20: Mungkin Masih Ada Harapan

467 72 16
                                    


"Makanan."

Elijah melempar bungkusan ke lantai, lalu menutup penjaranya lagi. Suara kunci yang diputar-putar dalam gembokan itu meninggalkan gema. Kemudian, tapak sepatu Elijah yang keras berderap menjauhi penjara. Tuk-tuk-tuk. Jika Hugo menghitung, jumlah langkahnya genap menuju pintu di ujung lorong. Ketika pria itu mendatangi penjaranya, langkahnya ganjil. Hanya tujuh. Padahal jaraknya cukup jauh. Menandakan pria itu mengambil langkah-langkah lebar seolah tidak sabar untuk menemuinya dan memberikan kabar buruk. Suatu hari nanti, suara derap sepatu yang sama akan menjadi pertanda bagi Hugo, bahwa hukuman matinya akan segera dilaksanakan.

Masih ada harapan, batin Hugo.

Hugo Bashville mengambil bungkusan tersebut seraya mengucapkan terima kasih. Kepada Elijah, walau dia sudah lama berlalu dari hadapannya. Kepada langit, karena masih berbaik hati memberinya makanan. Saat membuka bungkusannya, Hugo tersenyum penuh syukur. Setidaknya dia tidak diberikan roti berjamur. Hari ini Elijah memberikan sepotong kecil kentang kukus dan serabut daging lembu.

Sesekali, Hugo menatap jeruji besinya dengan penuh harap. Ini sudah tujuh hari setelah kesepakatannya dengan wanita bernama Claretta itu. Dia sudah melakukan pendaftaran peninjauan ulang untuk kasusnya. Jadwalnya belum keluar, tapi mungkin masih ada waktu dua minggu lagi. Hugo tidak tahu siapa wanita itu, tapi dia benar-benar bersyukur bahwa masih ada orang yang memercayainya selain Fay.

"Mungkin suratnya akan sampai sebentar lagi," gumam Hugo, masih tidak kehilangan semangatnya.

Pasti ada penundaan jadwal pengiriman. Dia menyayangkan Dinding Surga tidak semodern Perserikatan Negara. Di sana, semua orang memiliki ponsel dan komputer. Di tempat ini alat komunikasi elektronik tidak begitu digemari karena harganya yang setinggi langit. Hanya para bangsawan yang biasanya memilikinya. Andai saja mereka punya ponsel atau alat komunikasi secanggih di Perserikatan Negara, Hugo tidak akan menunggu dengan gelisah seperti ini karena pesannya akan sampai dalam beberapa detik.

Setiap lima menit sekali, Hugo akan mengintip ke celah jeruji, berharap Elijah akan mendatanginya untuk membawakan surat. Elijah sudah tahu apa isi suratnya, tentu saja. Hugo yang memberitahu bahwa dia sedang berkomunikasi dengan kuasa hukumnya. Elijah tidak berhak melarangnya. Didampingi oleh seorang pengacara merupakan hak mutlak bagi setiap terdakwa.

Beberapa jam kemudian terdengar suara pintu besi yang dibuka lagi, disusul suara derap sepatu yang melangkah di atas lantai batu dingin. Itu Elijah. Sipir itu kembali lagi! Ekspresi Hugo berangsur-angsur cerah. Dia menghampiri jeruji, melihat Elijah menghampirinya dengan satu amplop di tangannya. Melihat itu membuat harapan di hati Hugo melejit tinggi. Pria berkumis itu membuka gembok penjaranya, lalu mengizinkan Hugo keluar. Sesi baca surat harus dilakukan di meja khusus, dengan Elijah berdiri di belakangnya dan membaca satu per satu kalimat di dalamnya tanpa ditutupi. Senyum Hugo berkembang tatkala melihat nama Claretta di sana. Dia buru-buru mengeluarkan kertas di dalamnya dan membaca.

Senyumnya serta-merta padam.

Rasanya seperti Hugo baru saja dijatuhkan dari ketinggian dan mati.

Tangannya gemetar. Dia baru menyadari simbol kerajaan di pojok kanan atas suratnya. Surat ini adalah berita buruk untuk Hugo. Benar-benar buruk. Bahkan dia bisa merasakan malaikat maut sudah menunggunya di sudut ruangan.

"Kau—" Elijah merebut surat itu dan membacanya lagi. Wajahnya ikut memucat. Sejurus kemudian, dia memukul meja di samping Hugo dan menunjuk wajahnya. "Kau meminta bantuan dari selir Kaisar? Apa kau sudah kehilangan akal?!"

Hugo menggelengkan kepalanya cepat. "Saya berani bersumpah saya tidak tau!"

"Pakai otakmu, dasar bodoh!"

The Dawn Within Heaven (Versi Revisi)Where stories live. Discover now