Chapter. 19

6.1K 471 11
                                    

Selamat membaca 🌵

Abdi berdiri sambil menoleh ke kanan dan kiri, sudah setengah jam ia di sana. Sesekali ia mondar mandir karena menunggu Bellona datang. Abdi mematut diri di pantulan kaca pintu masuk, lalu tersenyum sendiri.

"Di, sorry, lama. Tadi balas chat kenalan di Jepang, Osaka tepatnya. Dia tau Kakak saya di mana, tapi mau pastiin lagi besok," tukas Bellona sambil merapikan tatanan rambut panjangnya yang ia gerai.

Abdi tersenyum, ia meraih jemari tangan Bellona. "Filmnya udah mau mulai, first date bukannya nonton film romantis, kamu mintanya nonton  thriller," gerutu Abdi tapi tetap tersenyum tipis. Bellona menarik Abdi, lelaki itu berhenti melangkah.

"Beli popcorn dulu, dong, biar kayak di film-film kalau baru ngedate," ujar Bellona sambil tertawa pelan. Abdi mengangguk. Ia menyerahkan ke pacarnya, mau pesan apa terserah, jujur ini pertama kali ia nonton bioskop, biasanya kalau mau nonton di home theater rumah Sena atau di apartemennya, itu juga nggak ada camilan, biasa aja, pun sendirian pula.

"Kamu mau cola atau yang lain, Di?"

"Terserah kamu, Lon," jawabnya lalu memberikan kartu kredit ke tangan Bellona yang menerima dibarengi senyuman. "Pegang aja kartunya di kamu, aku masih ada lainnya."

"Sombongnya ... lupa ya, kalau udah miskin," goda Bellona yang mendapat tawa renyah Abdi lalu mengusap kepala Bellona.

Mereka masuk ke dalam theater dua, Abdi takjub melihatnya. Bibirnya ia dekatkan ke telinga Bellona saat keduanya sudah duduk. "Lon, pertama kali aku nonton bioskop, sorry kalau norak."

"Kamu itu pengusaha bioskop juga, beneran nggak pernah nonton? Bohong banget," lirih Bellona tak percaya.

"Beneran. Setiap peresmian di mal, saya nggak pernah mau datang, malas, biar Ayah aja. Lagian nama dia yang dipakai." Abdi menatap sekitar, Bellona hanya tertawa pelan.

Film dimulai, Bellona fokus, bahkan saking seriusnya saat Abdi menatap dirinya dari samping ia tak sadar. Abdi, bukannya menatap ke layar besar di hadapan, malah menatap Bellona terus. Lebih seru kayaknya.

Ia mendadak mengulum senyum, jemari tangan kiri Bellona digenggam erat lagi, hatinya berbunga-bunga, seperti remaja kasmaran.

"Di," panggil Bellona.

"Ya," tolehnya.

"Menurut kamu, Eva beneran mau cerai sama Ayah kamu?"

Abdi mendengkus, bisa-bisanya Bellona membahas hal itu.

"Nggak bakal. Eva bukan tipe yang mau hidup susah, dia pasti bertahan sama Ayah."

Kepala Bellona menoleh ke Abdi. "Cie, tau banget tentang mantan," ledeknya. Abdi tersenyum lalu memakan popcorn yang sudah habis setengah.

Selesai nonton, Abdi mengajak Bellona ke departemen store, lelaki itu ingin membelikan sesuatu untuk kekasihnya. Tadinya mau masuk ke toko bermerek ternama, tapi ia yakin Bellona pasti menolak.

"Pilih satu, Lon, hadiah dari aku," tukas Abdi dengan bangga menghadapkan tubuh Bellona ke tempat tas-tas mahal terpajang.

"Nggak, ah, tasku masih bagus. Kamu bukannya butuh kemeja, ya, kita ke sana aja, ayo!" ajak Bellona sambil menarik tangan Abdi yang kesal. Sungguh langka perempuan seperti Bellona.

Abdi, semenjak tinggal di apartemen kecil dengan satu kamar, tak membawa banyak pakaian. Ia melarang bibi bahkan Asih mengantar pakaian mahal miliknya. Ia ingin mengubah penampilan.

"Ukuran badan kamu apa?" Bellona meraih kemeja kerja merek ternama, ia tempelkan ke badan Abdi. "Oh ... L tapi yang slim fit, ya, bentar aku cari," kata Bellona.

His Alterego ✔Where stories live. Discover now