Sedikit Terbuka

10 2 0
                                    

Bulan terlonjak kaget saat merasakan sesuatu yang dingin menempel di pipi sebelah kirinya, ia menoleh dan mendapat Andra si pelaku yang kini tengah terkekeh kecil. Detik berikutnya pemuda itu beralih ke tempat duduk yang ada di sampingnya.

Andra menyimpan dua botol minuman berperisa jeruk yang ia bawa lalu sejenak memfokuskan diri pada Bulan.

Mereka berdua sedang berada di taman kota sekarang, berdiam diri di bawah pohon rindang dengan angin sepoi-sepoi membuat keduanya nyaman berlama-lama di tempat ini, belum lagi suasana cerah di sore hari dengan pemandangan beberapa anak kecil berlarian ke sana-kemari membuat mereka sangat menikmati waktu luang tersebut.

"Ngelamunin apa, sih, heum?" Andra akhirnya bertanya setelah beberapa menit dihabiskan dengan kesunyian.

Bulan hanya menghela napas tanpa ada niatan menjawab, fokusnya masih tetap menatap anak-anak di depan sana. Lama ia terdiam sampai akhirnya menoleh ke arah Andra, pemuda itu masih setia dengan tatapannya yang menenangkan.

"Ibu gue hamil lagi."

Andra terkejut mendengarnya namun sebisa mungkin ia bersikap biasa saja. "Ya … ya bagus, dong. Artinya lo gak bakal sepi lagi nanti di rumah. Iya, kan?"

Hembusan napas berat itu terdengar menyapa telinga Andra. Ada sedikit rasa tak enak setelah mengucapkan perkataan barusan.

"I'm afraid."

Alis Andra berkerut. "Why?"

Tatapan keduanya bertemu.

"Sejauh ini lo tau ayah tiri gue kerjaannya cuma keluar gak jelas tanpa memberi nafkah buat ibu, dan selama itu pula ibu yang nyari uang buat makan, sekolah gue dan keperluan lainnya. Maybe ada kalanya dia ngasih jatah uang ke ibu, tapi itu hanya dua kali dalam beberapa bulan."

Mendengar itu Andra tertegun. Ya, dia memang tau ayah Bulan kadang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah.

"Satu hal yang lo gak tau, Ndra." Bulan menjeda ucapannya sesaat, "hampir satu tahun ini hubungan gue sama ibu itu sebenarnya kurang baik. Kita sering berantem dengan saling diam."

Andra tetap bungkam, mendengarkan apa pun yang diucapkan gadis di sampingnya. Ia tau sosok itu butuh teman yang bisa menjadi tempatnya untuk bercerita.

"Jauh dalam diri gue, gue sadar gue bukan anak yang baik. Gue selalu ngecewain ibu yang harusnya dimana kita bisa saling ngerti dan saling jagain karena kita cuma punya satu sama lain. Tapi, gue malah terus-terusan buat dia sedih dengan sikap gue yang sekarang. Pertengkaran kita dipicu karena gue gak mau ibu gue terus-terusan hidup sama orang yang gak bisa bahagiain dia. Cukup ibu gue kesusahan pas masih ada ayah kandung gue karena harus ngurusin pas lagi sakit. Gue cuma mau ibu gue berhenti, Ndra. Berhenti nyakitin dirinya sendiri. Di saat kemarin mereka udah sepakat untuk pisah kenapa malah hamil?"

Bulan benar-benar melepaskan semua emosinya, ia menatap Andra dalam. "Kenapa, Ndra? Apa itu artinya ibu gue harus lebih lama lagi menderitanya?"

Andra menggeleng pelan, tangannya terulur untuk mengusap lembut tangan Bulan. "Gue yakin ibu lo pasti bisa lewatin ini, Lan."

"Gue kecewa sama diri gue sendiri, Ndra. Gue kecewa karena gak bisa ngelawan ego gue sendiri yang ujungnya gue malah ikut-ikutan nyakitin perasaan ibu. Gue gak tau gimana caranya gue bilang kalau gue bersikap kayak gitu tuh karena gue gak mau terus-terusan dia dalam masalah."

"Mungkin itu karena ibu lo juga tau kalau cerai gak menutup kemungkinan semuanya bisa lebih baik dari sekarang, Lan. Lo ngerti maksud gue, kan? Kadang yang kita pengen belum tentu ibu lo juga gak mau. Dia cuma butuh waktu yang tepat buat lepas dari semuanya."

"Gue gak berguna banget, ya, Ndra, jadi anak?"

Hati Andra tersentil mendengarnya. "Nggak, lo adalah alasan ibu lo buat terus berjuang. Jadi lo harus buktiin kalau lo bisa lewatin semuanya."

Bulan menatap Andra, tidak ada air mata dipembahasan kali ini. Mereka sama-sama kembali menyelami netra masing-masing.

"Lo harus kuat demi diri lo sama ibu lo, ya? Dan lo juga, kan, yang bilang kalau lo punya gue," kata Andra lembut.

Lama keduanya diam.

"Rasanya gak adil, Ndra."

"Ha?"

"Gak adil di saat lo tau semuanya tentang gue tapi gue gak tau apa pun tentang lo."

Andra memutus kontak mata terlebih dahulu, kini pemuda itu menatap kosong ke depan sana. Detik berikutnya Bulan juga melakukan hal yang sama dan tidak mengucapkan apa-apa lagi.

Helaan napas berat terdengar di telinga Bulan namun sebisa mungkin ia tetap bungkam karena tidak mau memaksa orang di sebelahnya.

"Gue gak tau harus bilang apa, Lan."

"Rasanya semua yang gue lewatin bener-bener gak bisa dijelasin." Lanjut Andra setelah beberapa saat terdiam. Ia sedikit melirik kearah Bulan dan melihat gadis itu tetap memandang lurus ke depan.

"Gue gak akan maksa lo buat cerita. Gue cuma ngerasa bodoh yang gak tau apa-apa. Di depan gue lo selalu bilang baik-baik aja padahal dilihat dari beberapa luka bahkan goresan di tangan aja udah ngejelasin semuanya, Ndra, kalau lo gak baik-baik aja."

Andra diam. Goresan tangan? Apa gadis di sampingnya mengetahui itu? Batinnya. Ia menoleh dan pandangan mereka kembali bertemu.

"Lo … tau?"

Bulan mengangguk. "Awalnya gue gak mikirin kenapa lo selalu pakai pakaian yang ketutup entah itu hoodie ataupun kameja yang lengannya panjang, tapi pas kita jalan bareng ke taman kota mungkin lo gak sadar waktu itu lo sempat milin baju lo ke bawah sikut. Dan ya … gue tau."

Andra terkekeh kecil. "Gue lemah, ya?"

Tangan Bulan terulur untuk menggenggam tangan Andra dan sedikit merematnya pelan. "Lo hebat. Lo orang paling hebat yang pernah gue kenal dan temuin. Gimana bisa di saat lo sendiri butuh tempat buat pulang tapi lo selalu mementingkan gue dengan mendengarkan segala keluh kesah gue ke lo. Gue … gue ngerasa gak layak jadi temen lo."

Kini terbalik, tangan Bulan yang ada di genggaman Andra. "Cukup selalu ada di samping gue, itu udah cukup, Lan. Gue gak pernah cerita sama lo karena gue gak mau lo kepikiran hal yang gak seharusnya lo pikirin."

"Maksudnya?"

"Lo cukup tau kalau luka-luka dan memar yang gue dapat itu … anggap aja itu cara papa gue nunjukin rasa sayangnya."

Lagi-lagi Andra terkekeh kecil.

Di tengah langit yang mulai gelap dan hanya diterangi oleh lampu jalan yang temaram dapat Bulan lihat ada setitik air mata yang keluar dari sudut mata pemuda itu namun dengan cepat dihapusnya.

"Gue sayang papa sama mama dan gue harap mereka pun sama."

Bulan tertegun. Detik berikutnya ia merengkuh tubuh yang selalu terlihat tegap itu. Tanpa berbicara apa-apa lagi ia hanya mengusap pelan punggung Andra.

Ah, ini kedua kalinya ia melakukan hal seperti ini untuk orang yang sama.

"Mereka pasti sayang sama gue, kan, Lan?"

Di pendengaran Bulan itu tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan. Melainkan seperti sesuatu yang sangat diinginkan dan terbuktikan. "Ya, gue yakin mereka sayang sama lo."

___________

I hope u like it! I love you❤️

Salam,

Author

SEMICOLON (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang