DuaPuluhTiga

101 21 9
                                    



Sabtu, 18 Februari 2023

🍇🍇🍇

Selamat Membaca 🌻

Setelah beberapa waktu di habiskan untuk makan dengan tenang. Suasana tempat yang seperti sebuah restoran itu kembali ramai orang-orang berbincang.

"Karena ini hari pertama mu datang kemari, kau bisa katakan apa alasan mu ada disini dan meminta perlindungan." perkataan itu berasal dari seorang laki-laki, yang terlihat sudah begitu tua.

"Di adalah orang yang membuat desa ini." ujar Niken ke Irfan.

"Hei, bagaimana jika kau ketahuan sebelum berhasil membawa Marapati Argamana. Ini di luar dugaan, jangan katakan apapun." tutur Nanda ke Irfan.

Irfan berdehem dan mencoba untuk membenarkan posisi duduknya. Laki-laki itu cukup tertekan, ketika melihat semuanya fokus melihatnya.

"Aku--- aku--"

Irfan kesulitan untuk berbicara, laki-laki itu tertunduk. "Habislah riwayat kita." ujar Dikas.

"Aku tidak memiliki keluarga. Aku bahkan tidak tau siapa sebenarnya aku." ujar Irfan.

"Kau kehilangan identitas?"

"Aku bahkan tidak pernah memiliki identitas yang pasti dalam hidup ku, siapa nama awal ku dan dimana aku dilahirkan."

"Irfan sepertinya benar-benar pandai berakting."

"Kerja bagus."

Bagas terus diam dan tidak mengatakan apapun. Dikas dan Nanda terus saja berbicara di setiap saat.

"Lalu nama Irfan?" tanya Niken.

"Duduklah sedikit miring. Agar bisa melihat jelas wajah Marapati Argamana."

Irfan merubah posisi duduknya seperti yang di perintahkan dan laki-laki itu kembali mencoba untuk berbicara.

"Bukan nama ku. Aku tumbuh di panti asuhan kecil, di pedesaan. Sebuah panti asuhan yang tidak mendapatkan banyak dukungan. Kami hidup apa adanya dan berusaha untuk bekerja keras di usia muda untuk saling membantu kehidupan panti asuhan. Kami tidak pernah di daftarkan ke sensus penduduk, jadi kami semua yang berada di dalam ruang lingkup panti asuhan tidak memiliki identitas pasti dan kami semua hanya memilik satu kata nama dan tidak lebih. Tapi, di saat aku berusia 7-8 tahun, aku di culik dan dibawa oleh penculik yang ternyata tidak jahat,"

"Mereka meminta ku untuk memanggil sepasang suami istri itu dengan sebutan Ibu dan Ayah. Aku menurut dan kami hidup bahagia meski di sebuah desa tanpa adanya akses pendidikan. Mereka tidak pernah menyekolahkan ku karena mungkin mereka adalah seorang penculik dan aku ada korban penculikan itu sendiri. Aku tidak memiliki teman, karena di desa itu semuanya tertutup. Pada akhirnya di saat aku berusia 18 tahun,"

Irfan bercerita dengan baik dan di dengarkan dengan baik oleh beberapa orang yang duduk di meja yang sama dengannya.

Bagas, Dikas dan Nanda diam menyimak apa yang di katakan Irfan.

Kembar Donde viven las historias. Descúbrelo ahora