Panasnya Hati

186 39 10
                                    


Aku menghembuskan napas. Tiada orang lagi di luar. Rumah Rafael pun telah sunyi. Sepertinya acara telah usai dan para tamu telah pulang ke rumahnya masing-masing. Wajar saja. Jarum jam di tanganku sudah menunjukan hampir pukul sepuluh malam. Aku pun turun dan mengibaskan tangan untuk mengisyaratkan agar dia pergi duluan.

Pak Rahman menggeleng, "Aku nggak akan pergi sebelum kamu masuk."

"Aduh, Pak! Ini jam berapa? Kalau orang liat, apalagi Rafael nanti masalahnya jadi runyam," tolakku setengah berbisik.

Pintu rumah Rafael masih terbuka. Di dalam sana pasti masih ada ibu dan ayah yang mengobrol bersama Bu Nisa serta Rafael.

"Dia keluar kalau sadar kamu lama di sini. Kalau kamu cepet masuk, aku juga cepet pergi. Masalah selesai, kan?" bantah Pak Rahman.

Aku mendesis, geram sekali dengan logika bosku yang selalu selangkah lebih maju. Sialnya sebelum aku bisa menyanggah lagi, ibuku menyapa dari depan pintu.

Sumpah rasanya aku ingin sekali melempar sepatuku ke muka si bos. Coba aja kalau dia tidak tampan, pasti aku sudah melakukannya.

"Sama siapa?" tanya Ibu.

Aku menyalami sembari mengecup punggung tangan ibu lalu menjawab, "Sama Pak Rahman, Bu!" Aku memutar bola mataku, mengisyaratkan agar Pak Rahman pergi saja.

Nahasnya bukannya pergi, si bos malah turun dari mobilnya dan menangkupkan tangannya, menyalami ibu ala Islam. Aku paham sih dia mau menghormati orang yang lebih tua, tapi kalau nanti Rafael keluar ....

"Rin ...."

Tuh kan!

Aku menggigit bibir. Sempurna sudah kesialanku hari ini. Kira-kira Rafael marah tidak ya?

"Ya sudah, Tant. Aku langsung pulang saja," pamit Pak Rahman.

Cih. Menyebalkan sekali, udah kayak gini malah dia pamit.

"Nggak masuk dulu, Mas?" tawar Rafael.

Dari nada suaranya aku menangkap ada yang tidak beres. Wajahnya saja menyiratkan banyak hal. Aduh please! Jangan berburuk sangka.

"Terima kasih. Saya hanya memastikan keselamatan karyawan saya. Saya pamit, assalamu'alaikum."

Mobil si bos pun pergi. Rafael tanpa berkata apa pun langsung balik badan. Ia diam bak manekin laki-laki yang diberi nyawa, tapi lupa mengganti bagian bibir.

Mulai deh, dramanya!

Aku pun mengekori Rafael dengan tertunduk. Aku tahu aku salah. Sudah terlambat datang ke acara sampai malam pula. Dan kini terang-terangan di antar lelaki lain.

"Kamu kenapa bisa jalan sama lelaki itu, Rin?" ibuku membisik, mungkin ia takut perkataannya kedengaran oleh Rafael.

"Kami lembur, Bu."

"Lembur apaan sampai hp mati segala?"

"HP-ku kemode pesawat, Bu."

Ibuku mendengkus. Sepertinya dia sedikit kesal dengan kejadian yang terjadi di depan matanya. Mungkin hal itu karena Rafael sudah menjadi mantu idamannya yang sayang banget kalau sampai lepas. Yah ... bagaimana pun Rafael sudah menjadi bagian dari keluarga kami. Meski dia belum sah menjadi suami atau bahkan tunanganku, dia sudah terlebih dahulu merebut hati kedua orang tuaku. Bahkan nih ya, kalau seandainya ayah dan ibu tidak memiliki anak lagi, aku yakin mereka akan suka rela memberikan perusahan kecilnya ke Rafael.

Aku terkekeh kala mengingat kejadian itu. Dulu dengan hasil kerjaku, aku memberi suprise berupa Motor Megapro untuk ayah. Aku tahu dia ingin sekali motor itu sejak dulu, bahkan seringkali aku pergoki dia berulang kali melihat majalah motor-motor besar. Andai saja tak menyekolahkan sampai tingkat tinggi, aku yakin ayah bisa langsung membelinya, tapi apa boleh buat. Dia lebih memilih untuk mengorbankan impiannya daripada mengorbankan masa depan anaknya. Maka kali ini aku sengaja menabung dan voila sebuah motor baru, hadir di depan pakarangan.

Ayah yang memang sejatinya dulu punya motor dan dijual untuk modal mendirikan usaha, langsung mencoba motor yang kubelikan. Wajahnya berseri tiada terkira. Rasa-rasanya wajah ayah seperti kembali muda. Sumpah, hari itu adalah hari terbaik yang pernah aku alami. Senang banget rasanya lihat senyum ayah yang sama sekali tak mau hilang.

Nahasnya karena ayah sudah lama tidak pernah naik motor, sok-sokan lah dia. Pakai acara ngebut. Terjadilah tabrak mobil. Ya memang tidak parah sih, tapi salah satu lampu sen mobil yang ditabraknya pecah. Si pengendara mobil yang notabene mobilnya sedang behenti hanya bisa menghela napas. Ayah yang saat itu sedang mengemudi motor saat sore, tidak bawa uang maupun handphone. Alhasil ayah hanya bisa minta maaf dan mengundangnya ke rumah. Alih-alih si pengemudi marah, malah dia melepaskan ayah begitu saja. Si pengemudi bilang kalau dia sedang sibuk dan tak bisa mampir ke rumah ayah.

"Semua ini kecelakaan. Aku pun tak ingin terjadi. Dan aku yakin Bapak juga tak ingin menabrak saya," kata si pengemudi lalu pergi.

Meski demikian, ayah merasa tak enak hati. Beliau pun menghapal plat nomor dari si pengemudi.

Saat ayah pulang ke rumah, tentu kami sekeluarga kaget. Motor baru itu rusak. Tapi ayah bilang untuk tak mengkhawatirkan keadaan motor. Ia malah menyuruhku untuk mencari tahu pemilik nomor plat mobil. Melalui situs web samsat, aku pun dapat mengetahui identitas si pemilik.

Tak tunggu lama dan tak tunggu motor selesai dibenarkan, aku dan ayah mengunjungi si pemilik mobil. Mobil itu sama sekali belum dibenarkan. Terlihat seseorang yang tengah sibuk mencangkul di halaman depan rumahnya. Dia hanya mengenakan kaos oblong serta sebuah topi. Dari kejauhan dia tampak kekar dan memesona, tapi belum tentu wajahnya juga memesona. Siapa tahu sudah kakek-kakek.

Namun kala dia mendekat, aku hanya bisa menghela napas.

Masih muda, dong!

Dan ya, itu kala aku dan ayah pertama kali bertemu degan Rafael.

***

Malam kian larut. Lampu-lampu di rumah Rafael satu per satu dimatikan. Sudah saatnya kami pulang. Bulan pun sudah jenuh memandangi kami. Langit perkotaan semakin sunyi. Gemuruh mesin kendaraan bermotor lamat-lamat menghilang, bergantikan dengan derik serangga malam. Suasana kian hening, seperti halnya Rafael. Sudah setengah jam lebih kami bersama, tapi aku belum bisa mengajaknya bicara.

"Aku minta maaf, ya Mas!" pintaku. Tanganku meraih piring yang sudah disabun lalu membilasnya.

"Bukannya kamu capek abis lembur, ya?" balas Rafael yang langsung membuat nyaliku kecut.

"Lebih capek lagi kalau liat kamu murung, Mas."

Rafael hanya menghela napas. Dia tak melanjutkan sindirannya lagi.

"Maaf ya, Mas. Maafin dong!" aku menatapnya penuh.

"Kalau kamu ingin dengan bosmu, harusnya kamu bilang dari awal," kata Rafael sebelum akhirnya dia pergi.

Napasku mendadak terhenti. Oksigen serasa menghilang. Kepalaku berdenyut. Jantungku memompa lebih cepat saat Rafael semakin sirna dari pandanganku. Aku paham bahwa aku sudah mengecewakan Rafael berkali lipat. Aku sudah tak hadir acara ulang tahun ibunya, lupa bawa kado, dan di antar si bos pula. Tapi aku sama sekali tak bermaksud demikian. Apakah mungkin ini akhir dari hubungan kami?



Hai maaf ya. Sepertinya minggu ini updatenya sampe sini dulu. Disambung lagi senin, karena penulisnya mau fokus ke Karyakarsa dulu. Silakan yang mau mampir. Link ada di kolom komentar.

Si Tampan KeduaWhere stories live. Discover now