Bab 36

56 7 4
                                    

Langit mega yang terpapar indah sangat pas untuk Rayya menghafal ayat-ayat Al-Qur'an. Langit itu berwarna orange semburat kekuningan. Suasananya pun juga tenang dan damai. Beberapa hari terakhir ini Rayya sudah harus di sibukkan dengan hafalannya.

Sebenarnya Rayya tidak siap sama sekali untuk menghafal Al-Qur'an. Saat di minta Gibran untuk menghafal Al-Qur'an, Jujur ia bingung dan takut akan malah kececeran dengan ayat-ayat milik Allah.

Disamping ia ingin membahagiakan abah dan uminya. Rayya sebenarnya tidak bisa menolak permintaan dari suaminya tersebut. Seperti ada getaran dari hatinya untuk mengiyakan. Gibran adalah sosok suami yang sangat perhatian padanya. Dan Rayya tahu Gibran saat ini sedang berusaha untuk mencintainya. Gibran sering tersenyum padanya, namun dirinya sendiri belum pernah sekali pun tersenyum pada Gibran.

Entahlah, sulit untuk menyunggingkan senyuman pada lelaki yang sekarang menjadi suaminya. Tapi Rayya akan berusaha. Rayya akan berusaha bukan sekedar untuk menyunggingkan senyum, tetapi Rayya juga akan berusaha mencintainya.

Rayya terus mengkomat-kamitkan bibirnya. Ia sedang sangat fokus. Malam ini ia akan setoran yang pertama kalinya pada Gibran. Sesekali Rayya memandang langit untuk sekedar merilekskan pikirannya. Dan sesekali Rayya menghembuskan napasnya karena hafalannya sulit masuk ke dalam otaknya.

"Kenapa hmmm?" Tiba-tiba Gibran berdiri tepat di samping Rayya. Tangannya membawa secangkir kopi.

"Mboten, Mboten nopo-nopo. Enten nopo Gus Gibran teng mriki?" Tanya Rayya yang lirih, ia masih saja canggung untuk berbicara pada suaminya.

"Ini kopi buat kamu, biar bisa tenang." Jawab Gibran seraya menyodorkan kopi tersebut kepada Rayya.

Dengan gugup Rayya menerima secangkir kopi tersebut, ia perlahan meminumnya sedikit, "Caramel?"

"Iya, favorit kamu kan? Ternyata sama dengan kopi favorit saya."

"Gus Gibran juga suka caramel?"

"Iya,"

Bahkan Rayya baru tahu kopi kesukaan Gibran adalah caramel. Padahal selama ini ia membuatkan Gibran kopi hitam.

"Kopi hitam juga suka?"

"Nggak..."

"Uhukk uhukk, " Rayya yang sedang menyeruput kopi caramelnya langsung tersedak ketika mendengar jawaban dari Gibran. Jadi selama ini?Bagaimana bisa Gibran tetap meminum kopi buatannya sedangkan Gibran sama sekali tiadak menyukainya?

"Tapi kenapa Gus Gibran tidak pernah protes atau menunjukkan rasa tidak suka sama sekali pada kopi hitam?"

Gibran tersenyum, "Apa salahnya membuat istri senang?" Rayya terdiam, Kenapa Gibran selalu baik padanya?

"Yaudah, lanjutin hafalannya. Semangat istrinya Gibran. Jangan lupa nanti malam!" Ucap Gibran sebelum meninggalkan Rayya.

"Ada apa nantai malam Gus?" Langkah Gibran terhenti dan menolehkan kepalanya ke arah Rayya, "Nggak ada apa-apa, setoran aja." Rayya menatap polos wajah Gibran, ia menganggukkan kepalanya berkali-kali seperti anak kecil. Setelah Gibran kembali melangkah, Rayya meminum kopi caramelnya sekali lagi, kemudian menaruhnya di atas meja, ia kembali berkutat pada Al-Qur'an.

~~~

"Hidup adalah simponi yang kita mainkan dengan indah." Gumam Gibran saat membaca buku Anis Matta, seorang penasehat budayawan muda muslim. Dari jam 19.00 waktu istiwak hingga sekarang pukul 20.30 waktu istiwak. Gibran tampak sibuk dengan bukunya. Ia tampak sangat mendalami isi dari buku tersebut. Kedua alis Gibran menaut ketika ia membaca sebuah kalimat arti cinta. Apa itu cinta? Kata Anis Matta itu terlalu filosofis. Seorang Anis Matta lebih suka menjawab pertanyaan seperti ini, Bagaimana seharusnya anda mencintai? Cinta itu bunga. Bunga yang tumbuh mekar dalam teman hati kita. Teman itu adalah kebenaran. Apa yang dengan kuat menumbuhkan, mengembangkan, dan memekarkan bunga-bunga adalah air dan matahari. Air dan matahari adalah kebaikan. Air memberinya kesejukan dan ketenangan Dan matahari memberinya gelora kehidupan. Cinta dengan begitu merupakan dinamika yang bergulir secara sadar diatas latar wadah perasaan kita. Maka begitulah seharusnya kita mencintai. Menyejukkan, menenangkan, dan juga menggelorakan.Gibran mencermati sebuah kalimat yang baru saja di bacanya. Ia sedikit mengerti definisi cinta secara dinamis. Seseorang mencintai itu harus menyejukkan, seperti halnya Gibran memberikan ucapan-ucapan lembut kepada Rayya. Seseorang yang mencintai juga harus menenangkan, tidak boleh emosi dan terbawa ego diri sendiri. Dan yang terakhir, seseorang yang mencintai juga harus menggelorakan, seperti halnya seseorang itu harus bisa mendapatkan gairah hati dengan kekasihnya.

"Gus..."Gibran mendongak, mendapati istrinya yang berdiri di sampingnya dengan kepala sedikit menunduk, "Sekarang?"

"Nggeh." Langsung Gibran memperbaiki posisi duduknya berhadapan dengan sang istri. Gibran menatap Rayya yang terus menundukkan kepalanya. Rayya mulai mengeluarkan suaranya. Bibir mungilnya sangat lancar melantunkan ayat demi ayat Al-Qur'an. Gibran terus menatap Rayya. Rayya terlihat begitu cantik dan suaranya juga terdengar halus dan merdu. Ah Gibran baru menyadari semua itu. Sekilas lengkungan dari bibir Gibran tercipta ketika Rayya selesai setoran hafalannya.

"Sampun Gus.." Rayya beranjak dari duduknya. Jujur sedari tadi ia sadar jika Gibran menatapnya dengan instens dan itu membuat dirinya harus benar-benar fokus dengan hafalannya. Ia tidak boleh grogi.

"Tunggu Rayya.." Ucap Gibran berhasil membuat Rayya duduk kembali."Mulai sekarang panggil saya mas, jangan gus. Sepertinya saya sudah mulai mencintai kamu, bagaimana denganmu?"

~~~

"Mulai sekarang panggil saya mas, jangan gus. Saya sudah ,mulai mencintai kamu, bagaimana denganmu?"

Pertanyaan Gibran terus terngiang-ngiang di kepalanya. Tadi saat Gibran mengucapakan kalimat tersebut, ia hanya terdiam. Rayya belum bisa menjawabnya. Jujur Rayya tidak tahu harus menjawab apa, dan sepertinya hatinya sudah perlahan melupakan Gus Ubaid, namun di sisi lain hatinya belum bisa membuka sama sekali untuk Gibran.

Apakah pantas ia bersikap seperti ini? Gibran adalah suaminya, pantaskah seorang istri terus saja mencintai orang lain? bukan suaminya sendiri?Rayya sudah berusaha, namun ia tahu rasa tidak bisa di paksakan. Hatinya tidak bisa di paksa untuk membuka dan membuat Gibran masuk ke dalam hatinya. Tapi Rayya yakin semuanya hanya butuh proses. Ya! proses mencintai.

🌸🌸🌸

Huhuuuuuu terakhir yaaaaa🥺🥺
Update lagi next liburannnnn🥹
Jangan sampe lupa sama rayya dan Gus gibrannn!
Mereka tetep disini kok, menanti kisahnya terpublikasi🥰
See you!!
Jangan lupa vote and comment
❤️❤️❤️

Udah ya.. author mau pamit
Balik pondok dulu
See u next time readers2 setiaku🥰


ANA UHIBBUKA FILLAH (ON GOING)Where stories live. Discover now