Katanya Valentine

113 23 7
                                    


            "Bentar lagi valentine loh, Rin. Lo malah lagi main kucing-kucingan sama Rafael," cetus Rachel tanpa koreksian sama sekali. Atau mungkin dia lagi nyinyirin aku perihal dia juga sudah punya pacar. Oh sory aku koreksi. Sudah punya pacar baru lagi.

"Liat nih, bahkan doi udah kasih aku cokelat loh," tambahnya tanpa difilter lagi. Sudah tahu aku sedang badmood masih saja dipanas-panasi. Menyebalkan.

"Ayo coba nih. Manis banget loh, kayak cintanya dia ke gue. Ada kriuk-kriuknya gitu lagi," cerocos Rachel sembari menyodorkan sebatang cokelat ke arahku.

Aku melirik ke arah temanku itu. Kutarik ujung bibir agar bisa tersenyum sinis ke arahnya. Dan sebelum dia sadar akan hal itu, aku langsung memakan seluruh batang cokelat yang dia sodorkan.

"Iih Airin. Kan nggak semuanya juga."

Aku nyengir. Salah siapa pamer.

"Untung aja doi kasih banyak."

Cengiranku pun musnah.

Melihat Rachel yang sudah tenang dengan cokelatnya, aku pun memilih untuk tak menghiraukannya lagi. Aku tengggelam untuk menyetak bilyet giro yang merupakan surat perintah pemindahan buku nasabah. Lebih cepat selesai, lebih baik. Aku muak berada di sini. Apalagi kini bulan Februari yang artinya semua sosmed dipenuhi dengan bentuk-bentuk merah muda yang memuakkan.

"Eh, udah selesai, lo?" tanya Rachel sambil tetap mengunyah cokelat putih pemberian doinya.

"Udah," jawabku singkat. Aku pun merapikan peralatan kerja juga kubikelku sebelum kembali ke belakang untuk mengambil barang-barangku yang lain.

"Cih bantuin napa? Biar bisa pulang bareng," gerutu Rachel.

"Sory ya, Chel. Gue ada acara penting malam ini."

"Dih, acara penting apaan. Palingan mau nonton drakor sedih buat nemanin lo karena lo sekarang jomblo, kan?"

Gigiku meringis. Geram tanpa ampun. Namun perlahan aku menarik napas, menguasai diri dari emosi yang merajalela. Lalu setelah emosi itu terkontrol aku pun membalikkan badan dan menghadap Rachel.

"Lo mau tahu caranya kerja cepet, nggak?" tanyaku sembari menaik turunkan alis.

Rachel menghentikkan ketikannya sejenak lantas menatap ke arahku.

"Gimana? Jilat bos? Idih ogah gue. Udah beruntung dapat posisi front office. Amit-amit kalo kerja deket-deket si pinguin antartika."

Aku menepuk dahi. "Bukan itu, Chel. Mana ada yang mau main senggol sama karyawan lain demi dekatin si pinguin."

"Lalu?"

Aku menyengir, "Jadi jomblo, Chel. Kalau kamu jomblo, WA lo menjelma jadi kuburan. So ... lo bisa deh fokus kerja. Karena satu-satunya yang lo bisa lakuin ya kerja."

Mendengar saranku, Rachel serta-merta memasang muka bego. Andai saja aku tak bisa mengendalikan kesabaran, sudah habis ekspresi itu dengan keyboard di meja kerjaku.

"Gue tahu cara yang lebih instan apa," cetus Rachel.

Dari sorot mata begonya yang berubah menjadi mata yang sedikit berair, aku sudah tahu apa maksud Rachel. Apalagi bibirnya yang kini manyun dan setengah melengkung. Ah sudah pasti dia akan mengeluarkan jurus menggodanya.

"Nggak. Mending gue pulang aja."

"Ayolah, Rin. Ini cara yang cepet. Lo bantuin laporan gue!"

Si Tampan KeduaWhere stories live. Discover now