"Tumben," celetuk Gani mengangkat sebelah alisnya menatap Azof.

Azof bedecak sebal. Mentang-mentang dia terkenal paling brutal dari yang lainnya, dia jadi tidak bisa ngelakuin kebaikan. Bisa lah, dia juga sedang berusaha memperbaiki diri. Dia sangat termotivasi dengan Ravindra. Ya walaupun sikap brutal, dan emosian Azof sulit untuk dihilangkan.

"Gua juga sedang usaha ya. Walaupun masih suka bolos sekolah, balap liar..."

"Ekhem!" Deheman Ravindra membuat Azof menghentikan ucapannya.

"Terpenting lo jangan maksiat! Bolos sekolah juga ga usah sering-sering. Balap liar jangan terlalu ambisius," ucap Ravindra memberikan nasehat kepada Azof. Mungkin ini ucapan sudah kesekian kalinya, tapi Ravindra tak bosan-bosan memberikan nasehat, pengarahan, dan masukkan ke pada teman-temannya juga anggotanya.

"Siap!" Seru Azof memberikan hormat kepada Ravindra.

***

Terlihat air danau yang sangat tenang di sana, tidak ada ombak yang menerpa. Hanyalah sebuah danau yang tergenang air jenih di dalamnya. Sesekali bergerak karena hembusan angin atau jatuhnya dedaunan dari beberapa pohon yang ditanam di pinggir danau.

Ravindra sedang duduk di kursi tepat di tepi danau. Angin sejuk sore menerap wajahnya. Mata sendu itu menatap ke arah danau. Jiwanya sedang mencari kedamaian di sini.

"Pa," lirih Ravindra. Entah mengapa dia teringat sosok laki-laki yang mengajarkan dia kuat saat masih kecil dahulu. Namun setelah beranjak dewasa, laki-laki itu yang telah menguji kuat tidaknya pertahanan Ravindra.

Mata sendu dari Ravindra sudah berkaca-kaca. Tepat di hari ini usia tujuh belas tahun itu memasuki level selanjutnya dari kehidupan. Beranjak menaiki tangga yang selanjutnya. Tepat di hari ini angka tujuh berganti menjadi angka delapan. Ya hari ini Ravindra berulang tahun. Usinya menjadi delapan belas tahun.

Di hari ini adalah ulang tahun pertamanya tanpa seorang ayah di sampingnya. Mungkin, takdir hanya menginginkan Ravindra bersama papanya selama tujuh belas tahun, itu pun salama tujuh tahun dia tidak merasakan sosok ayah yang tulus dahulu. Tujuh tahun, raga ayahnya masih berada di dekatnya, namun dia telah kehilangan hati tulus itu. Dan sekarang, dia telah kehilangan keduanya, ketulusan serta raga ayahnya. Entalah, dimana papanya setelah bercerai dengan mamanya.

Dari ujung sana, ada seorang wanita yang sedang mengendarai sepedanya. Dia adalah Annora, wanita yang berhasil mengukir senyuman di wajah Ravindra. Saat dia melihat sosok laki-laki yang ia kenal, lalu dia mengayukan sepedanya menunju laki-laki itu, Ravindra.

Saat tiba di dekat Ravindra. Annora mengulas senyumannya sekilas, dia menatap punggung Ravindra. Annora turun dari sepedanya, lalu mendekati Ravindra.

"Assalamu'alaikum," ucap Annora. Ravindra spontan melirik ke arah Annora.

"Wa'alaikumussalam," balas Ravindra dengan seulas senyum.

Ravindra bergeser sedikit, agar Annora bisa duduk di sebelahnya. Ravindra menatap Annora dan mengisyaratkan agar Annora duduk di sebelahnya. Annora tersenyum dan mengangguk, lalu ia duduk di sebelah Ravindra.

Annora menatap wajah Ravindra hari ini yang kelihatan sangat sedih. Pertama kali dia melihat ekspresi sedih Ravindra setelah sepuluh hari lebih Ravindra masuk ke Madrasah.

"Ada masalah?" Tanya Annora yang membuka suara.

"Enggak," jawab Ravindra dengan nada yang pelan juga suara yang terdengar serak.

"Cerita aja."

Ravindra melihat ke arah Annora. Ingin sekali Ravindra mengutarakannya. Tapi, dia sungkan sekali untuk mengungkapkan apa yang berada di dalam hatinya.

Annora diam dan menunggu jawaban Ravindra. Namun, tidak ada jawaban dari Ravindra. Akhirnya anora mengulas senyumnya menatap Ravindra.

"Oh iya nama kamu siapa? Aku lupa soalnya. Di kelas kamu suka di panggil Indra. Maaf lah, aku terlihat terlalu cuek di kelas."

"Ravindra Natharrazka Zae-" ucapan Ravindra terhenti ketikan ingin menyebutkan nama papanya di belakang namanya.

"Zae?" Annora mengangkat alisnya menatap Ravindra.

"Zaedyn," jawab Ravindra yang mengalihkan tatapannya ke arah danau. Matanya sudah berkaca-kaca sekarang.

"Siapa? Ayah?" Tanya Annora, hal itu mampu membuat bening air jatuh mengalir di pipi Ravindra. Sial! Ravindra si paling sangar dengan tatapan mautnya, hari ini menjatuhkan air mata di hadapan seorang wanita.

Annora melihat air bening yang membasahi pipi Ravindra, mengulum bibirnya. Apakah Annora telah salah bicara? Apakah Ravindra telah kehilangan sosok ayahnya? Annora pun segera menepuk pelan bibirnya.

Annora ingin sekali menghapus air mata itu, tapi tidak bisa dia lakukan. Ravindra haram baginya untuk ia sentuh sekarang. Annora lalu teringat dia membawa sapu tangan. Annora merogoh sakunya dan mengeluarkan sapu tangan mini dari sakunya. Setelah itu dia memberikan sapu tangan tersebut kepada Ravindra. Ravindra melirik sapu tangan itu dan menatap sejenak Annora. Annora tersenyum seraya mengisyaratkan Ravindra untuk mengambil sapu tangan miliknya. Akhirnya, tangan Ravindra terangkat mengambil sapu tangan tersebut.

"Hapus air matanya, baru cerita. Curahkan semuanya sama aku. Aku siap dengarin kok, memasang telinga untuk kamu."

"Jika kamu ragu untuk menceritakannya karena kamu baru mengenali aku. Tolong hilangkan keraguan kamu."

"Anggap aku adalah cahaya yang dikirim tuhan untuk mu, yang siap menerangi langkah kamu lagi. Yang siap menerangi kamu, di saat kegelapan menghampiri mu."

"Anggap sekarang aku adalah sosok sahabat kamu. Sosok sahabat yang siap mendengarkan curahan hati sahabatnya, yaitu kamu Ravindra."

Pertama kalinya Annora berbicara setulus ini kepada seorang laki-laki. Ravindra adalah laki-laki perdana yang mendengar untaian-untain manis nan tulus dari Annora. Annora juga selama ini tidak pernah berbicara setulus ini kepada laki-laki lainnya yang bukan mahram baginya. Entah kenapa, untuk Ravindra, hati Annora tergerak.

🌺🌺🌺

Tipis-tipis dulu ya😇

Maaf update malam-malam hehe:v

Jangan lupa votenya

See you next part 🥰

Annora Untuk Ravindra [End]Where stories live. Discover now