40. Penenang

79 9 0
                                    

Dengan kecepatan di atas rata-rata, Dito mengendari motornya menuju rumah sakit jiwa tempat Anjani di rawat. Air mata terus merembes melewati pipinya. Ucapan Papanya yang mengatakan Mamanya gila dan tak bisa mengurus dirinya dan Alana sangat menyakitkan. Dia tak bisa menampik tentang Mamanya yang memang depresi, atau kata kasarnya adalah gila. Namun, seharusnya Papanya tak perlu berkata seperti itu. Hatinya sangat sakit. Papanya yang seharusnya memberi dukungan dan ketenangan untuknya, nyatanya malah membuat luka di hati Dito semakin dalam.

Setelah memarkirkan motornya di halaman rumah sakit, Dito langsung memasuki bangunan rumah sakit itu dan menuju ruang rawat Anjani. Membuka pintu, Dito disambut dengan Anjani yang terbaring di ranjang dengan sebelah tangan diinfus.

Akhir-akhir ini, Anjani sangat sulit untuk makan. Alhasil, tak ada nutrisi yang masuk ke tubuhnya. Untuk itu, pihak rumah sakit menyarankan untuk menginfus Anjani karena tubuhnya yang kian lemah.

Mata Anjani tertutup rapat, Dito duduk di kursi yang ada di samping ranjang itu. Digenggamnya tangan Anjani erat, lalu menenggelamkan tangannya di sana. Menangis dalam diam dengan air mata yang deras berlinang.

"Ma ... Mama kapan sembuh?" tanya Dito pilu. Rasa sesak di dadanya semakin menjadi, bahkan dia sampai kesulitan untuk bernapas. Dia menggantung harapan besar untuk suatu saat nanti Anjani akan sembuh dan menjalani hari seperti sedia kala. Kerinduannya sangat besar, Dito hampir tak bisa menjalani kehidupannya dengan normal selama Anjani seperti ini.

Selama ini, Dito hanya berpura-pura. Kehidupan sempurna yang dia tunjukkan semuanya adalah palsu. Di balik sikapnya yang terlihat kuat dan bahagia, Dito menyembunyikan hatinya yang hancur. Hati Dito sudah patah dan hancur, dan dia tak tahu bagaimana cara untuk menyatukannya lagi. Kehadiran temannya dan Olivia mungkin sedikit membuat rasa sakitnya berkurang, cinta mereka sedikit bisa mengobati Dito.

Namun, cinta sesungguhnya yang dia butuhkan tak bisa dia dapatkan. Anjani adalah cinta pertama untuknya. Dia ada, namun tak tergapai. Karena semakin lama, segalanya semakin jauh. Mamanya semakin hilang kewarasan, dan perlahan melupakan dirinya yang sangat mencintainya.

Tak selamanya topeng yang Dito pakai akan bertahan. Sandiwaranya di hadapan publik tak bisa bertahan lama. Ada kalanya dia lelah dan ingin segalanya berakhir. Seperti saat ini misalnya. Dito marah, sedih, kecewa, dan perasaan lain yang tak bisa dijabarkan. Ada kalanya Dito ingin mengakhiri hidupnya saja, namun dia masih memikirkan orang-orang yang membutuhkan dan mencintainya. Terutama Alana. Dan kini bertambah Olivia. Kedua perempuan itu adalah penguat bagi Dito. Setidaknya sampai saat ini.

Di ruang rawat Anjani, Dito menceritakan banyak hal kepada wanita yang tengah tertidur itu. Segala keluhan dia katakan kepada Anjani. Walaupun tahu Mamanya tak akan merespon, paling tidak Dito sudah lega karena segala unek-uneknya berhasil keluar.

Terlalu larut dengan rasa sedihnya, Dito akhirnya tertidur di sana. Dengan tangan Anjani sebagai bantalan. Berada di dekat Mamanya, Dito merasa tenang.

***

Olivia duduk di ruang tamu, menatap ponselnya dengan pandangan fokus. Sudah pukul delapan malam, namun Dito tak kunjung memberinya kabar. Padahal, pemuda itu sudah janji akan mengiriminya kabar segera. Dan ponsel Dito tak aktif saat ini.

Setelah menanyakan perihal Dito pada Eca, Olivia mendapat jawaban bahwa mereka tak jadi ke rumah sakit karena Dito dan Papanya bertengkar. Jadi, jika mereka tak jadi ke rumah sakit, lantas Dito ke mana?

Memikirkan itu Olivia mendadak khawatir, apalagi Dito pergi dengan kondisi yang tak baik. Ponselnya yang tak bisa dihubungi juga membuat Olivia semakin berpikir macam-macam.

Raihan dan Ibnu juga tak tahu keberadaan Dito. Olivia tak tahu lagi harus mencari kekasihnya itu ke mana. Di apartemen pun, Dito tak ada ketika Raihan mengeceknya tadi.

Olivia sangat khawatir. Ini adalah kali pertama Dito hilang tanpa kabar. Dia hanya bisa menunggu di rumahnya, berharap Dito segera dapat dihubungi.

Lalu, tak lama kemudian, terdengar suara motor yang sangat familiar. Olivia tak salah menduga bahwa itu adalah suara motor Dito. Dengan segera, Olivia membuka pintunya. Bersamaan dengan itu, wajah kusut Dito terlihat di hadapan Olivia.

Melihat kekasihnya, Dito langsung saja menerjang Olivia, memeluk perempuan itu erat, pelukan yang sarat akan rasa takut kehilangan. Olivia tak melakukan hal apapun selain membiarkan Dito, selama itu bisa membuat Dito tenang, Olivia tak keberatan.

Cukup lama mereka berpelukan di depan pintu, hingga Dito tersadar dan melepas pelukan mereka, Olivia lalu membawa Dito untuk duduk di sofa.

"Kenapa?" Olivia bertanya dengan suara yang sangat lembut. Matanya menatap Dito dengan lekat.

Dan akhirnya, Dito menceritakan semuanya kepada Olivia. Semua yang telah dia alami hari ini. Dari pertengkarannya dengan sang Papa, sampai dia tidur di rumah sakit bersama Anjani.

Air mata menggenang di pelupuk mata Dito, dan Olivia dapat dengan jelas melihat itu semua. Perempuan itu juga tampak berkaca-kaca walaupun tak kentara. Dengan instingnya sebagai pacar yang baik, Olivia mengusap lengan Dito untuk menenangkan pemuda itu. Olivia tahu bagaimana perasaan Dito, kendati dia belum pernah mengalami, namun dia yakin jika rasanya sangat sakit.

"Sabar, semua bakal ada hikmahnya," ucap Olivia, tujuannya hanya satu, membuat Dito tenang.

"Sakit banget," katanya menahan isak tangisnya. Olivia hanya bisa mengangguk, dengan tangan yang tergerak untuk mengusap air mata di pipi Dito.

"Kamu kuat," bisik Olivia menyemangati kekasihnya. Senyum manis dia tunjukkan, berharap memberikan ketenangan pada Dito.

"Aku baik-baik aja," gumam Dito pelan. Senyum manis yang dipaksakan juga terpatri di bibirnya. Tangannya mengusap matanya yang basah, lalu menatap Olivia dalam.

"Jangan tinggalin aku," pinta Dito tulus. Olivia mengangguk mengiyakan, dia bahkan tak sedikit pun berpikir ingin meninggalkan Dito.

"Iya, aku nggak bakal ninggalin kamu."

"Aku nggak sekuat apa yang kamu kira, Liv." Tangis yang tadi sempat terhenti kembali keluar, air matanya kembali menetes. Dito mengakui, dia sangat lemah.

"Nggak apa-apa. Udah, nangis sepuas kamu. Aku bakal nemenin kamu," ucapnya menarik Dito kembali ke pelukannya.

Seperti perintah Olivia, akhirnya Dito kembali meledakkan tangisnya. Di ceruk leher Olivia, Dito seakan tak memiliki mali untuk itu. Dia tak peduli lagi. Yang dia inginkan adalah kelegaan hatinya. Dan dengan menangis seperti itu, dia merasa lebih baik.

Olivia sendiri tak keberatan dengan Dito. Dia tak bisa melakukan apapun kecuali menjadi pendengar yang baik dan sandaran untuk Dito. Mau menasihatinya pun, Olivia takut salah bicara.

Untuk itu, dia hanya ingin selalu ada ketika Dito membutuhkan. Menjadi teman berbagi Dito. Baik berbagi kesenangan, atau kesedihan seperti ini.

Berondong Lovers Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang