Bab 14

55 4 0
                                    

Muhammad Tuffail Aksaranjabi

Lelaki dengan postur tubuh tinggi, tetap, kekar dan peci bambu yang menjadi ciri khasnya. Kulitnya putih bersih dan selalu berpenampilan layaknya seorang remaja santri lainnya.

Masa remaja Tuffail harus di habiskan di dalam pesantren. Karena keadaan Tuffail yang sedang sakit, ia harus pulang untuk sementara waktu di jemput abah dan uminya. Pesantrennya pun tidak jauh dari pesantrennya sendiri. Hanya menempuh sekitar satu jam saja.

Selama perjalanan, ia hanya tidur. Badannya lemas. Ketika sudah sampai di dalem, dirinya langsung saja menuju kamarnya. Matanya memicing tatkala ia melihat kamarnya. Sepertinya ia menyadari, kamarnya berbeda. Konsep dan arsitekturnya sudah berbeda saat terakhir dulu ia melihat nya. Jika dulu cat tembok kamarnya berwarna cream, namun sekarang berganti warna menjadi abu-abu berpadu dengan hitam dan putih. Penataan kasur, almari, serta barang-barangnya pun sudah berpindah tempat. Tuffail suka ini. Karena terkesan lebih rapi dan aesthethic.

Tuffail membaringkan tubuhnya ke kasur king size nya. Badannya semakin lemas, mungkin ini adalah efek perjalanan tadi.

Makanan favoritnya pun sudah tersedia di atas nakas. Ikan nila goreng dengan sayur asam plus sambal terasi dan kerupuk, baginya ini adalah salah satu kenikmatan yang haqiqi. Bukan hanya itu, satu gelas susu vanilla dan buah apel hijau juga tersedia di atas nakas.

Tuffail bukan lagi anak kecil, akan tetapi perhatian umi kepadanya sejak kecil masih selalu sama. Tuffail tidak masalah dengan itu semua. Karena baginya semua hal yang di lakukan umi kepadanya adalah hal yang sangat berharga.

Wajah Tuffail pucat. Suhu tubuhnya yang demam dan kulitnya yang putih membuat dirinya semakin terlihat pucat pasi.

Sementara, umi sedari tadi duduk di pinggir kasur milik Tuffail, umi menatap putranya sendu, "Umi suapin ya?"

Tuffail tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan, "Matur suwun umi..."

"Nggeh.. Cepat sembuh pokoknya putra umi,"

"Nggeh umi, do'ain Tuffail terus."

"Nggeh pasti, Udah setelah ini kamu istirahat."

"Nggeh umi."

~~~

Beberapa hari berlalu, badan kekar seorang Gus Tuffail kembali seperti biasa nya. Entah apa yang membuat dirinya jatuh sakit yang terbilang lumayan lama. Selama sakit, pasokan makanan bergizi dan ekstra vitamin c harus ia tingkatkan. Tak lupa saat matahari memunculkan kehangatan di pagi hari, ia selalu berjemur di bawahnya.

Hingga sampai-sampai kamarnya beraroma obat. Tidak ada salahnya, mungkin ini adalah efek dia yang terlalu lama berbaring dan terus memasoki pasokan obat-obatan. Bukan hanya itu, jamu khas racikan uminya juga memadu aroma dengan obat-obatannya.

"Tolong panggilkan mbak piket, mbak!" Seru Tuffail kepada seorang wanita yang berdiri di dapur. Ia harus cepat-cepat membersihkan kamarnya. Virus-virus yang tertinggal disana harus cepat dimusnahkan.

Tuffail menatap datar wanita yang hanya berdiri mematung seperti orang linglung. "Tolong panggilkan mbak piket..." Ucap Tuffail sekali lagi.

"Raut wajah Tuffail semakin datar. Wanita itu masih saja mematung tanpa tahu salah.

"Hey mar'ah!?!" Ucap Tuffail dengan Nada lebih tinggi. Jujur ia kesal.

Ditambah kesal lagi, wanita itu hanya menganggukkan saja kemudian pergi melenggang entah kemana.

"Santri nggak ada adab! Huh dasar." Batin Tuffail.

~~~

Sinar matahari seakan tersenyum hangat siang ini. Mungkin tidak hanya tersenyum, namun sudah tertawa hingga menciptakan kehangatan bercampur dengan panasnya di siang bolong begini. Alih-alih Tuffail berdiam di dalam sambil menyalakan kipas angin tornado, ia malah pergi menaiki sebuah motor butut yang sudah menjadi kesayangannya.

Menembus panasnya sinar matahari tersebut. Tuffail mulai menyalakan motornya dengan kecepatan rata-rata. Mungkin tenggorokannya membutuhkan asupan aliran dingin yang bisa membasahinya dan es pisang ijo lah yang menjadi sasaran utamanya.

Namun belum sampai di tempat tujuan, ia melihat seorang wanita yang sudah membuatnya jengkel dan kesal beberapa hari yang lalu. Tuffail membawa motornya ke pinggir jalan, memarkirkannya di samping belukar. Ia berjalan ke arah dua wanita yang membawa sekantong kresek putih berisi mie ayam.

"Ehemm."

Langkah dua wanita itu terhenti. Sebelum mereka berbalik badan, Tuffail melihat keduanya saling pandang satu sama lain.

Raut wajah mereka terlihat sangat kaget. Mungkin mereka sudah tahu, apa yang akan terjadi setelah ini.

Tanpa basa-basi, tanpa babibu lagi, tanpa banyak bicara, Tuffail langsung saja melontarkan kalimat yang berhasil membuat mereka mematung dan kaget.

"Ta'ziran mengepel musholla dengan tembok-temboknya!" Tuffail melontarkan kalimat dengan tidak perlu ragu dan tanggung-tanggung. Benaknya tersenyum puas.

"Lagi, sekalian kamar saya di pel. Harus wangi, harus bersih tanpa debu sekecilpun."

Sekali lagi, benak Tuffail tersenyum puas karena telah memberi sedikit pembelajaran kepada kedua wanita tersebut khususnya dengan wanita yang kemarin membuatnya kesal. Ini bukan dendam atau apapun, namun ini hanyalah pembelajaran supaya mereka jera atas apa yang mereka langgar.

~~~

Setelah menjalankan ta'zirannya. Rayya dan Azria kembali ke kamarnya. Mengepel musholla beserta tembok-temboknya dan juga kamar Gus Tuffail yang sedikit berantakan membuat mereka sangat lelah.

Namun bukan masalah bagi mereka, karena hati mereka selalu diniati dengan, "Ngalab barokah kyai lan ngresiki ati."
Mereka yakin suatu saat nanti lelahnya akan menjadi lillah.

Duduk bersandingan di atas keramik putih dengan kedua kaki berselonjor membuat mereka lebih rileks, "Huftt, akhirnya..." Gumam Rayya.

Sementara teman-temannya sudah tertidur pulas.

Dari mulai pulang sekolah pukul 11:00 waktu istiwak, mereka selesai menjalankan ta'zirannya pukul 13:00 waktu istiwak.

Alhamdulillah..

Dari yang mulanya menselonjorkan kedua kakinya. Kini mereka mulai membaringkan tubuhnya di atas keramik tersebut. "Panas banget, badan nempel keramik jadi adem ya," Celetuk Rayya seraya mengibas-ngibaskan tangannya.

"Iya, andaikan ada kipas pasti enak banget,"

"Mmm, gimana kalo kipas mushola kita copot, terus bawa deh kesini, gimana?"

Azria berdecak, "Ngawur aja, mau di ta'zir lagi? Lagian di sini nggak ada stopcontact."

"Colokin aja di idungmu, biar saluran pernapasan lancar kayak jalan tol."

Azria tidak lagi menggubris perkataan Rayya. Ia sudah lelah. Perlahan matanya terpejam. Rayya yang melihat Azria mulai memejamkan matanya, ia juga ikut memejamkan kedua matanya. Kemudian, tanpa sadar mereka sudah terbang ke alam mimpinya.

"Rayya, Azria!!" Suara yang sudah mereka kenal masuk ke dalam gendang telinga Rayya.

"Rayya, Azria!!!" Kini telapak tangan orang tersebut menepuk betis Rayya berkali-kali.

Rayya terbangun, mendapati mbak keamanan yang sudah memasang wajahnya seperti menemukan seekor mangsa.
Rayya melirik jam kamarnya. Ternyata sudah pukul 14:30 waktu istiwak. Sontak Rayya menepuk jidatnya, "Astaghfirullah! Ngalamat dapet cek tapak asto!" Ucap batin Rayya.

Namun lain dengan Azria, ia malah masih enak-enakan molor menikmati mimpinya yang entah indah atau buruk. Dia tidak tahu, saat bangun nanti, kertas legendaris cek tapak asto tidak berjamaah dzuhur akan menjadi santapan siangnya.

Baru selesai mereka menjalankan ta'ziran, selang beberapa menit cek tapak asto datang melambaikan tangan kepada mereka. Dan uang 5.000 milik mereka akan melayang. Siap-siap nanti berhadapan dengan ibu nyai.

🌸🌸🌸

Happy reading and see you next part❤️

ANA UHIBBUKA FILLAH (ON GOING)Where stories live. Discover now