73. Wanita Asing

47 7 0
                                    

“Di sini tempatnya?“

Mobil yang Dito kendarai berhenti di parkiran sebuah rumah makan. Pemuda itu menoleh ke arah Olivia yang duduk di kursi penumpang, bertanya mengenai tujuan mereka saat ini.

“Iya, Dit. Ayo masuk!“

Olivia menganggukkan kepalanya, kemudian membuka pintu mobil dan keluar. Keduanya berjalan memasuki rumah makan itu. Menaiki tangga, keduanya sampai di lantai atas. Di sudut tempat itu, Olivia melambaikan tangannya ke arah seorang gadis kecil dan perempuan yang duduk lesehan di sana.

Tangannya menggapai tangan Dito yang masih celingak-celinguk mencari keberadaan kedua orang itu. “Mereka di sana, Dit.“

“Kak Oliv!“

Senyum Olivia mengembang sempurna. Alana, gadis kecil yang baru saja menyerukan namanya itu berhambur ke pelukannya. Wajah Alana terlihat sangat ceria begitu Olivia dan Dito datang.

“Kok jahat banget yang dipeluk cuma Kak Oliv?“ celetuk Dito ketika sudah mendudukkan dirinya. Dia bersikap seolah-olah tengah merajuk ke Alana.  Di depannya, Amanda yang tadi melakukan bimbingan belajar terhadap Alana tersenyum menyambut Dito.

“Aku lebih kangen sama Kak Oliv dari pada sama Kak Dito,” sahutnya jujur.

Olivia dan Amanda tertawa, berbeda dengan Dito yang menatap Alana dengan pandangan sok marah.

“Alana udah makan belum?“ Olivia bertanya kepada gadis kecil itu, dengan tangan yang mengusap rambutnya penuh kasih sayang.

“Cuma makan kentang goreng, Kak Oliv. Habis ini aku mau pulang, kata Kak Dito mau diajak ke rumah Kak Eca, makan malem sama-sama,” ucapnya lagi.

Memang benar, saat ini Papanya dan Mama tiri Dito tengah berada di rumah keluarga Eca. Dito ditugaskan untuk menjemput Alana. Olivia yang kebetulan juga ingin bertemu Amanda akhirnya memilih untuk berangkat dengan Dito.

“Ya udah. Salim dulu sama Kak Oliv sama Kak Amanda! Kita pulang,” perintah Dito mengajari Alana.

“Kak Oliv nggak apa-apa aku tinggal?“ tanya Alana menoleh ke Olivia. Perempuan itu tertawa kecil, sangat gemas dengan Alana.

“Nggak apa-apa, Sayang! Jangan lupa nanti makan yang banyak, ya! Biar cepet besar!“ pesan Olivia.

Alana membalasnya dengan anggukan. Gadis kecil itu menyalami tangan Olivia seperti yang Dito perintahkan, kemudian berlanjut ke Amanda.

“Ms. Amanda, jagain Kak Oliv, ya! Nanti kalau Kak Oliv nangis, Kak Dito bakal sedih,” pintanya penuh harap.

Amanda menahan senyum, dia mengiyakan permintaan Alana. “Iya, Al. Kak Oliv bakal aman sama Ms. Amanda!“

“Dah, Ms. Amanda. Dah, Kak Olivia!“

Alana melambaikan tangannya, bersiap pergi dari sana.

“Bentar, Al!“ seru Dito kemudian menatap Amanda dengan serius.

“Kak, nanti pulangnya jangan malam-malam, ya! Terus jangan nongkrong ke tempat yang aneh-aneh kayak waktu itu! Awas aja kalau macem-macem,” pesan Dito dengan tatapan mengintimidasi.

“Tenang, Dit! Pacar lo aman sama gue,” sahut Amanda mengacungkan ibu jarinya. Dito tersenyum puas dengan anggukan kecil, selanjutnya dia mengalihkan pandangannya ke arah Olivia.

“Nanti kalau udah sampai di rumah kabarin aku, ya!“

“Iya, buru pergi! Kasihan Alana!“

Dito mengerlingkan sebelah matanya cepat. Dia bangkit, lalu menggandeng tangan Alana. “Aku pergi, Liv. Kak Aman, janga lupa pesen gue, ya!“

“Serius pacar lo manggil gue Aman?“

Amanda menatap penuh rasa takjub ke arah Dito yang menuruni tangga dengan menggandeng tangan Alana. Perempuan itu berpaling ke arah Olivia yang tertawa puas. Dan tentu saja, dia tak terima dengan apa yang kekasih sahabatnya itu lakukan.

“Parah lo, Liv! Pencemaran nama baik itu namanya,” protesnya yang tak berefek apa-apa bagi Olivia.

“Nama lo nggak tercemar, Man. Aman itu bagus loh artinya, bagian mana yang tercemar?“

“Ah, sialan!“ makinya yang semakin membuat Olivia tertawa.

“Udah, Man. Santai aja! Btw ini kita mana ke mana? Tumben banget ngajak gue keluar,” tanya Olivia setelah menyelesaikan tawanya.

Amanda tak mengatakan tujuan mereka sebelumnya, dia hanya berkata ingin mengajak Olivia pergi sebentar.

“Nggak, kita ngobrol aja. Gue kangen sama lo,” jawabnya yang sontak membuat Olivia berdecih.

“Alay!“ sinisnya.

“Nih, minum dulu! Gue pesenin jus mangga kesukaan lo.“ Amanda menggeser gelas dengan air berwarna orange tersebut ke Olivia.

“Menurut lo gimana kalau gue bilang mau nikah?“

Olivia yang hendak menyedot minumannya berhenti. Dia menatap Amanda dengan terkejut. Apa katanya tadi? Menikah?

“Serius lo mau nikah?“ celetuknya heboh.

“Enggak, Liv. Gue belum nerima, belum ketemu juga. Papa gue pengin ngenalin gue sama anak temennya, tapi gue belum bilang iya, gue bingung banget,” jelas Amanda.

“Loh, kenapa nggak coba dulu aja, Manda? Kenapa bingung, sih? Ganteng nggak orangnya? Kerjanya apa? Umurnya berapa?“ cerca Olivia tak sabaran.

Dia telah berteman dengan Amanda lama, selama itu Amanda belum pernah benar-benar menjalin hubungan dengan seseorang lelaki. Paling mentok, hubungan mereka hanya sampai pada tahap PDKT. Amanda selalu memilih-milih lelaki untuk dia ajak menjalin hubungan. Mendengar Papa Amanda akan mengenalkan seorang lelaki, tentu saja Olivia sangat bersemangat.

“Masalahnya terletak pada umur, Liv,” beri tahu Amanda.

“Kenapa? Udah tua, ya? Om-om?“

“Umurnya 18 tahun, beda 3 tahun sama gue. Kayaknya sepantaran sama pacar lo. Dia santri, Liv. Sekarang dia ngurusin pesantren punya Ayahnya,” terangnya lagi.

“Ya enggak apa-apa, dong, Man. Why not? Saran gue, lo kenalan dulu. Jarang-jarang dapet cowok alim gitu,” saran Olivia mendukung penuh sahabatnya.

“Tapi gue minder,” aku Amanda.

“Minder kenapa? Karena dia ahli surga, lo ahli neraka?“ Olivia bertanya tak sopan.

Amanda mendengkus. “Gue tahu kalau gue ahli neraka, Liv. Tapi nggak perlu lo jelasin juga, kan?“

“Dengerin gue, Manda! Lo harus coba. Siapa tahu dia emang jodoh lo? Seenggaknya, kalau lo udah coba, lo nggak bakal nyesel,” kata Olivia meyakinkan.

“Terus lagi, lo pernah bilang ke gue pengin hijrah, kan? Lo mau pakai hijab tapi lingkungan lo nggak ngedukung, lo malu lah, minder lah, nggak pede. Bisa aja ini jalan buat lo hijrah, Manda. Bayangin punya suami ustadz! Itu sebuah anugerah! Coba aja dulu, ya?“ lanjutnya kemudian.

Amanda memandangi Olivia yang begitu bersemangat dan menggebu-gebu. Sahabatnya itu tampak yakin, akhirnya dia mengangguk.

“Okay, gue bakal coba.“

“Alhamdulilah. Kalau gitu, gue mau ke toilet bentar. Sambil pesen makan, lo mau apa?“ Olivia bersiap bangkit.

“Terserah lo, gue ngikut, lo udah tahu selera gue,” jawab Amanda.

Olivia kemudian bangkit. Perempuan itu menuruni tangga untuk sampai di lantai satu rumah makan. Ketika dia berjalan ke arah kasir untuk memesan makanan, matanya tak sengaja menangkap seorang pria yang sangat dia kenal. Bersama dengan seorang wanita asing yang belum pernah dia lihat. Keduanya berjalan memasuki rumah makan itu.

Perempuan itu menghentikan langkahnya, dia bersembunyi di balik pilar agar tak ketahuan. Memperhatikan dari kejauhan, Olivia dapat melihat dengan jelas interaksi keduanya. Mereka terlihat sangat dekat. Melihatnya, Olivia memikirkan banyak hal negatif di kepalanya.

“Papa sama siapa?“

Berondong Lovers Where stories live. Discover now