Chapter. 33

4.9K 390 7
                                    

Selamat membaca 🌵

Makan siang dihidangkan bude dengan menu sederhana, padahal jika bude mau menyewa koki hotel bintang lima sekalipun jelas bisa, nyatanya tidak ia lakukan. Bellona pun menyadari kesederhanaan semua orang walaupun jelas mereka orang kaya raya.

Lambat laun, semakin menjelang sore, rumah itu ramai. Semua keluarga berkumpul termasuk keponakan, sepupu, hingga cucu-cucu. Monita dan Abdi menjadi saksi bagaimana bahagia juga haru mereka semua menyambut Bellona atau Fatiya.

"Akta lahirmu dipegang Pakde, masih lengkap, ini, Nak," ujar pakdenya. Bellona membaca kertas berlaminating itu. Namanya tertulis, Fatiya Dahayu Setyoaji. Nama yang terdengar ningrat.

"Jangan khawatir, kami tetap akan panggil kamu Bellona, tapi nanti saat menikah, Abdi sebutnya nama ini, ya, Nak Abdi," ujar pakde sembari menoleh ke Abdi yang mengangguk.

Monita berdeham, ia menyenggol kaki Abdi lalu melirik seperti memberi kode.

Abdi membenarkan posisi duduknya menjadi lebih tegap. Sepupu Bellona dan para keponakan yang masih anak kecil duduk di alas karpet ruang tamu besar itu.

"Bude ... Pakde, karena semua sudah berkumpul, saya ingin berbicara secara langsung ... kali ini tentang niatan saya melamar Bel-- mmm ... Fatiya."

Bellona aneh saat Abdi menyebut dirinya Fatiya, tapi ya sudahlah, memang itu nama aslinya.

Kedua mata cantik Bellona beradu tatap dengan Abdi yang kini tersenyum menatapnya.

"Saya Abdinegoro Byakta, ingin sekali melamar keponakan Bude dan Pakde semua, untuk menjadi ...." Abdi diam, kedua matanya kembali berserobok dengan manik mata Bellona yang mulai mengembun. "Untuk menikah dengan saya, menjadi bagian terpenting hidup dan hati saya selamanya."

Bude menggenggam jemari tangan Bellona erat. Ia tersenyum lebar.

"Saya, Abdi, sudah mengenal Bellona beberapa bulan ini dan keyakinan saya ini muncul karena memang saya yang Bellona butuhkan di dalam hidup saya. Usia saya juga sudah matang untuk berumah tangga, pun Bellona. Mengenai pekerjaan, saya sendiri--"

"Kami sudah tau, Nak Abdi, siapa kamu. Bellona tadi di kamar sudah bicara dengan kami, Kakak-kakak Ibunya. Kamu bukan anak yang memanfaatkan kekayaan orang tua juga, kami juga yakin Bellona memilihmu bukan asal pilih, kami merestui, kapan keluargamu datang melamar secara resmi, kami semua tunggu di sini." Pakde menyela.

Abdi merasa lega, Bellona menghapus air mata yang jatuh membasahi pipi dengan tisu yang diberikan kakak sepupunya.

"Jujur, keluarga besar saya belum tau tentang hal ini, karena saya masih harus menyelesaikan, meluruskan tepatnya masalah keluarga saya juga. Saya minta waktu sedikit lagi sebelum hari besar kami tiba."

Tutur bahasa Abdi begitu tertata, ia menjaga sekali karena berhadapan dengan keluarga yang baik.

"Kami paham, kalau begitu, selesaikan dan cepat ajak keluargamu kemari, rumah ini akan menerima kalian semua. Terima kasih, Nak Abdi tidak berlama-lama pacaran dengan Bellona, lebih cepat lebih baik, toh. Kayaknya kamu yang kepingin sekali meminang Bellona," goda pakde.

"Betul sekali Pakde, sepupu saya ini, akhirnya menemukan cintanya. Abdi dan Bellona sama-sama menderita karena tekanan keluarga dan saya sejak kecil menjaga juga menjadi saksi mata apa yang adik sepupu saya ini rasakan." Monita menggenggam jemari tangan Abdi yang terasa dingin, baru kali ini ia melihat Abdi serius saat bicara dengan kata-kata yang muncul dari dalam hati.

Semua orang tersenyum bahagia setelah pembicaraan perihal melamar Bellona selesai. Mereka bertiga pamit pulang, Bellona dan Abdi naik kereta selepas magrib, di Jakarta nanti dijemput Pak Gun. Setelah berpamitan, Bellona diberikan album foto lawas milik ibu kandungnya, ia masukkan ke dalam tas yang dibawanya, nanti akan ia lihat saat di kereta.

His Alterego ✔Where stories live. Discover now