RAFAEL PUTRA ANINDIKA

93 19 2
                                    


Aku menatap diriku di cermin. Mata merah, wajah sendu, dan perasaan kacau. Aku tak pernah menyangka kalau Airin akan seperti. Aku tak menyangka satu-satunya wanita yang aku cintai tega berbuat seperti ini. Apa sebenarnya yang aku lakukan? Apa kesalahanku sampai Airin sendiri ragu untuk menikah denganku?

Aku benar-benar tak habis pikir. Setelah hubungan kami yang berjalan hampir satu tahun dan semua keluarga sudah saling kenal, mengapa ini terjadi.

Foto Airin dan ibu terpampang jelas di kamar. Bahkan sengaja aku pigura begitu besar untuk selalu mengingatkan diriku bahwa hanya dua wanita itu yang harus senantiasa aku jaga. Aku sama sekali tak bisa memilih di antara mereka. Namun memang harus dan kondisi memaksa, aku tentu akan memilih ibu. Apa pun yang terjadi. Ibu yang melahirkanku. Dia yang mengasuhku sedari kecil. Tak mungkin aku akan meninggalkannya demi wanita yang baru aku kenal selama setahun. Tapi kenapa rasanya sesakit ini.

"El ...," panggil ibu.

Segera saja aku mengusap wajah. Aku lalu menuju ke kamar mandi dan membasuh wajah. Tak akan kubiarkan ibu tahu masalah ini. Tak akan kubiarkan ibu tahu kalau aku sedang bertengkar dengan Airin. Beliau harus sehat dan tenang.

"Iya, Bu," jawabku kala keluar dari kamar.

"Tumben lama di kamarnya?"

"Iya, tadi ngalamun. Untung saja ibu panggil, kalau ndak bisa kesurupan sendirian di kamar," seringaiku, mencoba untuk bercanda meski hatiku hancur tak keruan.

Ibu membelai wajahku. Aku pun menangkap tangannya lalu kukecup tangan yang sudah penuh akan kerutan itu. Wajah ibu selalu saja seperti ini. Dia tersenyum tenang.

"Kamu ada masalah dengan Airin?" tanyanya.

Dan ini yang aku khawatirkan. Ibu selalu dan selalu saja tahu apa yang hatiku sedang risaukan. Tak peduli seberapa keras aku berusaha menutupinya. Tak peduli seberapa pintarnya aku berakting di depan beliau, ibu selalu saja tahu mengenai rahasia terdalam diriku. Namun untuk satu ini, aku benar-benar tak ingin beliau tahu.

"Ibu doakan kami saja, ya! Insya Allah dengan doa Ibu semua akan selalu baik-baik saja," kataku lembut. Aku pun menarik selimut dan mengecup dahi ibu. "Tadi Ibu panggil aku ada apa?" tanyaku.

Ibu menggeleng. "Tadi ibu khawatir karena anak ibu ndak keluar-keluar dari kamar. Takutnya kelelehan. Kamu kan belum makan," jelas ibu.

Aku tersenyum. "Ini juga mau makan. Mana mungkin aku melewatkan masakan ibu yang begitu nikmat," kataku mulai ambil piring.

"Mau ibu temenin?"

Aku menggeleng. "Ibu minum obat lalu tidur, ya! Ini sudah malam, lho."

"Lah nanti yang ajak ngobrol siapa?"

"Kalau makannya sambil ngobrol nanti aku keselak atuh, Bu. Udah ya, sini aku dorong ibu ke kamar!"

Tanpa persetujuan lagi, aku pun mendorong kursi roda milik ibu ke kamar. Aku angkat beliau dan membaringkannya di kasur. Setelah kurasa beliau nyaman, aku pun mengambilkan obat dan juga air minum. Ibu tersenyum dan menerima obat lantas meminumnya.

"Istirahat ya, Bu. Hanya Ibu satu-satunya keluargaku. Jangan berpikir macam-macam!" ancamku sambil tertawa.

Ibu pun ikut tertawa. Setelah aku merapikan kamar dan memastikan kalau ibu sudah nyaman, aku pun mematikan lampu dan menutup pintu. Baru setelah aku yakin kalau ibu sudah tidur aku mengambil nasi dengan porsi yang teramat sedikit. Sebenarnya jika menuruti hati, aku sama sekali tak mau makan, namun aku tak ingin sakit. Aku tak ingin menjadi beban bagi ibu. Maka paling tidak harus ada yang masuk ke perut meski hanya beberapa sendok saja.

Sembari makan dalam keheningan, aku pun melihat gawai. Tidak ada notif selain laporan proyek dari para karyawan. Perkembangannya cukup pesat. Sepertinya akan selesai sebelum tenggat waktu yang diberikan. Namun di sana, sama sekali tidak ada nama Airin. Bahkan namanya yang sedari dulu aku pin paling atas, kini tak ada apa-apanya. Tertera di sana, terakhir kali kami berkirim pesan adalah empat hari yang lalu, sehari sebelum aku melihatnya makan bakso dengan bosnya sendiri.

Aku meletakkan sendok. Ternyata tak mudah untuk makan sementara hati sedang kacau. Rasanya semuanya pahit. Padahal aku paling tahu kalau masakan ibu tak pernah ada yang gagal. Jika seperti ini, aku pun menelan bulat-bulat semua nasi yang sudah aku ambil. Baru setelahnya aku mencuci piring dan gelas.

Aku masih bertanya-tanya. Kenapa hidup bisa seperti roller coster. Kadang bahagia, kadang sedih tak keruan. Seperti sekarang, di saat aku mulai yakin bahwa semuanya akan baik-baik saja, ternyata tidak. Aku kira, aku akan menikah dengan Airin. Kami bersama merawat ibu di rumah ini. Sesekali juga kami akan mengadakan menginap bersama orang tua Airin dan Ibu. Atau kalau mereka sudah tua semua, kami akan membuat rumah yang lebih besar sehingga muat untuk lima orang. Tapi ternyata bayangan itu hanyalah sebatas impian saja. Sekarang, mungkin keinginan itu harus aku kubur dalam-dalam.

Tanganku diselimuti sabun. Dulu di tempat ini, aku dan Airin akan bercerita banyak hal. Tentang apa pun. Bahkan dulu karena saking asyiknya bercerita, kami tak hanya mencuci piring. Baju ibu, bajuku, pun kami cuci bersama. Masih merasa kurang, akhirnya kami menyapu sambil bercerita.

"Kalau cuma ngopi sambil ngobrol, nanti pasti kehabisan bahan omongan," kata Airin ketika aku tanya mengapa repot-repot beberes rumah padahal bisa ngobrol sambil makan.

Aku saat itu tertawa. Rasa bahagia benar-benar kurasakan. Airin beda dari semua wanita yang pernah aku dekati. "Nanti kalau capek, gimana?" tanyaku masih sambil menahan decak kegermbiraan di hatiku.

"Kamu masakain aku pasta. Nanti pasti capeknya hilang."

"Cuci piring lagi, dong."

"Bagus. Jadi ngobrol lagi."

Aku tertawa. Airin pun. Kami seharian itu menghabiskan waktu dengan bercanda dan membersihkan rumah. Ibu tampaknya juga tak mau kalah. Dia dengan kursi rodanya memotong semak-semak yang mulai tumbuh. Hari itu, aku benar-benar melihat calon keluarga kecil yang akan bahagia selama-lamanya. Tidak hanya dalam negeri dongeng, tapi mungkin ending bahagia benar-benar akan ada di dunia nyata.

Namun sekarang, setelah aku melihatnya yang bersama Rahman, aku kira impian itu mungkin hanya isapan jempol semata. Siapa aku dibandingkan Rahman. Karirnya jelas. Dia juga kaya. Tidak ada tanggungan orang tua. Dia sendirian dengan rumah megah yang luar biasa. Aku dengan rumah kecil dan harus mengurus ibu. Meski memang pahit untuk diakui, wanita mana yang rela perhatian suaminya terpecah? Bahkan untuk ibunya sendiri. Jika Airin pintar, pastinya dia akan memilih Rahman yang mampu membawanya sampai ke luar negeri, hidup di sana dan bahagia tanpa repot-repot mengurusi orang lain. Tapi ibuku bukan orang lain. Maka dari itu, aku tak mau mengorbankan ibuku demi wanita lain. Siapa pun itu, termasuk Airin. Walau rasanya seperti tidak punya semangat hidup dan pahitnya minta ampun, tapi biarlah. Aku ikhlas.


Yuk komen, biar aku tambah semangat

Si Tampan KeduaWhere stories live. Discover now