Chapter 38

5K 377 8
                                    

Selamat membaca 🌵

"Maharnya berlebihan, Di, aku nggak mau," tolak Bellona saat Abdi menyebutkan mahar yang akan ia berikan kepada si cantik di depannya.

"Wajar segitu, Lona," kekeuh Abdi. Bellona tidak mau. Ia bukan perempuan seperti itu, Abdi keterlaluan jika memberikan mahar logam mulia 50 gram, satu set perhiasan berlian juga rumah mewah. Sembarangan amat pikir Bellona.

"Aku nggak butuh rumah mewah, kita tinggal di apartemen aja. Kita sadar kalau sibuk kerja nantinya, udah, deh, Di, yang nggak bikin mobilitas kita ribet bisa, 'kan?" Argumen Bellona hanya mendapat helaan napas panjang dari Abdi.

"Tuh, dengerin, ndak semua wanita suka diguyur kemewahan, Abdi," sambung Wulan. Ia meletakkan kue buatannya di hadapan Abdi dan Bellona, mereka sedang mampir berkunjung, sekaligus mengontrol Bima dan membahas tentang lamaran  yang akan dilangsungkan tak lama lagi.

"Jangan kebiasan, kasih hal materi ke perempuan, apalahi keluarga. Nanti jadi kebiasaan, ya, 'kan, Lona?" lirik Wulan.

"Iya, Bu. Abdi kayak nggak paham Lona. Anak Ibu ... aneh," cicit Bellona yang direspon tawa Wulan.

"Bukan aneh, hey ... aku cuma mau kasih yang terbaik untuk kamu, perempuan yang berhasil bikin aku jatuh cinta sampai menggila, kalau kamu mau tau." Abdi berdecak sebal.

"Masalahnya aku bukan yang butuh diguyur materi. Cukup kita saling cinta, setia, dukung, memahami hati ke hati, itu lebih dari duitmu yang nggak habis-habis sampai anak kita jadi dokter." Bellona balas mencibir. Abdi memepetkan duduknya ke Bellona, ia peluk dari samping. Menyandarkan kepala di bahu Bellona.

"Bu. Jodoh terbaik Abdi. Bahkan sampai udah mikir anak kita berdua jadi dokter." Abdi senyum-senyum sendiri. Ibu tertawa, lucu melihat putranya bahagia dengan tetap punya sisi manja kepada Bellona.

Bima datang, disambut anak istrinya yang baru selesai mandi sore. Bima tak sendiri, di belakangnya ada Bibi, Mbak Asih dan Pak Gun. Wulan berdiri, menyambut senang orang-orang yang sangat baik kepadanya. Tak canggung Wulan memeluk erat ketiganya.

"Bu Wulan apa kabar," tanya Asih dengan derai air mata.

"Baik, Asih. Kamu masih ayu, ih, anakmu udah berapa?" Wulan mengusap lengan Asih yang menceritkan dirinya.

Mereka semua duduk di ruang tengah apartemen besar itu, bibi, Mbak Asih dan Pak Gun, membawa beberapa barang yang membuat Wulan bingung.

"Ini Bu, kami ke sini karena maksa izin ke Bapak, udah lama Bu Wulan kembali ke sini tapi kami nggak bisa ketemu. Terus, Bapak malah titipin ini, katanya untuk Bu Wulan." Bibi menyerahkan kotak besar dengan brand ternama, lalu Mbak Asih bungkusan lain dan Pak Gun parsel buah ukuran besar.

"Cie ... sogokan dari mantan," goda Bima.

"Ayah tumben nggak kesini, katanya udah tiga hari ini suka ke sini, Bu?" sambung Abdi.

"Ayah ke Belanda, lagi ada pertemuan sama koleganya, seminggu di sana," sambung Bima.

"Lho, tauan elo, Bim. Gue yang sekantor nggak tau," heran Abdi.

"Kita lagi repot urus banyak hal, ya kantor, terus buat lamaran. Ayah ke kantor kita nggak sadar, Di." Bellona menjelaskan. Abdi hanya manggut-manggut.

"Buka, Bu," ujar istri Bima yang ikut penasaran. Wulan membuka kotak orange dengan label brand terkenal. Bellona dan para wanita lainnya bersorak kagum, tas mahal yang dibandrol belasan juta rupiah itu terlihat cantik. Lalu bungkusan lainnya, berisi sandal cantik merek ternama lainnya, seperti nama gentong terkenal yang di bandrol diatas lima juta.

His Alterego ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang