29. Thing Who Called Love

Start from the beginning
                                    

Itulah sebabnya Louve datang. Ia ingin mengubah partner Akasa, dan ia ingin meminta agar Sadhara tampil solo saja. Jelas Akasa merasa hatinya terasa ditikam ribuan anak panah. Ia sudah bermimpi besar untuk pentas ini. Terlebih lagi, dirinya dan Sadhara sudah berlatih dengan segala macam penghalang. Lalu, ketika dua hari menuju pentas, Louve ingin menggagalkan semuanya?

Akasa ingin sekali menangis ketika pertama kali Louve membicarakan hal ini...

Nak, untuk pentas nanti, bunda pasti hadir buat kamu dan juga Sadhara. Tapi, bunda nggak bisa lihat kalian berdua berada di satu panggung yang sama.

Tetapi ia tak bisa. Ia hanya diam. Diam yang Louve artikan sebagai tanda setuju.

Akasa tidak mau ikut membicarakan ini bersama ibunya di ruang kepala sekolah. Itulah sebabnya ia melarikan diri untuk datang ke ruang musik yang kebetulan sedang kosong.

Setiap kali ia melihat piano, ia teringat pada Sadhara. Gadis angkuh yang sering sekali mengangkat kepalanya. Hey, tapi kemana perginya kebiasaan itu? Sadhara yang sekarang sudah tidak seperti dulu lagi.

Jemari Akasa kembali menekan tuts, kali ini dengan sebuah melodi yang familiar. Ia tersenyum, tersenyum begitu tulus diantara kesedihannya. Suara lembutnya kemudian terdengar, ia ikut bernyanyi.

"Ku buka album biru, penuh debu dan usang."

"Ku pandangi semua gambar diri, kecil bersih belum ternoda."

Entah mengapa matanya semakin memanas. Mata indah yang kian membuat penglihatan Akasa memburam itu seolah ingin memuntahkan air matanya.

Saat itu, pintu ruangan terbuka. Louve membeku di tempatnya ketika melihat putranya. Raut wajah wanita itu menjadi pilu. Alunan piano dan suara Akasa yang dapat ia rasakan betapa hancurnya lelaki itu.

"Pikir ku pun melayang, dahulu penuh kasih."

"Teringat semua cerita orang, tentang riwayatku."

Hancur sudah pertahanan Akasa. Air matanya mengalir dengan begitu deras, membasahi pipi dan hidungnya yang juga kian memanas. Suaranya bergetar, ia gemetar setengah mati. Meski begitu, Akasa tetap melanjutkan nyanyian indahnya.

"Kata mereka diriku selalu dimanja."

"Kata mereka diriku selalu ditimang."

Akasa memejamkan matanya, jemarinya terus menekan tuts piano seolah para tuts itulah yang memanggil jemarinya untuk disentuh.

Sama seperti itulah, sejauh apapun Akasa melangkah, Astrid akan selalu berada di pikirannya. Sebab eyangnya lah yang memanjakannya, menimangnya, dan tetap berada di sisinya hingga saat ini. Bukan bundanya.

"Nada nada yang indah, selalu terurai darinya."

"Tangisan nakal dari bibirku, takkan jadi deritanya."

Astaga, Akasa bahkan tidak tahu kapan terakhir kali ia menangis sebelum ini. Astrid selalu membuatnya merasa bahagia sekalipun ia hanya tinggal berdua. Astrid selalu membuatnya merasa cukup dengan memerankan banyak peran untuk membuat Akasa menjadi anak paling bahagia.

"Tangan halus dan suci, telah mengangkat tubuh ini."

"Jiwa raga dan seluruh hidup, rela dia berikan."

ETERNAL PART OF THE SKY ; Kim Sunoo [END]Where stories live. Discover now