Sayang, Charlotte lebih dulu berhasil meraih ujung lengan gamisnya sebelum perempuan itu melangkah keluar. Ditariknya keras hingga kain itu robek sebatas siku. Bii tak peduli, tetap berusaha melarikan diri meski tahu semua berkas identitas dirinya berada di tangan Charlotte. Perempuan itu bahkan berlari tanpa memikirkan ia yang tak mengenakan jilbab. Yang penting ia harus melarikan diri sekarang juga. Jika tidak, ia akan benar-benar mati mengenaskan di rumah itu.

Tanpa alas kaki, terus berlinang air mata, Bii terus berlari, bahkan tanpa tahu ia dikejar atau tidak. Pandangan aneh orang-orang tak berhenti terarah padanya. Namun, Bii abai. Ia harus mencari pertolongan secepatnya, tetapi pada siapa?

Seharian berjalan tanpa sesuap pun makanan, membuat Bii sungguh hampir ambruk. Ditambah kondisinya yang penuh luka itu, terlalu sulit baginya.

"Akankah aku mati di negara ini, Allah? Setidaknya, aku ingin melihat makam Ayah untuk terakhir kali." Terus Bii berusaha berjalan meski tertatih. Kakinya pincang, telapak kakinya terlalu sakit. Apalagi harus bertemu dengan tanah berpasir Mesir yang panas, rasanya seolah melepuh.

Hingga sore menjelang, Bii harus kuat menahan perutnya yang melilit kelaparan. Mendekati daerah Pantai Mediterania, dari jarak yang cukup jauh, ia melihat sekumpulan lelaki yang tampaknya tengah berdiskusi, entah untuk apa. Tak lama, senyum Bii terbit meski paksa, setelah mendengar teriakan salah satu lelaki itu pada sang kawan yang tampak berjalan menjauh.

"Cak Hijir, jangan galau-galau lagi pokoknya!"

"Akhirnya, orang Indonesia," bisik Bii pada diri sendiri.

-o0o-

"Astagfirullah, Cak Hijir bawa siapa ini?" pekik Faiz. Dari logatnya, Bii tahu lelaki itu yang tadi ia lihat berteriak.

"Man hiya, Akhi?" timpal Syauqi dan Emir bersamaan.

Baru Yusuf ikut angkat suara, perempuan itu lebih dulu berujar lirih, "Maaf, saya mengganggu perjalanan kalian. Saya sungguh minta maaf, tapi saya mohon, tolong selamatkan saya."

Sungguh, Bii sampai pada titik putus asanya.

Semua orang menatap Hijir sangsi. Barangkali di kepala mereka isinya sama, siapa perempuan dengan penampilan luar biasa kacau yang Hijir bawa saat ini?

Ingat sesuatu, tangan Bii perlahan terangkat, memegang sejumput rambutnya. Juga, sedikit ia melirik lengan gamisnya yang koyak. Ia tampak memejamkan mata sejenak sebelum berujar, "Maaf sekali lagi, adakah kain yang bisa saya gunakan untuk menutup kepala--jilbab saya ...."

Tanpa menunggu Bii menyelesaikan ucapan, cekatan Syauqi meraih ransel yang kebetulan ia bawa turun dari mobil, mencari sesuatu. Menemukan yang dicari, ia mengangsurkannya pada Bii. "Saya rase, syal ni cukup nak buat tudung."

Bii menerimanya dengan tangan gemetar. Senyum tak luntur dari bibirnya yang robek di sudut. "Terima kasih, syukron."

Seadanya Bii mengenakan syal Syauqi untuk dijadikan jilbab, juga berusaha menyembunyikan lengan bawahnya yang cukup terekspos di balik kain panjang itu.

Entahlah, hati Hijir bergejolak luar biasa. Melihat luka-luka perempuan itu, rasanya ia sangat marah, tidak tahu pada siapa. Jika Zaa melihat, perempuan itu pasti akan sama marahnya, bukan?

Bii sudah duduk di tempat tersisa, sedang Hijir memilih berdiri. Semua orang masih diam, menunggu Bii menjelaskan. Setidaknya, mereka harus tahu duduk perkara agar bisa membantu perempuan itu.

"Nama saya Inbihaaj Kyoya Haidee, panggil saja Bii. Saya TKW di sini, dari Indonesia. Beberapa bulan ini, saya mendapat siksaan dari majikan saya." Bii menggigit bibir keras, hingga rasa besi itu kembali terasa. Mati-matian ia menahan diri agar tidak terisak, meski satu bulir air mata berhasil lolos. "Selama itu pula, saya dilecehkan, saya diperkosa."

Syauqi dan Emir langsung meringis, Hijir sendiri memejamkan mata dan mengepalkan tangan kuat. Sementara itu, Yusuf dan Faiz langsung bangkit dari duduk, memandang Bii kelewat terkejut.

"Luka-luka itu ...." Hijir bereaksi.

Anggukan kepala diberikan Bii sebagai tanggapan, membenarkan apa pun yang ada di kepala lelaki itu meski tak sepenuhnya tahu.

"Saya ...." Bii memandang Hijir dengan sorot hampa, atas dasar lelaki itu yang pertama kali ia temui. Menahan sesak juga kesakitan, dengan tangan menggenggam kuat ujung syal yang dikenakan, Bii bertanya lirih, sangat sumbang, "Kenapa Allah menimpakan ini pada saya? Apa dosa yang saya perbuat hingga seperti ini? Di Indonesia, saya dilecehkan paman saya. Di sini, saya dilecehkan majikan saya. Kenapa Allah tidak memberi saya kesempatan untuk bahagia? Kenapa?"

Hijir ikut merasakan sakit, sungguh. Bak ada belati yang menikam tiap Bii melontarkan kata demi katanya. Entah kenapa, lutut Hijir melemah, lelaki itu jatuh bersimpuh tepat di hadapan Bii yang tetap menatapnya kosong. Dipandangnya perempuan itu lekat, mengamati tiap inci wajah penuh luka Inbihaaj. Tanpa sadar, tangan Hijir terangkat, hendak menyentuh ujung bibir perempuan itu yang robek. Namun, ia segera sadar dan menghentikannya.

Mengembuskan napas berat, Hijir berujar, "Aku akan berusaha membantu sebisaku."

"Lebih baik kita ke rumah sakit," timpal Emir.

-o0o-

Happy weekend. Btw, aku punya temen aneh lagi, he really has unique characters. Maybe, dia akan jadi inspirasi tokoh di cerita selanjutnya🤣

Amaranteya

5th of Feb 2023

Gratia DeiWhere stories live. Discover now