13. Perhatian

115 14 0
                                    

Malam kian larut, bersamaan dengan hujan yang tak kunjung surut. Kedua insan berbeda usia itu tengah duduk di sofa yang menghadap langsung ke arah balkon. Pintu balkon yang tertutup membuat udara dingin dari luar tak bisa merambat sampai ke dalam. Alana, gadis kecil yang sebelumnya mengeluh mengantuk itu sudah tertidur pulas di ranjang empuk milik Olivia.

"Makasih ya, Buk," ungkap Dito menolehkan kepalanya ke arah Olivia. Mereka sudah duduk di sana hampir satu jam, namun tak ada obrolan berarti yang telah mereka lakukan. Keduanya lebih sering memainkan ponsel, terlalu canggung untuk memulai pembicaraan yang lebih santai.

"Kamu udah bilang empat kali kayaknya, Dit." Olivia terkekeh, membalas tatapan Dito. Benar, sudah empat kali Dito mengungkapkan rasa terima kasihnya. Pemuda itu sama sepertinya yang tak bisa menemukan topik pembicaraan untuk dibahas.

"Saya bingung mau ngomong apa," kata Dito menggaruk kepalanya.

"Kamu udah ngabarin orang rumah? Kasihan kalau orang tua kalian nyariin."

Dito terdiam mendengar penuturan Olivia. Tanpa suara, dia mengambil ponselnya. Hanya melihat, tanpa membukanya. Dito ragu untuk mengabari Papanya. Sampai layar ponselnya menyala, yang menampilkan panggilan masuk dari Nadia, membuat jarinya secara otomatis tergerak untuk menjawab panggilan itu. Dito segera mendekatkan ponsel itu ke telinganya.

"Ya," ucap Dito sangat singkat. Dia sudah tahu bahwa Nadia akan menanyakan tentang keberadaan Alana.

"Kamu di mana, Sayang? Udah malam," sahut Nadia di seberang sana.

"Lagi hujan. Ini di rumah teman," terang Dito jujur.

"Mau dijemput nggak? Kasihan Alana, pasti udah ngantuk."

"Nggak perlu. Alana udah tidur, jangan khawatir!" Dito mengakhiri panggilan telefon mereka. Lalu tangannya bergerak untuk memotret Alana yang tertidur di atas ranjang, mengirimkannya kepada Nadia agar tak terlalu khawatir pada Alana. Seharusnya, dengan foto yang dia kirimkan, Nadia tak lagi khawatir. Foto itu sudah bisa menunjukkan mengenai keadaan Alana yang baik-baik saja.

"Mama kamu?" tanya Olivia yang tadi sempat mendengar dengan samar suara seorang perempuan. Dito menoleh ke Olivia ketika mendengar pertanyaannya.

"Bukan, Buk," balasnya menggeleng. Raut wajah Dito yang berubah masam membuat Olivia tak ingin bertanya lebih. Padahal, dia sangat penasaran. Namun, Olivia mencoba mengendalikan dirinya demi kenyamanan Dito.

"Bu Oliv udah ngantuk, ya?" Melihat mata Olivia yang memerah dan sesekali menguap, Dito bertanya pada perempuan itu.

"Sedikit, tapi nggak apa-apa," balasnya tersenyum.

"Tidur aja, Buk! Nanti kalau udah reda saya bawa Alana pulang," titah Dito.

"Eh, nggak usah! Kamu sama Alana tidur di sini aja sampai besok. Udah malam, kasihan adik kamu," larang Olivia merasa khawatir dengan Alana, juga Dito.

"Saya nggak enak, Buk," ungkap Dito jujur.

"Nggak apa-apa. Saya nggak keberatan sedikit pun, kok."

Dito tersenyum penuh arti ke Olivia. Selain cantik, Olivia juga sangat baik hati. Tak salah memang jika Dito jatuh cinta pada sosok Olivia.

"Makasih, Buk."

"Udah kelima kalinya, Dit. Lucu banget," cibir Olivia tertawa.

Dan melihat tawa yang Olivia perlihatkan, perasaan Dito berbunga-bunga. Olivia bisa membuatnya bahagia hanya dengan menampilkan senyum manis seperti itu.

"Bu Oliv cantik kalau ketawa kayak gini," tuturnya yang membuat Olivia menghentikan tawanya.

"Apaan sih, kamu, Dit? Oh, iya ... kamu mau saya siapin kamar?"

Dito menggeleng. "Nggak usah, Buk. Saya bisa tidur di sofa sini. Kalau Bu Oliv takut saya macem-macem, saya bisa tidur di ruang tamu, kok." Dito menolak dengan halus. Tak ingin membuat Olivia tersinggung karena penolakannya. Dia juga tak enak jika Olivia harus bersusah payah menyiapkan kamar untuknya. Padahal, diizinkan untuk menginap saja Dito sudah sangat berterima kasih.

"Nggak, saya nggak apa-apa kamu tidur di sofa. Tapi, beneran kamu nggak mau saya siapin kamar aja?"

Kembali, Dito menggeleng, kali ini dengan senyum kecil menghiasi bibirnya. Dan mereka kembali terdiam, tak tahu lagi harus berbicara apa.

"Buk."

Yang paling tak betah adalah Dito, dia kembali memanggil Olivia.

"Kenapa?" balas Olivia menatap Dito penuh tanya.

"Besok hari Senin," ungkap Dito. Olivia menatapnya dengan pandangan bingung. Tak mengerti dengan maksud ucapan Dito.

"Iya, terus?"

"Kita ketemu lagi besok, Bu Oliv ngajar di kelas saya." Dito tersenyum penuh arti.

"Kamu itu memang nggak jelas, Dit," cibir Olivia.

"Udah, saya mau ngegame bentar."

Ponsel yang tadi sempat dia masukkan ke dalam kantung jaket, kini dia ambil. Pemuda itu membuka salah satu game online di ponselnya. Berniat mengusir rasa bosan yang sekarang bersarang. Lagi pula, dia sama sekali belum ngantuk.

"Jangan deket-deket! Kasihan mata kamu!" tegur Olivia ketika Dito memegang ponselnya terlalu dekat dengan wajah. Atas teguran Olivia, akhirnya Dito menjauhkan ponselnya. Lalu tersenyum lebar ke perempuan di sampingnya itu.

"Maaf, Bu Oliv."

"Udah! Saya juga mau baca buku."

Dito mengangguk, membiarkan Olivia larut dalam dunia di dalam buku novel yang baru saja dia ambil. Sementara itu, dirinya kembali menyibukkan diri dengan game di ponselnya.

Dan tak terasa, satu jam berlalu. Dito mematikan ponselnya karena matanya sudah lelah. Pemuda itu menoleh, lalu mendapati Olivia yang sudah tertidur dengan posisi duduk. Kepala perempuan itu bersandar pada sandaran sofa, tampak sekali posisi tidurnya sangat tak nyaman.

Dito meletakkan ponselnya di atas meja. Wajah Olivia yang polos kini menjadi fokus maling menarik untuknya. Sudut bibirnya terangkat ketika memperhatikan Olivia. Perempuan itu sanhat mereka cantik dan manis, membuat Dito semakin menyukainya.

Tak tega membiarkan Olivia lebih lama di posisi yang kurang nyaman seperti itu, Dito memutuskan untuk memindahkannya. Dengan hati-hati, Dito menempatkan tangannya di belakang lutut dan leher Olivia, mengangkat perempuan itu penuh kelembutan. Tanpa gerakan yang tergesa, Dito menidurkan Olivia di atas ranjang. Tepat di sebelah Alana yang sudah terlelap cantik. Setelah memastikan posisi Olivia nyaman, Dito menarik selimut untuk menutupi tubuh Olivia. Selimut lebar itu kini menutupi tubuh Olivia juga Alana.

Setelah tugasnya selesai, Dito kembali ke sofa. Dia berbaring di sana. Kakinya yang panjang tentu saja harus terpaksa tertekuk. Namun, Dito tak mempersalahkan itu. Pemuda itu memejamkan matanya. Dan suara rintik hujan di luar rumah mengiringi Dito menuju alam mimpi.

•••

Pukul empat pagi, Olivia membuka matanya perlahan. Suara adzan Subuh yang berkumandang membuat tidurnya terganggu. Perempuan itu menatap sekeliling, mendapati Alana yang tidur di sebelahnya, juga Dito yang tampak tak nyaman tertidur di sofa.

Olivia bangkit, mengucek matanya seraya mengingat-ingat apa yang telah terjadi semalam. Seingatnya, semalam dia membaca novel di sofa. Dan dia tak ingat ketika dia pindah ke ranjang untuk tidur. Kemungkinan yang pasti adalah, Dito memindahkan dirinya yang ketiduran di sofa menuju ke ranjang.

"Dasar!" Olivia mencibir Dito dalam hati. Senyumnya tak luntur ketika melihat Dito yang begitu damai. Merasakan udara dingin yang menerpa tubuhnya, Olivia bangkit. Dia menuju lemari dan mengambil selimut lain yang disimpan di sana.

Dengan harapan Dito tak kedinginan, Olivia menutupkan selimut yang baru dia ambil ke seluruh tubuh Dito. Kini, hanya wajah pemuda itu yang terlihat.

"Bocah bandel!"

Berondong Lovers Where stories live. Discover now