Dihujani Perhatian

247 49 11
                                    

"Kok jemput?" tanyaku ketika melihat Rafael yang menghadangku di depan kantor.

"Lagi belajar jadi suami yang baik," jawab Rafael sambil tersenyum. "Ayo naik!" lanjutnya sembari menepuk-nepuk bangku di sampingnya.

Aku pun membalas senyumnya. Untuk ukuran seorang cowok yang sudah melamar, sikap Rafael tergolong biasa saja. Dia sampai saat ini tak pernah mengejarku dengan jawabannya. Rafael hanya terus-terusan menghujaniku dengan perhatiannya. Aku tak pernah bilang kalau mobilku sedang rusak, aku hanya pasang instan story tadi pagi di metromini, dan voila dia inisiatif menjemputku sendiri. Benar-benar pria idaman bukan?

"Itu jari kamu kenapa, Mas?" tanyaku yang baru saja melihat ada balutan hansaplast di sana.

"Eh, nggak papa, kok."

"Lalu itu kenapa dahinya bisa ada gosong-gosongnya gitu?" kali ini aku menunjuk coretan besar yang berwarna hitam di salah satu bagian wajahnya.

"Oh, ini. Temenku tadi usil di kantor."

"Kok kayak kena pantat wajan." Aku pun memberikan sapu tangan yang selalu kubawa. Rafael pun menerimanya. Ia usap bekas noda hitam itu lalu tersenyum. Alih-alih senyum biasa, Rafael malah sengaja membentuk lesung yang amat manis di kedua pipinya.

"Pose sok tampannya mulai lagi nih ...," ejekku, yang sebenarnya aku pun gemas ingin mencubitnya.

Rafael tertawa, "Bilangnya tampan, tapi masih sering nonton oppa-oppa drakor." Rafael balas mengejek.

"Mereka tampan sih, tapi mereka nggak perhatian kayak kamu." Aku menyunggingkan senyum. "Coba bilang, kamu masakin aku kan?"

Rafael terkekeh, "Siapa bilang?" Dia membuang muka sembari menahan senyumnya.

"Ya ampun, Mas-Mas. Bisa nggak sih sehari aja kamu nggak perhatian sama aku?" kataku semakin gemas. Tak pernah terbayangkan aku bisa bertemu dengan orang yang sangat kuidam-idamkan. Seorang laki-laki yang juga bisa masak. Dapat kubilang hanya satu dari sepuluh lelaki di kota ini.

"Maunya sih, gitu. Tapi kamu sih terlalu manja, nggak bisa ngapa-ngapain, sibuk terus. Kadang lupa makan sampe sakit. Kadang lupa kalau kantor libur. Dan kadang lupa juga kalau masih pake sendal." Rafael menunjuk alas kakiku, yang masih memakai swallow.

Aku hanya cengengesan. Sebenarnya bukan aku kelupaan, tapi karena aku tak pernah nyaman memakai sepatu, aku meninggalkan sandal di kubikel. Jadi kalau acaranya tak penting, aku akan mencopot sepatu, membiarkan kaki ini bernapas dengan gembira.

"Mikiran apa sih kamu?" tambah Rafael.

"Mikirin kamu dong. Hati dan pikiranku kan udah dikuasai sama kamu." Aku tertawa. "Kalau ibaratnya, nih. Kamu udah duduk di singgasana, dan aku hanya bisa menghamba."

"Ah, bisa aja calon istriku ini." Rafael tertawa.

Aku menatapnya. Tawa yang indah itu selalu membuatku betah melihatnya. Suaranya yang ringan, membuat hatiku terasa nyaman. Hanya saja aku dapat mengetahui. tatapan Rafael kini menyiratkan sesuatu. Dia sedang menunggu jawaban, menunggu jawabanku atas lamarannya kemarin. Dan aku masih seperti ini-ini saja, sukar untuk mengungkapkan tentang beasiswa itu. Padahal aku sudah siap bertempur dengan jadwalku yang akan kian padat untuk mempersiapkan keberangkatan kali-kali lolos besok.

***

"Ibu!" aku menghambur memeluk Bu Nisa yang duduk di kursi rodanya. Dia pun menerima pelukanku dan mengecup dahiku cukup lama, seperti ibu yang sudah rindu sekali dengan anaknya.

"Kok kurusan?" tanyanya setelah melepas pelukan.

"Iya, Bu. Masakan di luar nggak seenak masakan Mas Rafael sih. Jadi males kalo makan." Aku sedikit tertawa sembari memandang Rafael.

Si Tampan KeduaWhere stories live. Discover now