Febian

77 3 0
                                    

Setelah mulai berpindah kota, aku berusaha fokus pada hidup. Beranggapan bahwa ceritaku tentang penantian yang panjang itu telah aku tutup, dan selesai. Aku mulai jatuh cinta lagi, menemui beberapa orang yang pada akhirnya membuatku kagum, seperti kali pertama menemukannya.

Repetisi itu terulang beberapa kali, dan aku sadar. Tiap kali jatuh cinta, aku sudah tidak mencari Bian lagi pada diri orang lain. Aku sudah bisa menerima keistimewaan dan keunikan orang yang berbeda-beda. Sudah mampu merasakan cinta yang tumbuh sama halnya seperti apa yang dulu aku rasa. Hanya saja, cinta yang baru itu memang tidak pernah bisa mengalahkan luar biasanya cintaku yang pernah ada pada Bian.

Aku sadar, rasa yang tumbuh pada hati berbeda terus-menerus menipis. Mungkin semuanya terjadi secara bertahap, namun aku selalu terlambat dalam menyadari hal-hal yang terjadi pada diriku. Dulu, aku mampu mencinta hingga tanpa batas waktu. Aku bisa mencintai orang yang sama dengan rasa yang sama hingga bertahan bertahun-tahun tanpa jaminan apapun. Namun sekarang, semuanya sudah tidak lagi seistimewa itu.

Bisa dibilang, akulah yang selalu mengakhiri kisah-kisah yang belakangan waktu aku mulai. Hanya sebab lelah memahami, muak bertahan, dan ingin terbebas lepas. Padahal, kala itu jatuh cinta menjadi hal yang paling aku syukuri sebab hanya sesekali ia datang padaku. Aku berusaha jatuh lebih dalam padanya, mencintai semua kurang dan lebih yang ia punya; sekalipun sudah tak ada alasan lagi untuk bertahan bersama. Namun, aku tidak lagi sampai pada titik tertinggi yang dulunya aku raih dan pertahankan bertahun-tahun. Seakan-akan hatiku berbatas, sudah tidak seluas dulu.

Aku hanya sampai pada percobaan menerima yang gagal. Akan ada lelah, kalah, lalu menyerah dengan mudah. Menggunakan alasan bahwa aku telah bertahan cukup kuat selama ini, dan sudah tidak sanggup lagi bersama melanjutkan hari-hari. Padahal, dulu aku bisa bertahan lebih lama. Atau bahkan bisa mencintai tanpa jeda. Aku pernah sebegitu tulusnya untuk satu hati yang mana padanya segala cinta telah mengabdi. Mengapa saat pada yang lain aku jatuh lagi, hatiku sudah tidak sekuat itu untuk terbagi?

Dan belakangan waktu setelah memberi jeda pada diriku, aku mengerti. Selama ini, aku tak pernah membiarkan diriku tidak mencoba. Aku selalu memaksakan diri untuk berusaha kagum dan jatuh cinta. Bilamana satu kisah berakhir, dengan mudahnya aku mencari keunikan dan keistimewaan lain agar aku tertarik. Rantai itu tak pernah putus, seakan bersambung membentuk suatu repetisi yang membuktikan bahwa aku tidak bisa sendiri.

Sudah 5 bulan lalu kisah cinta terakhirku berakhir. Dari hubungan itu, aku mempelajari diriku lebih dalam. Ternyata, aku hanya menjadi manipulatif yang handal. Aku jatuh cinta di awal dan kehilangan rasa beberapa minggu kemudian. Bertahan dalam hubungan itu hanya karna beberapa alasan. Dan saat alasan-alasan itu hilang, aku tidak bisa tetap di sana. Dengan mudahnya aku pergi melepas apa yang sudah lama menggenggamku.

Aku hanya takut kehilangan diriku yang tulus itu. Yang mampu mencintai tanpa karena, tanpa ingin apa-apa; hanya sebatas mencintai saja. Tetapi, waktu berganti hari berlalu. Tiap kali mengulangi jatuh cinta justru rasa yang aku punya tidak lagi cukup untuk memenuhi hati lain manusia. Masih banyak barang yang berantakan, sisa dari kenangan yang aku kepul bertahun-tahun, bangkai harapan yang membusuk tak terbuang. Tanpa sadarku, segala hal mengenai Bian; mula hingga akhir aku mengira sudah menutup buku, meraup sebagian tenaga dan hampir memenuhi ruang di dada. Hanya sedikit yang tersisa.

Aku telah sampai pada satu kesimpulan. Bahwa bagaimanapun, Bian memang tidak akan pernah menjadi milikku. Kerelaan itu kembali menyadarkanku setelah terakhir kali ia datang bertahun-tahun lalu. Dan aku mengerti. Waktu, hanya waktu yang aku perlukan. Untuk perlahan menyingkirkan segalanya, mengemas rapi apa yang tersisa dan menguburnya dalam-dalam. Aku tidak butuh orang lain, aku tak boleh bersama yang lain. Sebab, ia hanya akan hidup di hatiku berdampingan dengan Bian yang masih tertinggal disana.

Aku tidak lagi boleh memahami hati lain saat ternyata hatiku sendiri belum sepenuhnya aku miliki. Bukti bahwa setiap hari aku masih memperpanjang narasi ini, menjadi pengingat bahwa bagaimanapun; namanya masih aku sebut. Trauma yang tinggal dan tenaga yang terkuras habis waktu itu belum sepenuhnya kembali. Aku harus memberikan jeda pada hatiku untuk nantinya memulai lagi. Agar suatu ketika saat bertemu seseorang yang memang benar-benar ditakdirkan untukku, aku mampu mencintainya dengan seluruh luas dan megahnya hatiku yang dulu. Hatiku yang pernah aku persembahkan untuk seseorang yang nyatanya tidak akan pernah menjadi milikku.

••

Halaman ini memang sengaja dibiarkan berantakan, sebab beginilah adanya. Tangan yang menulis ini masih dikuasai oleh kepala yang dipenuhi banyak lara.

Narasi Patah Hati Where stories live. Discover now