Tidak ada jawaban dari dalam sana. Santi terus mengetuk pintu itu karena perasaannya yang amat khawatir saat ini. Sekita lima menit menunggu, akhirnya Galvin keluar dari dalam sana.

Santi mematung sesaat melihat wajah sang anak. Muka Galvin pias seperti mayat hidup. Bibirnya putih pasi, apa yang terjadi? 

“Mah.” lirih Galvin. Iya menahan dirinya didinding kamar mandi. Jujur saja saat ini kepalanya pusing. Perutnya pun sakit. Galvin sudah bisa menebak kalau ini pasti gara-gara tadi dirinya makan makanan Vina. Ah sudahlah! Galvin hanya bisa menerima saja. Toh sudah terjadi, kan? 

“Kamu kenapa, Avin?” tanya Santi setelah kesadarannya kembali.

Galvin menggeleng pelan. Satu-satunya ketakutan Galvin saat ini adalah membuat sang Mamah khawatir kepadanya. “Avin gak papa, Mah.” jawab Galvin tersenyum hangat.

“Jangan bohong kamu, Vin. Mamah tadi denger kalau kamu muntah-muntah, lambung kamu kambuh, ya? Kamu makan pedes? Kalau telat makan gak mungkin soalnya,” tanya Santi menatap lekat manik Galvin. 

“Avin gak makan pedes, kok. Avin kan gak suka pedes,” jawab Galvin berlalu ke arah Kasurnya. 

Galvin mendudukan bokongnya diatas kasur, itu. Menyandarkan punggungnya disana. Semoga saja Mamahnya tidak terus bertanya soal ini.

“Sejak kapan Avin jadi anak pembohong? Mamah gak pernah ajarin Avin bohong, ya!” ucap Santi menghampiri Galvin dan ikut duduk, disana.

Galvin diam. Bingung apa yang harus dirinya katakan pada sang Mamah. Sebenarnya, jika Galvin mengatakan pun tidak akan apa-apa untuk Vina, karena mana mungkin Santi memarahi Vina, tapi bagaimana dengan dirinya? Santi pasti akan memarahi Galvin, kan?

“Kenapa diem? Kenapa kamu makan pedes? Udah mau coba-coba buat dirawat, lagi?” tanya Santi terus memperhatikan Galvin.

“Nggak, Mah. Avin minta maaf. Tadi... Avin pengen, Avin bener-bener ngiler liat temen-temen makan pedes. Maaf...” jawab Galvin menundukan kepalanya.

Ayolah, jika kalian melihat Galvin kini, maka kalian akan sangat gemas. Bagaimana tidak? Galvin persis seperti anak yang tertangkap jajan permen oleh Ibunya. Lucu sekali, bukan?

“Terus sekarang apa yang kamu rasain?” tanya Santi sedikit datar. Biar saja, Santi ingin memberikan anaknya itu sedikit pelajaran. Agar tidak mengulangi kesalahan, lagi.

“Lambung Avin sakit, Mah. Rasanya kayak di peres... Mual juga. Pusing juga iya, lemes apalagi,” jawab Galvin jujur. Toh apa yang mau disembunyikan lagi, kan?  Santi sudah tau.

“Perlu dirawat?” tanya Santi yang mendapat gelengan langsung dari Galvin.

“Avin gak papa, Mah. Besok juga sembuh. Mamah gak usah khawatir, ya. Avin gak papa,” ucap Galvin menggenggam tangan sang Mamah. Jika Galvin dirawat, maka Galvin tidak bisa berangkat sekolah, besok. Dan jika itu terjadi, maka Galvin tidak bisa bertemu Vina, iya, kan? Dan Galvin ingin bertemu Vina. Biarlah Galvin menahan sakitnya!

“Yasudah, Mamah ke bawah dulu. Kalau ada apa-apa panggil Mamah.” ucap Santi berlalu. 

Galvin hanya mengangguk patuh. Sedetik kemudian, dirinya merebahkan tubuhnya diatas kasur. Mencoba memejamkan matanya meski sulit.

GALVINA (End)Where stories live. Discover now