1. Hukuman Ayah

905 64 3
                                    

Terlalu larut untuk pulang bagi Jean hari ini. Pukul dua dini hari. Dengan menenteng tas hitam besar di satu bahu berlapis jaket denim gelap, Jean meniti Langkah memasuki pintu utama. Lampu ruang utama nan lebar rumahnya telah padam. Menjadi waspada tatkala mengingat mungkin saja sang ayah sudah pulang dan berada di rumah sebelum memutuskan pergi lagi ke luar negeri dalam waktu tak tentu.

Kala kaki jenjang berbalut jeans ketat dan sepatu boots senada warna jaketnya mencapai titian undakan tangga marmer putih nan dingin, derap langkah dari arah berlawanan menggema meretak sunyi. Jean mendongak ringan, temukan sosok perawakan tinggi nyaris menyamai tubuh menjulangnya.

"Baru pulang lo?" Sapaan itu terlalu memuakkan. Sembari lanjut menapak turun dari tangga kemudian menyisakan jarak dua undakan dari posisi Jean. "Ingat pulang juga, ya."

Jean mendengus samar. Enggan menaruh atensi sedikitpun. Bukan sosok sang ayah, tetapi sosok lain yang ia lupakan juga tentang fakta bahwa sosok itu masih tinggal serumah dengannya.

Dalam keremangan cahaya rembulan berbias masuk dari selinap dinding kaca dapur tak jauh dari mereka, sosok itu mengantongi kedua tangan di sakunya. Terlalu jelas ekspresi membosankannya di mata Jean.

"Dari mana lo? Boxing?"

Decakan Jean menguar, lalu serta-merta melangkah, melengoskan wajah tanpa menjunjung sopan santun miliknya yang memang sudah krisis sejak lama.

Satu-satunya alasan dirinya pulang selarut ini disebabkan oleh adanya turnamen boxing yang diselenggarakan di dalam club malam cukup jauh dari rumahnya. Turnamen itu dibuka untuk umum. Kendati begitu, orang-orang yang bisa mendaftar dan menonton bukanlah sembarangan. Harus memiliki akses istimewa, seperti latar belakang orang kaya atau pun yang memang sudah pengalaman dan relasi orang penting di sana. Bukan hal sulit bagi Jean—kendati umurnya belum genap 17 tahun—mengikuti turnamen itu adalah hal yang sudah menjadi rutinitas dunia gelapnya.

"Gimana? Menang lagi lo?"

"Bacot."

Agak menabrakkan bahu satu sama lain, Jean terus berjalan. Mengabaikan pertanyaan cowok itu yang seolah sudah bisa menerka fakta bahwa kemenangan Jean bukanlah hal baru lagi.

Namun, pernyataan berikut dari sosok berambut cokelat dengan kaca mata bertengger apik di tulang hidung tinggi tersebut sontak hentikan Jean. Sosok itu berkata dalam satu tarikan napas begitu ringan, "Babu lo kena hukum ayah lagi."

Membeku tak sampak sepuluh detik bagi Jean untuk kembali berbalik, tatap lurus sosok sang kakak tertua—Arkan Harrish Deondra.

Seakan paham tatapan meminta konfirmasi lebih jelas dari sirat manik kelam adik bungsunya, gentian Arkan mendengus remeh. Satu nama meskipun dengan sebutan sangat istimewa bagi Jean tak pernah gagal menarik atensi tersendiri bagi dirinya.

"Ulangan harian matematikanya anjlok lagi. Nara dihukum dikunci di kamar basement tanpa makan." Cowok lebih tua dua tahun itu menggendikkan bahu, kaos putih polos lengan pendek menonjolkan urat-urat di lengan, mengimbangi Jean dalam segi kesempurnaan fisik, lalu Arkan menambahkan, seiring mata mengawasi, menikmati keseruan tersendiri perubahan ekspresi samar Jean yang andal adiknya itu sembunyikan, "Kata ayah hukumannya tiga hari. Oh, ya, sebelumnya tiga puluh cambukan di punggung,"

Terlalu aneh sebenarnya Arkan menceritakan ulang kejadian buruk itu pada Jean terlebih gurat emosi tanpa belas kasihan tercetak di sana. Membicarakan penderitaan subjek yang tak lain dan tak bukan juga adalah adiknya sendiri. Pun kembaran beda lima menit darinya.

Ya, apa yang diharapkan? Sejak awal hubungan keluara di rumah ini rumit, mewujudkan keharmonisan ialah pelik, kendati kembar, dia tidak ingin disamakan sebab perbedaan dan kesempurnaan dirinya jelas jauh lebih di atas dan tak bisa ditampik.

Sejenak LukaWhere stories live. Discover now