Chapter. 13

6K 485 9
                                    

Selamat membaca 🌵

Bellona menatap Abdi yang tersenyum sambil bersandar pada pintu juga bersedekap. Jas warna biru dongker yang ia kenakan, sengaja dilepas, ia himpit di lengannya menyisakan kemeja putih sebagai dalamannya.

"Why? Ada lucu sama penampilan saya? Baju kerja saya aneh?" tegur Bellona menunjuk ke dirinya sendiri.

"Nggak, cuma mau senyum-senyum aja. Udah siap?" Abdi memberikan kartu akses masuk ke unit apartemen tempat tinggal Bellona yang baru. Tiga koper besar sudah ia bawa dan diangkut Pak Gun serta OB kantor saat ia tiba di gedung apartemen itu kemudian lapor diri ke pengelola sesuai arahan Abdi.

"Yes, i'm ready, sir," jawabnya. Abdi menyingkir, ia membiarkan Bellona berdiri di depan pintu bertuliskan 3A. Unit A di lantai 3, maksudnya.

Bellona menempelkan kartu, lalu membuka gagang pintu. Ia dorong perlahan ke arah dalam lalu masuk.

"Waw ...," bisiknya lirih. Apartemen satu kamar tidur dengan kamar mandi di dalam, dapur kecil, ruang TV, meja kerja minimalis yang ada di sudut dekat pintu kaca mengarah ke balkon, sofa single panjang berbahan beludru halus warna coklat tua, membuat Bellona tersenyum sumringah.

"Pasti mahal, ya, Di?" Bellona menoleh.

"Gratis. Punya saya, kok." Abdi ikut masuk, ia mendorong koper milik Bellona yang kemudian gadis itu seret ke arah ruang TV.

"Viewnya menghadap ke depan gedung kantor, aksesnya gampang mau ke mana-mana. Saya tinggali nggak lama, enam bulan, waktu baru pulang dari Amerika."

"Biar saya aja, Di, kamu kenapa juga harus ikut dorong koper ini." Bellona meletakkan tas kerja di atas meja di depan sofa. "Kamu udah saya repotin terus."

"Nggak masalah. Bapak Ibu kamu gimana waktu tau anaknya mau keluar rumah?" Abdi sudah ingin tau sejak awal.

"Mereka udah berangkat kerja dan ke pusat grosir. Saya langsung pesan taksi dan ke sini. Biar mereka kalang kabut."

"Khawatir?" tanya Abdi.

"Nggak, sih. Paling ketakutan karena nggak ada yang dimintain uang ini itu setiap harinya." Bellona tersenyum miris. "Yuk, ke kantor. Pasti heboh di sana." Bellona berjalan lebih dulu, di susul Abdi yang memakai jasnya lagi sambil berjalan.

"Jangan lupa, kalau ditanya pacaran apa nggak, jawabnya, iya, ya." Abdi mengingatkan.

"Beres." Bellona menekan tombol lift. "Tuh, kan, hampir lupa. Semalam, saya dapat jawaban dari staf keuangan, dia awalnya agak ragu dan takut buat bantu, tapi setelah saya bilang kalau ini demi sehatnya perusahaan, dia mau bantu. Asal nama dia jangan dilibatkan kalau ada apa-apa."

Pintu lift terbuka, "ada apa emangnya, Lon?" Keduanya masuk lalu Abdi menekan tombol LG.

"Saya udah bilang ke kamu, kalau saya nggak akan setengah-setengah terlibat dimasalah ini karena kamu bayar saya gila-gilaan?" ucap Bellona.

"Iya. Lalu?" Abdi masih tak konek dengan maksud Bellona.

"Saya selidiki arus keuangan kantor. Saya libatkan Poppy, dia mahir sistem akutansi, setelah saya jelasin alasan saya kerja sama kamu. Dia jadi penasaran. Lalu ... staf keuangan ini akhirnya bocorin login sistem keuangan kantor. Abdi, kalau sampai dia ketahuan bocorin, atau jadi informan saya, dia bisa dapat ancaman."

"Lon, langsung aja. Apa yang kamu temuin," tatapan Abdi sudah berubah menyeramkan, alias ada amarah juga rasa penasaran terpancar.

"Saya jelasin di tempat lain, nggak di kantor, apartemen saya atau--"

"Di rumah saya. Maksudnya rumah Ayah, di sama aman," sela Abdi. Bellona setuju. "Setelah pulang kerja," lanjutnya. Bellona mengangguk.

***

His Alterego ✔Where stories live. Discover now