Dicuekin

176 35 12
                                    


Aduh ... jadi gini ya rasanya dicuekin.

Aku mendesah. Tentu saja. Seharian penuh pekerjaan numpuk. Malah sampai ada titik di mana generasi kolonial butuh uang dan belum punya barang yang menjadi jaminan selain motor agak butut. Motor itu masih menyala. Katanya kuncinya hilang. Aku pun harus bekerja di bawah tekanan suara motor ya berisiknya masya Allah plus ramai dan tak tertinggal pula perasaan jengkel karena diacuhkan sama Rafael.

Namun karena SOP seorang customer service mengharuskan senyum, jadilah aku memasang wajah bahagia walaupun hati rasanya ingin meledak. Aku kadang berpikir, sepertinya aku cocok deh jadi aktris. Bisa bermuka dua.

"Pak Adi, bisa tolong temani Mbak Nisa utuk cek kendaraan di luar. Lalu sekalian tolong bisa ndak dimatikan saja itu motornya, pake apa gitu?" pintaku pada satpam di depan pintu. Atau mau diledakkan juga nggak masalah sih .... terusku di dalam hati.

Pak satpam itu mengangguk sopan. Mbak Nisa yang seoarang analisis menerima BPKB dariku dan segera keluar. Beberapa saat kemudian, suara motor yang buat kepala serasa mau pecah itu pun berhenti.

Aku lanjut mengisi data yang telah diisi oleh kakek di depanku. Sesekali mataku melirik kedua pasutri yang sudah dimakan usia ini bergandengan tangan. Aduh di saat tadi malam Rafael tidak mau aku suapi, malah sekarang ada adegan pasutri tua yang romantis. Kok apes sih ....

Pekerjaanku selesai. Semua persyaratan sudah terpenuhi. Pak Adi juga sudah memberikan kembali BPKB serta petugas analis juga telah mengecek keadaan sepeda motor itu. Aku pun membenarkan posisi duduk. Sontak kakek dan nenek yang ada di depanku pun kembali mendekati meja.

"Jadi Bapak-Ibu, motor Bapak-Ibu sudah bisa dijadikan jaminan. Berapa yang mau Bapak ajukan? Tapi karena kendaran Bapak dan Ibu masa ekonimisnya tinggal satu tahun, maka pinjamannya nanti pun harus diselesaikan dalam waktu satu tahun," jelasku sedikit simpati. Bagaimana mungkin motor buatan 2019 itu bisa dipinjamkan uang besar. Bisa pusing kalau tidak bisa melunasi dalam tempo satu tahun nanti. Mana kuncinya hilang pula. Dan dengan logika seperti ini, aku yakin mereka tak akan jadi menjaminkan BPKB motor demi pinjaman dengan waktu terbatas.

Aku memerhatikan suami-istri yang sudah renta itu. Tak ada anak mereka yang mendampingi. Seharusnya di umur segini mereka hanya perlu menerima uang transferan dari anak-anak.

Si kakek memandang si nenek. Mereka tengah berdiskusi. Si kakek seperti resah. Matanya bahkan sedikit berair. Sepertinya dia merasa bersalah. Si nenek dengan senyuman menyentuh pundak suaminya. Dia mengangguk.

Aku tersentuh. Sumpah kadang uang menjadi alat penunjuk emosi sesungguhnya dari seorang manusia. Bisa dijadikan barang mematikan atau mungkin barang pemersatu. Aku sudah berhadapan dengan banyak orang rese, tapi tak jarang juga ada pemandangan yang begitu membuat hatiku terenyuh. Seperti yang kulihat saat ini.

Bisa nggak ya aku sama Rafael tetap kompak kaya gitu?

"Baik, Mba, kami ambil!" cetus si kakek.

***

"Lo kenapa?" tanya Rachel. Mulutnya sibuk menyeruput spagheti di depannya. Maklum awal bulan. Selalu ada makanan mewah di tanggal-tanggal muda. Dan juga selalu ada indomie beserta promag yang akan menemani di akhir bulan.

Aku mendesah. Bibirku sedikit melengkung ke bawah. Kejadian tadi siang membuat pikiranku penuh. "Samalem bos nganterin gue ke rumah Rafael," aduku.

Rachel langsung terbelalak. Mulutnya tebuka. Sphageti yang sudah ia gigit pun menjadi jatuh lagi. "Apa yang dipikiran bos sampai bisa-bisanya nganterin lo ke rumah Rafael?"

Aku mengangkat bahu. "Kayaknya bos punya kelainan, deh. Gue jadi pingin datangin psikiater buat dia."

"Terus Rafael lihat nggak?"

"Liat. Makanya hp gue kayak kuburan gini. Gila sepi parah. Gue chat Rafael aja nggak dibaca. Padahal biasanya nggak sampe semenit udah dibales. Lah ini, satu hari Chel, satu hari. Gue chat dia jam tiga pagi, sampai pulang kerja gini, nggak diread coba."

Aku pun meletakkan dahiku di atas meja. Aku menunduk, menatap ke bawah. Ini bukan kali pertama kami berantem. Dulu juga sering. Tapi tak pernah sekali pun dia menjadi susah ditebak seperti ini.

"Gue curiga deh kalau bos suka sama lo," kata Rachel.

"Itu lagi itu lagi. Udah gue bilang kan, Chel. Kalau itu nggak mungkin."

"Kalau gitu alasan apa lagi yang masuk akal sampe si pinguin antartika itu rela nganterin lo terus ngerusak hubungan lo sama Rafael lagi."

"Lo pikir dia sengaja gitu ngerusak hubungan gue sama Rafael?"

Rachel tak menjawab. Dia hanya menatapku, yang kupikir dia ingin berkata bahwa aku sendiri yang bisa memutuskannya.

Tapi setelah kupikir-pikir mungkin tidak sih. Pertama saat penyerahan laporan kemarin, tiba-tiba Si Pinguin Antartika itu bertanya tentang persetujuan Rafael buat kuliah. Kedua, dia tidak mau pergi ketika di rumah Rafael. Malah baru pergi setelah Rafael lihat.

Aku meneopuk jidad. Mungkinkah?

"Ah nggak mungkin lah Chel. Gue bukan penjilat di sini. Tampilan gue juga biasa-biasa aja, nggak menor kayak si Nisa itu. Gue juga bagian fornt office yang udah pasti jarang banget ketemu sama si bos daripada bagian back office. Lalu gimana ceritanya dia jatuh cinta sama gue. Dia mau jadi pelakor versi cowok gitu? Dih nggak bermartabat banget. Mana mau cowok mapan kayak dia ngelakuin gitu," cerocosku tanpa henti.

Rachel mengambil jusnya. Begitu pun aku. Bicara tentang si pinguin antartika benar-benar menguras energi. Kadang nyebut namanya saja bikin sial.

Dan tebakanku pun benar. Sebuah notifikasi keluar dari ponselku. Notifikasi dari si bos untuk bertemu dengannya di sebuah restoran.

"Ha?" kagetku.

Rachel menjulurkan kepalanya. Dia turut melihat notofikasi di ponselku. "See?" katanya seketika.

"Dih ngapain sih ini si pinguin antartika?" desisku sebal.

"Apa lagi kalau bukan dapatin hati lo."

"Pait-pait."

Aku pun buru-buru menandaskan makanan yang ada. Fine! Jika dia ingin perang akan kuladeni. Akan kubuat dia ilfeel sama aku. Kalau sudah begitu, aku dengan Rafael bisa bebas lagi. Kontrakku dengan si pinguin itu juga hanya sekadar bos dan karyawan tidak kurang, apalagi lebih. Amit-amit pokoknya kalau suka sama dia. Ganteng sih ganteng. Sifatnya itu loh, bisa mati muda kalau nikah sama dia. Ngomong aja jarang.

"Gue duluan, ya, Chel?"

"Mau lo temuin?"

"Karyawan kayak kita bisa nolak? Nggak kan?"

"Iya juga, sih. Eh, tapi lo bilang kan ke Rafael."

"Nggak. Ntar dia malah tambah marah."



Hai kakak-kakak yang aku hormati. Maaf telat ya. Karena selain on going di sini, aku juga on going di karyakarsa. Link ada di kolom komentar. Oh ya, mampir di Dalam Tasbih Cintamu ya, ada di wattpad juga loh.

Si Tampan KeduaWhere stories live. Discover now