Jomblo

159 25 20
                                    

"Pagi, Airin!" teriak Rachel sembari melangkah masuk. Hari ini kerja masuk lagi dan aku merasa buruk sekali. Tahu kenapa? Karena hari ini adalah hari senin dan kudengar Rachel sudah mengajukan cuti untuk pernikahan. Kalau secara game-nya ini dinamakan double kill.

Aku melirik tajam ke Rachel. Bisa-bisanya dia datang tanpa ada perasaan bersalah. Mana wajahnya gembira gitu lagi. Berbanding terbalik banget sama mukaku yang super duper nekuk sekarang. Udah hari senin, teman mau nikah, ditanya soal kepastian hubungan sama Rafael, plus ibu tadi pagi marah-marah. Aku heran kenapa dengan segala keruwetan yang aku alami, aku masih bisa bertahan hidup sekarang.

"Apa?" tanya Rachel ketika dia menarik kursinya dan duduk.

"Nggak. Nggak papa. Cuma ada lalat lewat tadi," sahutku.

"Sejak kapan di kantor ini ada lalat? Perasaan OBnya kalau bersihin tuh bersih banget. Sampai noda-noda dosamu aja, dia bersihin," kelakar Rachel.

"Haha. Lucu ya!" tanggapku.

"Lo kenapa, sih, Rin? Pagi-pagi udah bau aspal aja, sangsi mulu!" cibir Rachel.

Aku hanya melemparkan pandangan sinis ke arahnya lalu beranjak untuk menghidupkan komputer. Tak perlu untuk menanggapi Rachel karena ini bukan salahnya. Ini salahku sendiri karena kelamaan jomblo. Dan ketika umur udah diujung tanduk dua puluhan, eh malah impian masa lalu kembali datang.

"Lo ada apa-apa sama Rafael?" buru Rachel. Tampaknya makhluk padat satu ini energinya masih penuh untuk mengintrogasiku.

"Ada," jawabku singkat.

"Kenapa lagi? Perasaan kalian adem ayem aja. Apa jangan-jangan kamu sudah bilang soal New Zealand dan dia tidak setuju?" cecar Rachel.

Baru saja aku memutar kursi kerja ke Rachel. Baru saja aku mau buka mulut dan bercerita. Baru saja aku mengumpulkan energi untuk berbicara, Pak Rahman datang. Bukan masalah kalau dia datang dan langsung menuju ruangannya seperti biasa. Namun pagi ini, Si Pinguin itu menyita perhatianku. Di tangannya ada kresek berisikan dua bungkus bubur ayam. Seketika aku pun tersenyum. Ternyata dia tidak kolot-kolot amat. Buktinya dia langsung mengikuti instruksiku tadi malam.

"Pagi Airin!" sapanya yang tiba-tiba berhenti di kubikelku.

"Pagi ...," balasku singkat. Entah mengapa, melihat Si Pinguin berdiri di depanku kini, aku jadi deg-deggan. Kalau tadi malam dia kan agak remang-remang. Lah kalau sekarang, jelas banget. Segala lekuk tubuhnya yang maco dan wajahnya yang dingin-dingin manis itu, terpampang begitu lekat. Rachel aja yang biasanya ceriwis, kini ikutan bengong melihat Pak Rahman. Kami berdua sadar kalau ada yang beda sama penampilan Si Pinguin. Sialnya perbedaan itu justru ke arah positif. Wajahnya terlihat sumringah dan sejuk dipandang. Persis ketika habis jalan-jalan dan buka kulkas. Nyes.

Eh bentar. Tapi ini kenapa dia merogoh-rogoh kantung plastik yang dia bawa? Kenapa pula dia berhenti tepat di depan kubikel kami. Hello ... jam kerja di depan itu masih beberapa menit lagi, ya. Tidak mungkin dong kalau Pak Rahman mau mendupak kami dari back office untuk segera ke front office, menyambut para customer. Atau jangan-jangan ....

"Sarapan buat kamu. Katanya tadi malam, sarapan adalah tanda rasa syukur kita kepada Tuhan," ujarnya sembari memberiku satu bungkus bubur ayam.

Aku melongo. Apalagi Rachel. Dia berulang kali menatapku dan Pak Rahman secara bergantian. Aku yakin sekarang pikiran Rachel sudah traveling ke mana-mana, menuduhku yang tidak-tidak.

"Maaf, Chel. Saya tidak tahu kalau kamu juga datang sepagi ini," lanjut Pak Rahman lalu pergi begitu saja, masuk ke ruangannya.

Setelah Pak Rahman benar-benar menghilang, Rachel segera melempar pandangan ke arahku.

"Rin ... habis ngapain lo sama ...?" tanyanya.

Aku segera membekap mulut Rachel. "Diam! Nanti aku jelasin." Aku melirik ke segala penjuru, memastikan kalau Ryan dan Rehan belum datang. Ketika aku yakin bahwa baru hanya kami berdua di sini, aku pun melepas bekapanku itu.

"Jangan bilang kalau ...." Rachel langsung mencoba untuk berbicara lagi.

Dan aku segera membekapnya kembali. "Rachel ... diam dulu! Nanti aku ceritain," bisikku. Aku benar-benar tak ingin gosip kedekatanku dengan Pak Rahman bertambah liar.

Benar saja ketika aku mengedarkan pandangan, Ryan serta Rehan datang bersamaan. Aku pun memutar bola mataku ke mereka, mengisyaratkan pada Rachel kalau momen pagi ini harus hanya kami berdua yang tahu. Tidak ada manusia satu pun di kantor ini yang boleh tahu. Rachel pun mengangguk. Aku melepas bekapanku.

"Lo kapan nyusul kita Rin?" celetuk Ryan tiba-tiba. Dia sepertinya menghiraukan tindakanku pada Rachel tadi.

Aku menyedekapkan tangan lalu sembari memutar kursi menghadap ke Ryan. "Kita? Lo kan belum tun ...," kataku menggantung saat Ryan berbalik badan dan menunjukan jari manisnya. Seketika aku melongo.

"Kapan lo tunangan? Bukannya lo jomblo akut, ya?" cecarku. Serasa tidak terima dengan fakta yang ada di lapangan. Sumpah, aku sama sekali tak pernah melihat Ryan menghubungi pacarnya. Malah aku tidak tahu kalau dia pacaran. Vidcall tidak pernah. Boro-boro vidcall, di kantor aja yang jarang pegang hp itu si Ryan.

"Tadi malam. Gue sama calon istri sengaja nggak besar-besar pestanya, buat nabung masa depan aja."

"Nggak-nggak. Gue nggak terima lo main di belakang gini. Harusnya lo bilang biar aku sama Rafael duluan!" geramku.

"Pacaran doang, lamarannya kagak!" seringai Rehan yang disusul oleh gelak tawa Rachel dan Ryan.

"Sialan lo, Mas!"

"Makanya kalau sudah sama-sama sreg langsung nikah aja!" tambah Rehan.

"Lo nggak tahu seribet apa hidup gue, Mas!" bantahku.

Ryan mendekat. Dia menggeret kursinya ke arahku. "Airin Savika, award beasiswa di kantor. Seribet apa pun hidup lo, kalau lo nikah bakalan terasa enteng kok."

"Bener tuh. Minimal lo bakalan ngerasain cuci baju kami, para kaum adam," kelakar Rehan disusul dengan tawa Ryan.

Aku menatap kesal ke arah mereka yang sekarang melakukan tos. Kampret sekali mereka ini.

"Rin, as you say, nikah itu ibadah. Gue aja yang sering banget gonta-ganti pacar aja, yakin mau nikah sama pacar gue sekarang. Lah lo, yang pacaran baru sekali sama Rafael. Dan juga udah lama lo kalian pacaran." Rachel mengangkat jarinya satu per satu, sepertinya dia menghitung tenggat waktu aku dan Rafael bersama. "Kalian udah tiga tahun, lho!" sambungnya seusai rampung menghitung.

"Bener banget tuh, Rin. Gue ketika mau nikah sama Desti aja, gue ragu. Tapi gue yakin kalau ragu gue itu dari setan. Secara nikah itu kan ibadah. Di mana ada ibadah, di situ ada setan berbisik biar kita ragu. Dan sebelum setan itu muncul, mending lo nikah sama Rafael," tambah Rehan.

"Kalian kenapa jadi tiba-tiba berubah jadi da'i dadakan gini, sih?"

Semua orang tertawa kecuali aku. Ya bagaimana mau tertawa. Aku tinggal sendirian loh di sini yang jomblo. Padahal dari Rachel maupun Ryan, aku duluan yang menyandang status punya pacar. Lah kini malah ditinggal.

"Rafael kurang apa lagi sih, Rin? Dia penyayang, mapan, tampan, dan baik hati lagi. Kalau mau dicari kekurangannya sih, mungkin dia akan lebih sayang ibunya daripada kamu. Tapi menurut gue sih itu bukan kekurangan."

Ryan terus mengoceh. Namun perkataannya sama sekali tak ada yang masuk ke dalam telingaku. Aku justru malah terfokus dengan perkataan Mas Rehan tadi. Dia bilang kalau di setiap ibadah pasti ada setan yang menganggu. Apa jangan-jangan Pak Rahman itu setan di antara aku dan Rafael?

Ting .... Sebuah notifikasi membuatku mengalihkan pandangan. Segera kulihat siapa yang sepagi ini mengirim pesan.

Mba bisa ketemu ndak nanti malam? Pesan dari Qiana yang membuatku heran. Ini kali pertama dia yang mengajak ketemuan. Kira-kira ada apa, ya?


Ayo komentar. Satu komen adalah sepuluh semangatku buat update. Selamat menyambut Bulan Ramadhan! Pas banget kalau baca Dalam Tasbih Cintamu.

Si Tampan KeduaWhere stories live. Discover now