STRUGGLE • 01

89 5 17
                                    

• Happy Reading •

- Desa -

Sawah, kerbau, ladang, sungai, dan dedaunan hijau adalah salah satu ciri khas kehidupan desa, cuaca yang sejuk, angin sepoi-sepoi, dan udara yang sama sekali tidak tercampur baur dengan asap-asap kendaraan. Adapun ayunan yang terbuat dari kayu menggantung di akar pohon besar yang Gilang yakin pohon itu sudah berpuluh-puluh tahun di tanam dan satu manusia yang berdiri tegap di tengah-tengah sawah dengan baju lusuh dan topi yang melindungi kepala.

Rambut gondrong Gilang yang dibiarkan terurai berterbangan saat ada angin menerpanya. Matanya di pejamkan hanya untuk menikmati udara sejuk di desa, merentangkan tangannya agar lebih nikmat menikmati udara di sini. Sampai satu suara berat yang familiar di telinga menginterupsi. Gilang segera menoleh dan di sana ia menemukan sosok ayah yang sepanjang waktu selalu menyayanginya. Tersenyum, kemudian diam menunggu langkah sang ayah sampai di sampingnya.

Pria paruh baya itu menarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan, "Pilihan yang tepat." Ujar Bryan lega. Soca hitam legam yang serupa dengan Gilang di biarkan menikmati indahnya sawah hijau yang tumbuh dengan lebat.

Gilang tersenyum hangat, "Semoga." Balas Gilang atas ungkapan ayahnya.

Bryan hanya mengangguk kecil. Soca hitam legam itu di bawa menatap satu entitas yang berdiri di sampingnya. Perlahan tangan kekarnya di bawa mengusap puncak kepala sang putra tunggal, menyalurkan rasa kasih sayang. Dalam benaknya berpikir, tidak menyangka bahwa putranya sudah se-dewasa ini, sudah bisa mengambil keputusan besar sendiri tanpa campur tangan dirinya, berani mengambil resiko dan yakin akan keputusannya. Gilang hebat, Bryan bangga.

"Ayo." Ajak Bryan. Gilang langsung mengikuti jalan sang ayah dari belakang dengan membawa koper besar berisi kebutuhan-kebutuhannya di sini.

Beberapa menit berjalan kaki menyusuri jalan setapak sampai akhirnya ayah dan anak itu sampai di tujuan. Rumah besar yang dulu sering Bryan kunjungi, rumah yang menyimpan cukup banyak kenangan bersama sang istri, namun sayang sekarang istrinya sudah lebih dulu meninggalkan Bryan bersama Gilang yang waktu itu masih berumur empat tahun, dan kini untuk pertama kalinya lagi Bryan mengunjungi rumah besar ini demi kebahagiaan sang putra satu-satunya.

"Assalamu'alaikum." Setidaknya hanya itu yang Bryan bisa ucapkan walaupun dirinya bukan seorang muslim.

"Wa'alaikumsalam," Jawab suara wanita dari dalam. Ketika sampai di ambang pintu, tepatnya di teras rumah wanita itu tersenyum lebar dengan bola mata yang membulat, "Eh? Ya ampun."

"Bu." Bryan langsung menghampiri wanita itu dan mencium punggung tangan keriput wanita itu sopan. Di belakangnya Gilang mengikuti apa yang dilakukan sang ayah kandung.

Ini bukan untuk yang pertama kalinya Gilang bertemu dengan sosok sang nenek. Sebelumnya ketika Gilang umur dua tahun dia ikut ke sini bersama ayah dan bunda, setelah itu sampai saat ini Gilang baru pertama kali lagi menemui ibu dari bundanya yang sudah tidak ada.

"MasyaAllah cucu, Nenek." Senyuman tak sempurna dari wanita tua itu terpampang jelas di mata telanjang Gilang. Walaupun bermuka keriput dan gigi yang sudah tidak lengkap, tetapi yang Gilang lihat senyuman itu sangat tulus.

"Ayo masuk, kita bicara di dalam." Lanjut nenek, mendahului Bryan dan Gilang untuk masuk ke dalam rumah.

Satu langkah kaki berhasil menapaki lantai dingin di rumah besar itu, kemudian langkah berikutnya di bawa menuju ruang tengah.

"Eh? B...bryan ya?" Suara serak-serak basah milik laki-laki berkaos putih itu masuk indra pendengar Bryan maupun Gilang. Pria itu berjalan menghampiri titik dimana Bryan sedang berdiri sambil menyuguhkan senyumnya.

STRUGGLE Where stories live. Discover now