Dari Pinguin ke Tikus

158 29 8
                                    

Aku duduk. Kali ini tidak kuanggukkan kepala ke bos. Biar saja. Pokoknya ini bayaran buat dia yang sudah buat hubunganku dengan Rafael berantakan. Di hari ulang tahun ibunya lagi. Mungkin benar apa kata Rachel, kalau bos satu ini punya kelainan mental berupa merebut pacar orang.

"Mau pesan apa?" tanyanya.

"Tolong makanan termahal di sini, ya, Mas! Dua porsi," pesanku tanpa malu-malu. Sudah kubilang kan? Aku mau membuatnya ilfeel. Kalau sudah begitu, dia pasti akan menjauhiku.

Si pelayan yang tadi dipanggil oleh pak bos mengangguk. Dia pun menyebutkan kembali pesananku sebelum akhirnya menghilang ke belakang.

"Kamu laper banget, ya?"

"Iya aku lapeeer banget. Bahkan aku bisa nambah kalau makanannya emang enak."

Pak Rahman diam. Dia mulai sibuk sendiri dengan ponselnya. Baguslah toh aku juga bukan datang untuk bicara dengannya. Yang benar saja, apa delapan jam di kantor tidak cukup untuk bertemu sama pinguin antartika ini?

Selang beberapa menit, pesananku datang. Tapi tak kulihat pesanan si bos juga diantar. Kalau tidak salah, sedari tadi dia hanya memesan satu cup kopi saja. Melihat si bos di restoran sebesar ini, bintang lima pula dan hanya memesan kopi, fix membuat aku melabelkan predikat manusia pinguin paling ajaib.

"Gimana persiapan interviewmu?" tanya Pak Rahman. Lagi-lagi pandangannya tidak ke arahku, melainkan tetap ke ponselnya. Tidak sopan banget kan, ya?

"Hmm ...." Aku bingung mau jawab apa. Sebenarnya yang kusiapkan selama ini hanya menata mental. Untuk materinya, aku sama sekali belum siap. Jawaban yang kususun, selalu saja bertele-tele. Aku sudah tanya ke orang-orang award beasiswa dari berbagai instansi, tetap saja mereka hanya menjawab seperlunya, secara mereka seperti kurang terbuka gitu. Atau mungkin itu karmaku karena menganggurkan jawaban atas proposal pernikahan Rafael?

"Aku sudah bicara dengan beberapa award LPDP yang aku kenal, aku sudah menonton semua video mereka dan sudah aku hafalkan semua jawaban yang aku perlukan," jawabku seadanya.

"Mereka mengajarimu berapa menit?"

Sekali lagi aku kagum dengan kemampuan bosku ini. Sepertinya kami salah menggelarinya dengan sebutan pinguin antartika. Kayaknya lebih cocok kalau dia tikus tanah. Bisa-bisanya dia bisa mencium ketidak siapanku yang bisa saja mencoreng namanya karena telah merekomendasikanku. Persis seperti tikus tanah yang memiliki radar untuk mendeteksi adanya ranjau darat.

"Ya ... beberapa menit."

"Setiap?"

"Ha?"

"Iya, setiap kapan mereka mengajarimu tentang cara dapatin beasiswa?"

Aku menelan ludah. Ini kenapa jadi kayak sesi interogasi korupsi, sih?

"Ya ... sebisanya mereka, lah. Aku ndak bisa nuntut dong, kalau mereka ndak mau."

Pak Rahman meletakkan ponselnya. Dia pun mendengus lalu melemparkan punggungnya ke kursi. "Dari sepuluh, angka berapa yang bisa mempresentasikan kesiapanmu dua hari lagi?"

Aku bengong. Sumpah ini ada apa sih dengan manusia pinguin antartika satu ini. Dari semua lelaki yang pernah aku temui di dunia ini, hanya dia seorang yang sangat susah untuk ditebak.

"Delapan," jawabku jujur.

Pak Rahman lagi-lagi menghembuskan napas. Aku tak tahu apa yang dia pikirkan. Seharusnya aku yang paling khawatir dengan persiapanku saat ini. Ini adalah kesempatan pertama dan mungkin terakhir untuk bisa pergi ke New Zealand, sebuah negara yang sangat kuimpi-impikan. Tapi mengapa raut wajah Pak Rahman terasa begitu kecewa, mendekati resah malah.

"Eh, Kak, maaf menunggu lama. Tadi suami aku rempong di jalan, jadi telat, deh!" seorang perempuan muda - mungkin seumuranku, datang. Dia menyalami Pak Rahman, mengecup tangannya dan bahkan salam pipi. Tak lupa juga dia memeluknya.

Aku bergeming. Tanpa aku sadari mulutku terbuka. Siapa wanita di depanku ini. Apa kupingku tidak salah dengar? Dia memanggil Pak Rahman dengan panggilan kak? Tapi kok kepribadiannya beda banget? Kalau perempuan ini seperti musim semi, Pak Rahman lebih seperti pertengahan musim dingin. Atau mungkin mereka ini kakak-adikkan? Apa benar dugaanku kalau Pak Rahman punya kelainan mental, suka merebut pasangan orang? Tadi wanita ini bilang dia punya suami, kan? Kalau adik, masa iya sih nyalip kakaknya nikah?

"Rin ...," panggil Pak Rahman yang langsung saja membuyarkan seluruh pradugaku tadi.

Aku tak bisa melihat wajahku, tapi aku yakin sekarang sedang menatap jijik lelaki di depanku ini.

"Perkenalkan ini adikku Qiana. Dia award LPDP di New Zealand. Kamu bisa bertanya dengan dia sampai dua hari ke depan."

Perempuan yang dipanggil Qiana itu menjulurkan tangannya. Dia tersenyum, senyum yang manis sekali. Dan kuharap Rafael tidak akan melihat senyum wanita satu ini, karena senyumnya lebih indah dari senyumku. Apalagi sekarang kami sedang berantem.

"Airin." Aku menyebutkan namaku sendiri, sesudah dia menyebutkan namanya.

"Ok, kalau begitu aku pamit dulu. Harus ada yang kuurus. Dan selama kamu mau membimbing Airin, kamu bebas memakai kartu kreditku!" ujar Pak Rahman singkat. Dia pun mengambil kartu kredit dari dompetnya.

"Asyik! Ok, siap!" girang Qiana.

Pak Rahman menandaskan kopinya. Dia pun memakai jaketnya kembali lalu bangkit. Sebelum dia melangkah, melewatiku, dia berhenti.

"Makanannya bisa dibungkus!" tandasnya.

Sontak aku kaget. Aku pun menengok ke si pinguin antartika ini, dia dingin, jarang bicara, tapi kok perhatian banget. Bisa-bisanya dia mengkhawatirkanku bukan lewat kata, tapi langsung dengan aksi. Pak Rahman bahkan mendatangkan untukku adiknya sendiri, seseorang yang bisa aku tanyai tentang kehidupan di negara yang akan aku tuju.

"Mbak Airin ini, pacarnya Kak Rahman, ya?" tanya Qiana tiba-tiba.

Kepalaku yang sedari tadi mengiringi langkah Pak Rahman sampai dia benar-benar keluar dari restoran, kini kembali menghadap ke depan, melihat Qiana.

"Aku belum pernah, loh, lihat Kak Rahman yang seperhatian ini sama cewek. Bahkan nih, sama mantannya aja, aku nggak pernah tuh liat Kak Rahman sampe bela-belain ke restoran semewah ini."

Mendengar itu, satu hal yang bisa aku lakukan. Melongo.

***

Malam sudah larut. Meski demikian, aku berusaha untuk menghubungi Rafael. Tak peduli dengan mendung yang menggelayut di atas sana. Tak peduli juga dengan hawa yang kian lama kian dingin. Yang aku inginkan malam ini hanyalah bertemu Rafael. Aku benar-benar ingin menghilangkan bayangan Pak Rahman yang membuatku kewalahan. Bisa jadi kalau aku semakin lama berantem dengan Rafael, hatiku malah .... Tidak. Aku bahkan tidak ingin memikirkannya.

"Ayo dong, Mas, angkat!" desisku tak sabar.

Aku yakin seribu persen kalau Mas Rafael belum tidur. Kami sudah tiga tahun bersama dan dia selalu memastikan ibunya tidur terlebih dahulu sebelum dirinya pergi ke kamar. Bahkan bukan hanya tidur, makan malam saja, kalau dia tak video call - memastikan ibunya makan, dia tak mau makan.

Beberapa kali telepon diam tanpa ada jawaban. Sampai ketika aku menelepon untuk kelima kalinya baru ada jawaban yang amat menyesakkan. Sebuah jawaban yang langsung membuat aku memesan ojek online sembari berlari menuju ke Rafael. Kami benar-benar harus bertemu sekarang.


Hai terima kasih telah mendukungku. Aku ucapkan terima kasih banyak atas viewsnya. Aku mau dong berteman kalian di FB. Yuk temenan denganku Fasihi Ad Zemrat, foto profilnya yang hitam ya. Terima kasih.

Si Tampan KeduaWhere stories live. Discover now